Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 64 Tukar Pasangan

“Aku pusing sama kelakuan orang tuanya, Dra.”

Andra sudah melepas apronnya sejak tiga puluh menit lalu, di mana Zahra juga banyak mengurai cerita yang tak Andra pinta. Potongan sushi di piring sudah Zahra tandaskan sejak tadi, tak seperti ceritanya yang sepertinya tak pernah mau usai.

“Jadi, kamu gak bahagia dengan pernikahanmu?” tanya Andra tanpa ragu. Sebentar Zahra termangu, hanya balas menatapnya dari jarak satu meter sebelum kemudian perempuan itu mengangguk pelan. “Kenapa kamu malah bertahan kalau emang kamu gak bahagia nikah sama dia, Zahra?”

Pertanyaan Andra barusan membuat Zahra tersadar satu hal: ia sudah bertahan selama ini dengan pernikahannya. 

“Entahlah. Aku gak kepikiran hal lain selain bertahan, Dra. Berusaha untuk membuat Galang mengerti begitu juga sebaliknya. Meski awalnya dia gak setuju aku kerja, tapi dia akhirnya ngebiarin juga. Meski kadang ngomel ini dan itu, tapi dia gak pernah larang-larang pake cara kasar atau keras.”

“Ya sudah. Jangan pikirin apapun selama di sini. Kamu harus nikmatin waktu liburan kamu, Zahra. Makanlah sekenyangnya. Bermainlah sepuasnya. Gunakan waktumu di sini sebaik mungkin.”

“Tapi, Dra. Galang tadi …,” Zahra sampai tak sanggup melanjutkan kata-katanya, “gimana aku bisa nikmatin waktuku di sini kalau dianya aja malah ninggalin aku kayak gitu?”

“Ada aku di sini, Zahra,” kata Andra lengkap dengan senyum yang kemudian terbit. Mempesona sekali di mata Zahra sampai-sampai membuat perempuan itu tak mampu mengedipkan matanya beberapa saat. “Kamu kayak tersesat di pulau asing aja. Tempat mana lagi yang belum kamu kunjungi? Bukit Ampalove? Kamu udah pernah ke sana?”

Zahra menggeleng. Buru-buru mengusir lamunannya. “Galang baru ajakin aku main di wahana air aja sih,” jawabnya dengan memasang raut wajah kecewa.

“Kita ke Bukit Ampalove nanti sore. Mau?” ajak Andra tiba-tiba. Tampak begitu bersemangat sekali. “Kamu bisa menikmati matahari terbenam dari atas sana.” Andra menunjuk ke tangga yang mengular menuju bukit.

Zahra menelan ludahnya sendiri. Tak mungkin ia tak tergiur oleh tawaran itu, terlebih bukan ia yang memintanya.

Catat! Andra yang mengajaknya lebih dulu! Bukan dia!

“Tapi, restoranmu gimana?” tanya Zahra hati-hati.

“Gampang! Yogi sama Randu bisa dipercaya kok kalau cuma ditinggalin beberapa jam doang. Gak akan bikin restoranku kacau balau.”

Zahra mati-matian menahan senyumannya agar tak terlalu lebar ditampakkan meski hatinya berlonjak riang. Ia tak mengira jika letupan rasa pada Andra nyatanya masih membuncah dan malah terasa semakin membara. Zahra pikir Andra akan membenci dirinya selamanya. Apalagi insiden di pernikahan waktu itu cukup mengejutkan. Tapi ternyata itu bukan masalah besar yang membuat mereka kembali akrab seperti ini.

“Tunggu di sini! Aku mau urus sesuatu dulu di dalam.”

Zahra mengangguk spontan dan membiarkan Andra lesap ke balik pintu. 

Kemunculan Andra yang kembali ke area dapur restoran disambut Yogi dan Randu yang secara bersamaan langsung menghampirinya.

“Lo ngapain sih, Dra? Ngapain deketin si Zahra lagi?” sembur Yogi.

“Gimana kalau ketahuan suaminya?” Randu ikut memanas-manasi. Sekaligus memberikan peringatan. Takut-takut Andra khilaf lagi.

“Bener! Lo jangan jadi pebinor gini dong! Gak keren, Bro!”

“Masih mending lo mainin si Mahira sih daripada rebut si Zahra. Gak etis banget! Lo mau hancurin harga diri lo sebagai lelaki? Huh!”

Yogi dan Randu bergantian menyerangnya dengan beragam tuduhan yang tentu saja tak Andra niatkan untuk menjawab. Ia biarkan saja dua sahabatnya itu menyerangnya demikian.

“Kalian berdua jagain restoran selama gue pergi. Oke?” perintah Andra enteng. Nyaris tak peduli oleh omelan dua sahabatnya tadi.

“Heh? Mau ke mana lo?” tanya Yogi cepat.

“Ngajak Zahra jalan ke bukit.” Andra tak berniat berbohong.

“Gila lu yah! Lo mau bikin si Galang ngamuk? Huh!” Randu makin takut.

“Dia yang ninggalin si Zahra barusan. Gue cuma mau hibur si Zahra doang!” Andra membela diri.

“Bangsat lo, Dra!” umpat Yogi yang sudah kepalang berang.

“Brengsek banget lo jadi cowok!” Randu juga ikut-ikutan mengumpat.

Andra hanya angkat bahu tak peduli. Ia melambai pada dua temannya sambil mengacungkan jari tengahnya. Diakhiri dengan tawa lebar.

***

“Mau sampai kapan kamu ngikutin aku, Lang?”

Mahira balik badan tepat ketika ia hendak melangkahkan kakinya ke atas jembatan kayu. Ia dapati Galang berada di belakangnya dengan wajah kusut.

“Kamu harusnya nyusul Zahra, Lang. Bukan malah ngikutin aku ke sini! Kamu gak khawatir istri kamu kenapa-kenapa?” serang Mahira memperingati.

“Mungkin itu yang dia inginkan, Hira. Biar dia punya waktu banyak untuk ngobrol sama Andra. Kalau bisa, sampai urusan mereka benar-benar tuntas.”

“Sendirian? Kamu gak takut Zahra berpaling?”

“Kalau emang itu yang harus terjadi, aku bisa apa?”

“Suami macam apa sih kamu?” Mahira jadi jengkel sendiri. “Katanya pengen istri yang patuh dan penurut, tapi situ sendiri kayak yang gak serius mempertahankan hubungan pernikahan? Gak semua hal sesuai dengan keinginan kamu, Lang. Kamu akan kecewa nanti!”

“Mahira!”

Mahira dan Galang sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Ada Rangga yang berjalan dari arah jembatan dengan wajah bingung. Tapi justru Mahira lega ketika melihat lelaki itu.

“Pak Rangga, punya waktu untuk bicara dengan saya? Terkait perluasan area Rumah Ampa.”

Mahira merapatkan bibir sambil komat-kamit sesekali seolah hendak mengatakan sesuatu tapi tak keluar suara apapun. Rangga yang melihat itu hanya bisa terdiam cukup lama, menyipitkan mata sambil berpikir keras. Jengkel karena sepertinya Rangga tak paham kode isyarat yang ia berikan, Mahira langsung memasang mata melotot.

“Oh … oke?” timpal Rangga ambigu.

Mahira sampai mengernyit karena bisa-bisanya Rangga menjawab demikian.

“Aku ada urusan lain, Lang. Permisi.”

Tapi, Rangga masih bergeming di tempatnya. Mahira sampai mendorong lelaki itu agar cepat-cepat berbalik badan. Sementara Galang sendiri hanya memerhatikan keduanya dari kejauhan. Tak berani mendekat karena yang dibicarakan keduanya seputar pekerjaan.

“Itu siapa, Bu Mahira?” bisik Rangga saat keduanya berjalan beriringan.

“Galang.”

“Oh … orang itu rupanya. Saya hanya sempat denger aja dari staf lain. Gak nyangka bisa ketemu langsung kayak gini. Istrinya mana?”

“Diculik orang.”

“Hah?” Rangga spontan menoleh, tapi Mahira buru-buru mendorongnya lagi. “Diculik siapa?” tanyanya lagi dalam kaget. Meski begitu, ia menuruti dorongan Mahira yang tampaknya ingin dirinya terus melangkah.

“Andra.”

“Chef Andra?”

Rangga tampak berpikir sejenak sebelum kemudian bergumam seolah bisa memahami situasi. Ia tak lagi bertanya. Hanya ber-oh-ria.

“Buruan Pak jalannya!” omel Mahira yang sudah tak sabaran. Takut jika Galang menyusulnya.

“Lah, kenapa harus buru-buru?”

“Saya takut tuh orang juga culik saya nanti.”

Rangga terkekeh. “Diculik suami orang maksudnya?”

“Itu paham, Pak.”

“Itu tandanya dia masih disukai sama Bu Mahira.”

“Saya gak butuh disukai suami orang. Masih banyak cowok single di luaran sana yang menurut saya lebih etis buat peduliin saya yang juga sama-sama single.”

Rangga menoleh sebentar tapi tak menghentikan langkahnya. Ia hanya ingin memastikan Mahira benar-benar masih berada di belakangnya atau tidak.

“Ini artinya Bu Mahira udah move on dari si Galang itu? Sama Chef Andra gimana kelanjutannya?”

Mahira membuang napas jengkel. Dua nama itu tampaknya memang sulit untuk tidak disangkutpautkan dengannya. Apalagi hampir semua staf di sini mengenali kisah cintanya. Ia sudah macam selebriti saja sekarang. 

“Saya mau cari yang baru, yang single, dan lebih baik dari mereka. Itu saja. Bisa kita bahas hal lain selain ini, Pak? Saya lama-lama mual loh ngomongin dua cowok itu!”

Rangga diam-diam tersenyum. “Ngomongin saya aja gimana?”

“Ngapain kita harus ngomongin Pak Rangga?”

“Oh … Bu Mahira kayaknya gak mau ngomongin tentang saya. Nanya soal saya atau gimana gitu.”

“Enggak emang. Saya udah tahu profil Bapak dari Pak Satya. Sedikitnya saya udah tahu sedikit soal Pak Rangga.”

Rangga garuk-garuk kepala sepanjang mereka menyusuri jembatan kayu. Mengobrol dengan Mahira memang tidak pernah ada kata basa-basi. Kalau bukan soal kerjaan, Mahira jarang mau membicarakan hal lainnya. Seperti saat ini.

Dari kejauhan Galang tetap memerhatikan kebersamaan keduanya. Tampak akrab di matanya. Galang tak mengenal lelaki yang dipanggil Rangga oleh Mahira tadi. Wajahnya tampak asing.

“Siapa dia?” tanyanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro