Bab 56 Kepulangan Masa Lalu
“Mahira pulang hari ini dan aku mau nganterin dia, Lang.”
Galang yang sedang mengunyah sarapannya seketika tersedak. Ia segera menenggak minuman di samping. “Kamu mau anterin dia? Sendirian? Pake apa?” sergapnya dengan banyak pertanyaan. Ia seperti tak sadar kalau tindakannya itu ditingkahi Zahra dengan memasang wajah kusut.
Zahra mencoba mengabaikan pikiran buruk yang mengintai dengan mengemas beberapa wadah plastik berisi beragam jenis olahan makanan. Ia hendak memberikannya nanti pada Mahira sebagai bekal. Kondisi Mahira saat ini dan sebelum keberangkatannya beberapa minggu lalu begitu kontras. Tampak begitu kurus dengan kulit kehitaman. Gurat kelelahan di wajahnya kentara sekali dan begitu mengkhawatirkan.
“Cuma sampe halte doang sebenarnya. Tapi aku tetep mau nganter aja sambil bawain dia ini buat bekel.” Zahra mengacungkan totebag besar yang sudah ia isi dengan wadah-wadah tadi. “Kasihan aku lihat dia. Kayak gak dikasih makan aja selama kerja di sana. Padahal kan Andra tuh Chef di sana. Awas tuh cowok kalau ketemu! Tega banget dia bikin adikku kurus begitu!”
Galang mengangguki dumelan Zahra. Sependapat. Ia nyaris saja mengajak Mahira untuk makan bersama kalau tak ingat akibat apa yang mungkin akan terjadi nanti.
Pertemuan itu begitu singkat. Galang bahkan tak sempat bertegur sapa dengan Mahira satu kali pun.
“Mau aku antar? Aku bisa antar kalian sebelum berangkat kerja,” tawar Galang. Canggung sebenarnya. Juga takut kalau Zahra berpikir yang macam-macam.
Zahra menaikkan satu alisnya, menatap Galang sinis. “Modus banget! Bilang aja pengen ketemu Mahira dan kangen-kangenan.”
Galang jadi semakin takut karena terkaannya tak meleset. Tapi, ia juga tak mau menarik kata-katanya tadi. “Ya ampun, Ra. Kok mikirnya gitu sih? Emang salah kalau aku anterin istriku sendiri?”
Zahra tak banyak mendebat. Ia cukup senang malah dengan tawaran Galang. Malah mungkin dengan cara ini hubungan ketiganya bisa membaik. Sebagai sebuah keluarga. Tadi ia sengaja saja ingin menggoda suaminya ini. Zahra ingin tahu reaksi macam apa yang Galang tunjukkan dan reaksinya cukup membuat Zahra yakin kalau Galang tak punya maksud apapun dengan tawaran itu.
Sayangnya, selama perjalanan Mahira jadi si pendiam. Dia yang duduk di kursi belakang malah memilih tidur. Alasannya sih capek karena jagain Ibu semalaman yang pengen kangen-kangenan sama dia.
“Abis ini aku ke rumah sakit lagi deh kayaknya, Lang.”
“Aku anterin. Kapan katanya Ibu bisa pulang?”
“Sore ini.”
“Aku yang jemput juga kalau gitu. Jam berapa?”
“Kerjaan kamu gimana?”
“Gampang. Bisa diatur. Yang penting Ibu dulu.”
Percakapan keduanya memang terbilang bukan percakapan yang aneh, tapi tetap saja mengganggu ketenangan Mahira yang terpaksa ikut ajakan kakaknya. Juga kakak iparnya.
Rasa tak nyaman seperti inilah yang Mahira hindari. Berada di antara dua orang yang pernah mengganggu ketenangan hidupnya, tapi ia tak bisa lari.
Mahira sudah coba menulikan telinganya, namun percakapan mereka tetap menusuk hati. Akrab sekali. Menunjukkan dengan jelas kalau mereka berdua hidup menikah dan bahagia. Berbeda dengannya yang masih menyimpan rasa sakit hati.
Terlalu keraskah hati Mahira? Lain di mulut, lain di hati. Mahira tak mau mengakuinya, berharap dengan cara itu rasa sakit hatinya hilang begitu saja. Tapi, kenapa rasanya masih tetap sama?
“Hira, kita udah sampai. Ayo bangun!” seru Zahra lantang.
Tak perlu membuang banyak waktu lagi bagi Mahira untuk segera keluar dari mobil. Ia sudah siap melangkah pergi saat Zahra tiba-tiba menghadangnya. Menyerahkan satu tas entah berisi apa padanya.
“Makanan untuk kamu. Jaga diri baik-baik di sana. Nanti kapan-kapan kakak ke sana. Jangan lupa makan, jaga kesehatan, dan hubungi kakak juga, jangan cuma ibu sama bapak. Oke?”
Mahira hanya mengangguk. Tak banyak bicara. Senyuman yang terbit di wajahnya saja hasil jerih payahnya menyunggingkan satu ujung bibir. Sulit sekali rasanya bersikap baik-baik saja di depan mereka.
“Aku pamit. Titip ibu, Kak. Assalamu'alaikum.”
***
“Gimana keadaan Ibu? Dia baik-baik aja, kan? Gak kenapa-kenapa, kan?”
Andra memberondong Mahira dengan beragam tanya tepat ketika perempuan itu terlihat turun dari kapal. Dua hari ini Andra memang rajin menunggui dermaga. Hampir di setiap jadwal kapal Pak Supri datang, ia akan menyempatkan diri untuk menunggu kehadiran Mahira. Dua hari hanya mendapatkan kabar kecewa, akhirnya hari ini Mahira pulang juga.
“Ibu sakit apa? Kenapa kamu malah pulang? Ibu udah baikan atau gimana? Hira!”
Andra menarik bungkusan orange yang dipangku Mahira dengan susah payah. Entah berisi apa tapi begitu berat.
“Aku nanya dijawab dong!” bentak Andra tak sabaran.
“Aku baru pulang, Andra! Aku capek! Kamu kenapa sih berisik banget?”
Sebentar Mahira menatap bungkusan pemberian Zahra yang kini ada di pangkuan Andra sebelum kemudian memantapkan hati untuk pergi saja. Teriakan Andra yang mencoba memanggilnya tak ia gubris.
“Eh, Hira! Punyamu!” Andra bermaksud mengembalikan bungkusan itu dengan mengejar Mahira.
“Ambil saja! Itu dari Zahra buat kamu!”
Langkah Andra seketika terhenti saat mendengar nama tak asing itu disebut. Spontan saja Andra mengintip isi bungkusan itu. Ada banyak wadah yang sudah diisi beragam macam masakan di dalamnya.
Segera Andra ke belakang area Restoran Ampalove. Stafnya tampak sibuk di sana. Kedatangannya berhasil mengundang perhatian.
“Mahira pulang?”
Andra mengangguk malas. Kalau ingat reaksi Mahira saat ia menghampiri perempuan itu, Andra merasa bersalah dan malu sendiri jadinya.
“Iya.”
“Itu apaan?” Yogi mendekati Andra yang sudah menaruh bungkusan oranges itu di meja. Ikut memeriksa satu per satu masakan yang dibawa oleh lelaki itu.
“Makanan? Ngapain si Mahira bawa beginian? Dari rumahnya? Perjalanannya kan jauh? Emang gak basi?” omel Yogi.
Andra juga berpikir yang sama. Makannya ia buru-buru membawanya ke area dapur untuk memeriksa mana masakan yang masih bisa layak di makan dan tidak. Apalagi ini masakan yang dibuat Zahra.
“Siapa yang bekelin dia? Bu Halimah?” Yogi bertanya lagi.
Andra membuang napas pendek. “Zahra.”
Tentu Andra tak percaya akan kata-kata Mahira tadi. Tak mungkin Zahra repot-repot mengirimkan bekal ini untuknya. Tak ada alasan sama sekali, bukan?
“Zahra tahu lo di sini?” Yogi terkejut bukan main.
“Kerja sana! Jangan ganggu gue!”
“Jangan-jangan si Zahra gak tahu kalau tempat kerjanya si Mahira jauh, Dra. Apa mungkin si Mahira gak bilang-bilang keluarganya di mana dia kerja? Heran aja! Kok bisa sih kepikiran ngasih bekal makanan kayak gini.” Giliran Randu yang kini ikut angkat bicara.
“Dia kayaknya tahu kok. Makanan ini kayaknya dikasih buat nemenin perjalanan si Mahira. Cuma sama tuh anak gak dimakan. Ada nasinya juga nih.” Andra menunjuk salah satu wadah berisi nasi yang sudah mendingin. “Porsinya buat satu orang.”
Yogi melemparkan pandang pada Randu.
“Hubungan mereka belum membaik?” terka keduanya nyaris bersamaan.
Andra menggeleng pelan. “Entahlah. Gue gak tahu. Kalau lihat makanan ini gak disentuh sama sekali sama si Mahira, kemungkinan begitu.”
“Tapi si Zahra ngasih si Mahira bekel makanan begini. Menunya banyak loh, Dra. Gak mungkin Zahra mau repot-repot masak buat si Mahira kalau mereka belum baikan.” Randu menunjuk satu per satu menu yang dikeluarkan Andra dari totebag orange itu.
Andra berpikir sejenak. “Mungkin Zahra ngerasa hubungan mereka udah baik-baik aja, tapi Mahira enggak. Karena Mahira mau bawa bekel pemberian Zahra nyampe ke pulau meskipun gak dia makan, itu artinya dia masih punya rasa peduli sama perhatian kakaknya,” terkanya sekenanya.
“Repot banget! Gara-gara si Galang yang gak punya otak tuh! Ngapain coba dia punya hubungan sama dua saudara kayak gini?” omel Yogi.
Andra tak menampik. Ia juga mengumpat dalam hati hal yang serupa dengan Yogi barusan meski tak berani ia ucapkan.
“Tuh cowok yang mestinya lo kasih pelajaran setimpal juga, Dra. Bukan cuma si Zahra doang waktu itu!” Yogi kembali mengomel.
“Kalau dipikir-pikir, yang salah besar di sini tuh si Galang. Cowok itu yang harusnya dikasih pelajaran. Bener-bener hilang akal emang tuh cowok!” Randu ikut mengompori.
“Lo mau ngapain nih makanan? Beberapa udah basi loh, Dra!”
Andra mengambil wajan lalu menyalakan kompor. Kemudian ia menuangkan makanan di salah satu wadah ke dalamnya.
“Yang gak basi mau gue angetin. Gue mau ngasih ini nanti ke si Mahira. Dia pasti laper. Mau kayak gimana pun, ini pemberian kakaknya yang harusnya dia hargai. Zahra pasti udah kerja keras bikin masakan ini.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro