Bab 52 Gimana Kalau Aku Beneran Suka Sama Kamu?
"Gimana kalau aku beneran suka sama kamu, Hira? Apa jawaban kamu?"
Tatapan Mahira terkunci. Meski ia sudah berusaha untuk berpaling, entah kenapa bola matanya sulit teralih dari tatapan Andra yang begitu candu. Ia juga sudah berusaha keras mencari kekeliuran yang mungkin saja terpancar dari wajah lelaki itu. Pertanyaannya barusan terdengar begitu ambigu. Mahira tak mau salah menjawab atau menebak, apalagi terjebak dengan jawaban yang ia pikirkan sendiri.
"Kalau kamu beneran suka sama aku, kamu pengen aku jawabnya apa?" balas Mahira yang malah melemparkan tanya balik pada Andra.
Terang saja Andra langsung tertawa meski sebenarnya ia dongkol sendiri. "Susah yah ngomong serius sama kamu, Hira."
"Mana bisa sih aku ngomong serius sama orang yang suka isengin orang kayak kamu, Dra."
"Siapa bilang aku suka isengin orang?"
"Kamu sendiri waktu itu yang bilang."
"Kapan?"
Mahira jadi jengkel sendiri dengan sikap sok amnesia Andra. "Kamu bilang iseng aja tuh waktu ngaku-ngaku aku jadi pacar kamu pas live streaming. Kamu juga bilang tuh iseng ngikutin aku ke pulau karena lagi gabut. Itu udah jadi bukti nyata kalau kamu orangnya iseng dan omongan kamu itu emang gak bisa dianggap serius."
Andra jadi serba salah. Ia tak mengira jika ucapannya waktu itu akan menimbulkan efek berkepanjangan. Kalau seperti ini, Mahira bisa mengira setiap ucapannya atau bahkan tindakannya tak berarti, kan?
"Inget?" Mahira menegur Andra yang malah diam saja.
"Oh ... yang itu ...." Andra merasa kalah telak tapi berusaha keras tetap tenang. "Tapi sekarang ini beda, Hira. Aku bukan lagi iseng. Pertanyaanku ini serius."
"Pertanyaan yang mana?"
Andra berdecak sebal. "Ampun deh, Hira. Masa iya harus diulang. Soal aku yang bilang kalau aku suka sama kamu beneran, kamu mau jawab apa?"
"Kamu nembak aku nih ceritanya?"
Andra mengangguk pelan meski sedikit malu. "Begitulah kurang lebih. Emang kalau orang bahas soal suka atau enggak sama lawan jenisnya, ujungnya mau ke mana lagi coba?"
"Kamu beneran suka sama aku?"
"Iya, Hira ...."
"Suka dalam hal apa?"
"Ampun deh! Kamu tuh udah gede, kan? Orang kalau bilang suka yah emang suka dalam hal apa lagi coba?" Andra jadi jengkel sendiri. "Udah lah! Gak usah dijawab kalau emang kamu gak suka sama aku. Aku gak mau ditolak mentah-mentah setelah ditinggal mantan nikah. Ketiban sial berkali-kali lipat nih jadinya!"
Andra mengacak-acak rambutnya dengan wajah tampak frustrasi. Mahira sendiri tak kalah frustrasi karena harus mati-matian menahan rasa kecewa akibat sikap Andra yang berubah begitu cepat.
Dari becanda mendadak serius. Padahal awalnya Mahira menganggap Andra sedang iseng saja. Mahira jadi kepikiran pertanyaan Andra tadi soal rasa sukanya. Ia baru bisa menganggapnya serius setelah Andra menolak mendengar jawabannya.
Jangan salahkan Mahira jika reaksinya begitu. Maklum saja, kan? Mahira baru dikhianati. Belum sembuh benar luka yang ditorehkan Galang padanya. Lalu ia harus berhadapan dengan Andra yang tiba-tiba mengakuinya pacar tapi ternyata cuma iseng. Terus sekarang lelaki itu tiba-tiba mengaku suka beneran. Bagaimana bisa Mahira menganggap keadaan ini sebagai hal serius?
Meski jantungnya berdegup kencang saat bersama Andra sekali pun, Mahira tak yakin perasaannya pada Andra harus ia anggap sebagai bentuk rasa suka atau hanya sekedar getaran biasa saja. Mahira juga tak yakin kalau pernyataan Andra barusan adalah hal serius untuk ia tanggapi. Dimatanya, Andra tak lebih dari sekedar lelaki yang suka iseng. Mahira membangun benteng tinggi untuk tak mudah terbawa suasana saat bersamanya.
"Aku jadi penasaran gimana caranya si Galang ngajakin kamu pacaran dulu. Langsung ngomong suka atau langsung ngajakin kamu pacaran?"
Mahira langsung salah tingkah mendengar pertanyaan Andra barusan. "Kenapa jadi bahas itu sih?" sinis Mahira. "Aku lupa!"
Andra tersenyum miring. "Lupa atau sengaja dilupain?"
"Ya emangnya harus nginget-nginget cara mantan nembak? Buat apa coba? Biar jadi kenangan manis? Kalau kayak gitu, mau move on-nya kapan coba?"
"Cieeehhh ... beneran udah move on nih ceritanya. Awas tiba-tiba baper kalau ketemu lagi."
"Biasa aja tuh! Kemarin-kemarin sempet teleponan juga sama dia dan biasa aja."
"Hah? Kapan? Kamu teleponan sama si Galang?"
Mahira mengangguk tanpa ragu. "Iya. Dia yang telepon duluan waktu kita mau pulang ke sini minggu-minggu yang lalu."
"Oh?" Mulut Andra membola. Keningnya terangkat bersamaan. "Yang waktu kamu bengong di deket kapal? Itu yang nelepon beneran si Galang?"
"Iya!" tegas Mahira. Sengaja. "Dia yang telepon duluan yah, bukan aku. Aku jawab aja tuh teleponnya dan kita ngobrol kayak biasa aja."
"Ngobrolin apaan emang? Ngapain dia nelepon kamu segala?"
"Bahas Zahra yang pengen aku pulang."
Andra mendadak tak nyaman mendengar jawaban itu. Telinganya gatal sampai mulutnya enggan menanggapi.
"Oh. Ngomongin Zahra."
Mahira dapat menangkap perubahan raut wajah Andra yang semula cengengesan saat terus menyudutkannya, sekarang malah memalingkan wajah darinya. Kentara sekali kalau lelaki itu masih terganggu saat membahas Zahra. Sudah paling benar kan kalau Mahira menganggap pernyataan suka lelaki itu sebagai hal iseng belaka?
Andra pasti iseng lagi, pikir Mahira.
***
Area dapur memang biasa terasa panas, apalagi kalau Zahra sedang mengurusi pesanan kateringnya. Tapi suasana kali ini berbeda. Zahra tahu kenapa, tapi ia tak bisa mengungkapkannya secara gamblang. Ia memilih fokus mengaduk masakan di wajan berukuran besar itu selagi Mamah Lia yang berdiri di sampingnya juga melakukan hal yang sama.
"Ngapain repot-repot buka jasa katering segala coba? Emangnya gaji Galang gak cukup buat kebutuhan kalian berdua?"
Zahra menghidu aroma yang menguar dari masakannya. Cukup membuat perasaannya sedikit tenang beberapa detik.
"Cukup kok." Zahra menjawab sesingkat mungkin.
"Lah, terus kenapa malah buka jasa katering segala? Ini namanya ngerepotin diri sendiri, Zahra," keluh Mamah Lia lagi. Terdengar begitu jengkel.
"Zahra gak ngerasa repot kok, Mah."
"Kamu gak ngerasa repot tapi Galang malah ngerepotin Mamah. Rewel banget minta Mamah bantuin kamu."
"Kalau Mamah capek, Mamah duduk aja. Zahra bisa beresin masakannya sendirian kok."
Suara canting yang membentur pinggiran wajan berhasil membuat Zahra berjingkat kaget. Ia sampai tak mampu menoleh pada Mamah Lia yang masih bertahan di sampingna.
"Kamu tuh udah Mamah bantuin, bukannya bilang terima kasih malah minta Mamah duduk aja. Kamu gak suka dibantuin sama Mamah?" omel Mamah Lia.
Mati-matian Zahra menahan diri untuk tak menoleh. Takut jika harus menangkap muka masam Mamah Lia yang hanya akan membuat pekerjaannya saat ini tak selesai-selesai. "Aku gak mau bikin Mamah capek gara-gara permintaan Galang. Dia minta Mamah bantuin aku juga tanpa sepengetahuanku kok. Jadi Mamah gak perlu sungkan buat nolak permintaannya dia."
"Gimana Mamah bisa nolak permintaan anak sendiri? Huh!"
"Yah ... Mamah tinggal tolak aja."
Mamah Lia tampak jengkel sendiri dengan tanggapan enteng dari Zahra yang bahkan tak sekali pun meliriknya. Menantunya itu fokus mengaduk masakan di wajan. Tanpa ekspresi. Hanya tersisa wajah lelah dan keringat yang membasahi pinggiran rambutnya.
"Kamu tuh gak akan ngerti gimana perasaan orang tua kalau menghadapi keinginan anak. Karena yang kamu tahu itu cuma mikirin keinginan kamu sendiri tanpa memedulikan perasaan orang lain termasuk orang tua kamu."
Bibir Zahra merapat, berhati-hati membalas perkataan Mamah Lia barusan. "Iya. Zahra yang salah, Mah."
Pesanan pelanggan harus segera Zahra selesaikan. Ia tak mau menyita waktunya dengan meladeni dumelan Mamah Lia yang jelas-jelas tak suka membantunya. Jadi lebih baik ia mengaku salah saja.
"Ini bukan soal siapa yang salah Zahra!"
Ingin rasanya Zahra memarahi suaminya saat ini juga. Tapi, ada hal yang lebih penting ketimbang mengomeli suaminya yang sudah berbuat seenaknya. Zahra sudah sejak awal menolak bantuan siapa pun, termasuk Mamah Lia. Toh pesanan katering yang ia dapatkan masih bisa dikerjakan sendiri. Capek sedikit sepertinya tak masalah. Andra sering bilang kalau pekerjaan yang berhubungan dengan memasak bukan pekerjaan sepele. Meski hanya berjibaku di dalam ruangan, capeknya hampir sama seperti mereka yang bekerja di luar ruangan.
Sial! Kenapa pula Zahra jadi ingat Andra lagi sih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro