Bab 49 Bayangan Masa Lalu
Zahra benar-benar berbuat sesuka hati!
Ia memang pulang ke rumah, tapi kerjaannya hanya berdiam diri memandangi laptop, masak semaunya, sampai cucian menumpuk pun ia abaikan. Percekcokan malam itu rupanya berbuntut panjang.
"Seenggaknya jangan biarin piring kotor numpuk, Ra. Bau amisnya gak enak dicium!"
Galang langsung protes atas aksi seenaknya Zahra.
"Itu kan cucian yang habis kamu pakai, Lang. Punyaku langsung aku cuci kok!" sinis Zahra yang langsung membalas telak protes Galang. Tampak tak acuh sama sekali.
"Aku suami kamu yang harus kamu layani, Zahra. Kamu berani memerintah aku?"
Zahra membuang napas pendek. "Aku gak memerintah kamu kok. Aku cuma minta KERSAJAMA dari kamu!" katanya penuh nada penekanan. "Apa salahnya sih bantu meringankan tugas istri di dapur? Masa cuci piring doang gak mau?"
"Kamu minta aku cuci piring setelah seharian kerja? Kamu harusnya ngerti dong kalau aku tuh capek, Ra. Aku kerja buat kamu, bukan buat orang lain."
"Emang tugasnya suami cuma kerja doang, Lang? Kamu jangan mau dimengerti aja dong, tapi coba ngertiin aku juga. Aku juga capek! Capek nyari lowongan kerja! Kamu pikir nyari kerjaan habis pandemi kayak gini gampang apa?"
"Aku kan gak nyuruh kamu kerja, Ra. Makannya aku bilang juga apa. Tugasmu itu cuma di rumah aja. Ngapain pake kerja segala?"
"Kamu emang gak nyuruh aku buat kerja, tapi aku yang mau sendiri. Emang masih zaman perempuan diem doang di rumah? Emang salah kalau perempuan yang sudah berstatus sebagai istri ikutan kerja juga? Enggak, kan? Gak ada yang larang, kan? Yang larang-larang itu yah cuma kamu doang!"
Percekcokan nyaris tidak pernah mereda kalau bukan Galang yang memilih menutup mulut terlebih dahulu. Zahra jadi lebih cerewet dari biasanya. Lebih galak bahkan lebih pintar membolak-balikkan omongan.
Entah harus senang atau tidak, Zahra pada akhirnya benar-benar bekerja. Rupanya ia memilih untuk membuka bisnis katering dari rumah. Galang senang karena sepertinya Zahra mendengarkan usulannya untuk bekerja dari rumah saja, tapi ia harus mendapati kenyataan lain bagaimana repotnya Zahra bekerja sendirian. Maklum, usahanya ini baru sekedar usaha dari mulut ke mulut tetangga. Meski pesanannya terbilang sedikit, Zahra tetap kewalahan karena baru memulai usahanya ini.
"Mau aku bantuin?"
Galang mencoba menawarkan diri untuk membantu. Ini pesanan ketiga dari tetangganya yang akan melakukan acara ulang tahun anak mereka. Zahra menerima pesanan lima puluh nasi kotak yang harus diselesaikan siang ini. Kebetulan sekali ini hari sabtu dan Galang sedang berada di rumah.
Zahra mengangguk tanda setuju. "Kamu bisa potong-potong buncis ini," kata Zahra sambil menyerahkan gagang pisau pada suaminya.
Galang menurut. Ia mencoba membantu sebisanya. Satu buah buncis ia ambil dari wadah sebelum kemudian ia potong-potong kecil sesuai keinginan Zahra. Ia tampak fokus sekali melakukannya sampai tak menyadari pandangan bingung Zahra saat melihatnya.
"Kamu gak pernah masak, Galang." Itu adalah sebuah pernyataan yang menjadi pengingat juga bagi Zahra. "Kamu yakin mau bantuin?" Ia menatap jengkel potongan buncis yang dihasilkan oleh Galang.
Bukan karena ukurannya yang tak pas, tapi cara Galang untuk memotongnya satu per satu benar-benar membuat geram.
"Kamu gak perlu potong satu-satu juga, Lang. Bisa-bisa gak pernah beres tuh buncis dipotong! Ambil lima atau sepuluh buah, udah itu kamu bisa potong kecil-kecil. Lebih efektif, kan?"
Galang mengangguk macam orang bodoh. Menurut. Tersenyum ketika mengikuti usulan Zahra. Ia tampak senang seperti baru saja berhasil melakukan penemuan langka.
"Oh ... waaaahhh ... gini rupanya. Jadi cepet beres berarti, yah?"
Zahra yang saat itu tengah memotong buah kentang dengan sengaja membenturkan pisau ke atas talenan kayu. Ia memotong kentang menjadi ukuran dadu dengan penuh semangat. Tapi lambat laun tenaganya seperti lenyap entah ke mana. Berganti tatapan mata sendu pada Galang yang sedang berusaha menyelesaikan tugasnya memotong buncis. Ada bayangan sosok Andra yang tiba-tiba saja muncul di kepalanya. Tentang bagaimana keduanya kompak memasak bersama.
Dulu.
Ya! Andra sering merengek kalau ia ingin sekali merasakan masakan buatan orang lain. Zahra tentu tak keberatan jika harus memasak untuk Andra, terlebih Andra sering kali mengajarinya hal baru saat ia tengah memasak suatu makanan. Bisa dibilang, dari Andra juga keahlian memasak Zahra jadi meningkat. Kalau saat ini Andra yang membantunya, mungkin pekerjaan Zahra bisa secepatnya selesai.
Zahra buru-buru menepis pikirannya itu sampai tanpa sengaja mata tajam pisau melukai jemarinya.
"Aw!" Zahra memekik kaget.
"Zahra! Kamu gak apa-apa?"
Galang sigap menarik Zahra dan membawanya ke arah wastafel. Cairan berwarna merah mengucur bersama dengan air yang tengah mengalir.
"Aku bawain kotak obat dulu. Sebentar!"
Zahra mengangguk dalam diam. Bukannya ia tak merasakan perih di ujung jarinya, tapi karena ada rasa perih yang terasa lebih menyakitkan di dalam hatinya. Zahra tak bisa menampik ketika tiba-tiba sosok Andra kembali membayang diingatannya. Semakin ia berusaha untuk melupakan, Zahra malah merasa semakin mudah untuk mengingatnya. Ada saja momen di mana sosok Andra kembali membayang.
Keputusannya untuk membuka jasa katering memang semata-mata karena usulan Galang yang pada akhirnya ia pertimbangkan dengan serius. Iseng ia membuka jasa katering pada tetanggannya. Tak dinyanya, rupanya mereka merespon dan meminta jasanya untuk membuat kotak makanan. Satu-dua kali pesanan rupanya cukup membuat keahlian Zahra dalam memasak diperhitungkan. Buktinya, ia kini mendapatkan pesanan lagi dari tetangganya.
Tapi setiap kali Zahra berjibaku sendirian di dapur, seperti saat ini, sosok Andra tak jarang muncul dan mengganggu. Ia jadi berharap sampai berandai-andai tentang hubungan mereka yang sudah kandas di tengah jalan.
"Kalau aja aku gak nikah sama Galang, mungkin sekarang kamu yang bantuin aku di dapur. Kalau aja kita masih barengan, mungkin aku gak perlu repot sendirian di dapur. Kalau aja ... kalau aja ...."
"Zahra!" Suara Galang membuyarkan lamunan Zahra. "Mana tangannya?"
Zahra pasrah membiarkan Galang membubuhkan sedikit betadin di tangan sebelum kemudian menutupnya dengan plester. Ia memandang suaminya itu lamat-lamat, dengan perasaan bersalah. Belum sepenuhnya ia bisa menerima sosok di hadapannya menjadi pendampingnya, tapi bukan berarti Zahra membenci Galang.
"Kamu bisa lanjutin potong bahan makanannya gak, Lang? Aku mau siapin bumbu-bumbunya dulu biar cepet beres. Sekalian sama kentangnya maksudku."
Galang mengangguk tanpa ragu. "Gak masalah. Aku lanjut potong buncis, udah itu baru kentang. Atau ... gimana kalau aku panggil Mamahh aja? Dia mungkin gak keberatan kalau bantuin kita?"
Zahra spontan menggeleng. "Kita berdua bisa lakuin ini kok. Pesanannya juga dikit kok, Lang."
"Kemarin-kemarin kan cuma beberapa biji. Sekarang lima puluh loh, Ra. Kamu yakin bisa beresin pesanannya sendirian?"
Zahra memutar badan menghadap kompor yang kemudian ia nyalakan. "Bisa kok. Aku bisa masak banyak dan beresin pesanannya tepat waktu." Ia menghela napas panjang sebelum memutar kepalanya pada Galang sambil tersenyum. "Bantuan kamu udah lebih dari cukup kok. Lagian pesanannya juga gak neko-neko. Masih masakan rumahan biasa."
Bayangan Andra kembali muncul. Zahra yakin yang ada di hadapannya saat ini Galang, tapi kenapa wajahnya malah seperti Andra?
Zahra buru-buru membalikkan kepalanya lagi sambil memegangi dadanya yang berdegup cepat. Jelas ada yang salah dengan penglihatannya. Atau mungkin ini karena hatinya yang sedang terusik oleh bayangan masa lalu?
"Lupakan, Andra. Lupakan dia, Zahra. Suamimu sekarang adalah Galang!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro