Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 37 Cowok Labil

Dermaga Palapalove seperti biasanya. Ramai setiap Mahira dan karyawan yang lain rutin singgah di sini. Citra dan Randu tampak sudah menjauh sambil bergandengan tangan. Rina, Yogi dan karyawan lainnya berjalan ke arah lain karena tak mau mengganggu kencan manis Citra dan Randu. Tersisa Andra dan Mahira yang masih belum beranjak sedikit pun dari bibir dermaga. 

“Mau ke mana?” tanya Andra pada Mahira yang malah melangkahkan kaki tanpa menjawab pertanyaannya. “Gimana kalau kamu temenin aku ke pelelangan ikan? Kayaknya sih masih keburu kalau jam segini.”

“Enggak. Kamu sendirian aja sana!”

“Nyari makan yang sedikit ke kota? Biar aku nanti sewa mobil.”

“Enggak. Buang-buang uang dan waktu.”

Andra memijit pelipisnya erat. Susah sekali mengajak Mahira untuk pergi berdua sesuai keinginannya. Jadinya Andra harus sabar mengekori ke mana pun perempuan itu pergi yang entah bertujuan atau tidak. Kalau dilihat dari cara jalannya, Mahira tampaknya tak punya tujuan. Kepalanya celingukan ke sana ke mari. Sesekali ia melirik ponselnya juga. 

Keduanya sudah berjalan saling mengekori hampir satu jam lamanya. Mahira tetap berjalan di depan dan Andra mengikuti tanpa mengeluh meski sesekali ia membeli minuman untuk melepas dahaganya.

“Nyari tempat apaan sih?”

Andra mengamati sekitar. Pantai Palapalove tampak di kejauhan. Tepat saat ia memerhatikan Mahira kembali, perempuan itu masuk ke sebuah Restoran. Ada tulisan kanji yang tertera di atas pintu yang sedikitnya Andra pahami. Ia tersenyum kecil sambil mengekori Mahira kembali dengan ikut masuk ke Restoran itu.

“Dari mana kamu tahu ada Restoran Jepang di sini?” 

Andra hendak menarik kursi yang ada di samping Mahira, namun perempuan itu malah menahannya. “Duduk di meja depan sana aja deh. Jangan sampe ada orang iseng lagi yang foto kita dan ngiranya lagi kencan.”

Andra tak protes tapi juga tak mengikuti arahan Mahira. Alih-alih menarik kursi di meja yang berbeda, ia malah memilih duduk tepat berhadapan dengan Mahira. Kontan saja wanita itu langsung melotot padanya. 

“Gak akan, Hira. Kalau pun ada, biarin aja. Toh kita balik lagi ke pulau setelah ini. Mau gosip seheboh apa pun beredar di media sosial, itu juga nantinya bakal jadi angin lalu aja kalau kitanya ngediemin.”

“Kamu kenapa gak gabung sama si Yogi atau Randu aja sih, Dra? Ngapain coba ngintilin aku terus!”

“Randu kan sama si Citra. Masa iya aku gangguin orang yang mau pacaran, Hira. Mikir aja kali gimana awkwardnya nanti jadi orang ketiga di antara orang yang lagi kasmaran.”

Mahira terkikik mendengarkan alasan itu. Masuk akal juga memang. 

“Kalau si Yogi, capek kalau bareng dia. Cerewet. Banyak ngoceh. Aku butuh waktu jauhan dulu sama tuh anak biar otakku gak meledak dengerin ocehannya dia yang kayak emak-emak kompleks itu.”

“Tapi, gak usah ngikutin aku juga, Dra. Gak bosen apa ketemu aku mulu? Gak pengen gitu cari pemandangan lain di luar sana?”

Andra menopang dagu. Menggeleng. Bersamaan dengan itu seorang pelayan datang dan menghidangkan dua buah piring di depan keduanya dengan menu serupa. Bedanya, minuman untuk Mahira berwarna kuning, sementara Andra putih yang memiliki bercak hitam.

“Buat apa cari pemandangan lain kalau di depan aku udah ada pemandangan yang indah?”

Andra mesem-mesem sendiri. Begitu juga pelayan yang belum pergi dari hadapan mereka.

Mahira kontan saja langsung melemparkan tatapan sengit saking malunya. Ingin sekali ia menyumpal mulut Andra yang tak pandang waktu dan tempat untuk menggodanya. Kalau bukan karena kenal siapa yang bicara, mungkin Mahira sudah jatuh dalam perangkap rayuan laki-laki itu.

“Malu, yah?” tanya Andra lagi. Senang sekali melihat Mahira salah tingkah begitu. “Gak usah malu-malu, Hira. Harusnya kan aku yang malu karena ngegodain kamu tapi kamunya acuh tak acuh.”

“Kalau kamu malu, jangan godain aku dong!”

“Gak apa-apa. Aku rela malu sampe malu-maluin diri sendiri demi kamu.”

Sepotong udang terjejal ke mulut Andra saat ia hampir membuka mulutnya untuk tertawa. Mahira melotot dengan tetap menekan garpu yang diujungnya ada udang agar Andra benar-benar menelan udang itu.

“Makan! Telen! Gak usah dikunyah sekalian!”

Mahira melepaskan tangannya. Ia biarkan garpu berisi udang itu tetap berada di mulut Andra. Lelaki itu termangu. Cukup kaget dengan tindakan Mahira yang tiba-tiba menyuapinya meski bukan dengan cara lembut.

Gara-gara ulah spontannya, Mahira harus kehilangan garpunya. Ia terpaksa menyantap olahan makanan dengan sendok yang tersisa ada di sana. 

Andra melahap udang yang disuapkan Mahira barusan. Mengunyahnya dengan sangat perlahan sambil terus menatap Mahira yang tertunduk dalam. Sesekali perempuan itu melahap makanan dengan sendoknya. Tak bicara lagi padanya. Mendadak diam begitu.

“Kamu butuh garpu, gak?” goda Andra yang dengan sengaja menyodorkan garpu berisi udang yang ia dapat dari piringnya sendiri. “Mau disuapin juga gak?”

Andra mendekatkan garpu itu ke mulut Mahira, namun perempuan itu spontan menarik mundur tubuhnya. Sesaat Mahira melirik lelaki yang malah memasang senyum lebar, tampaknya memang sengaja ingin menggodanya lagi kali ini.

Mahira merebut paksa garpu itu, lalu menelan udangnya dengan cepat. Mana mau ia menerima suapan dari Andra seperti keinginan lelaki itu. Ia tentu saja tak akan jatuh ke dalam perangkapnya.

Andra tak kecewa. Ia tahu kalau Mahira pasti akan membalas perlakuannya dengan cara kasar, tegas, dan bahkan mungkin akan membuatnya malu bukan main. Dan benar saja. Aksinya yang hendak menyuapi wanita itu langsung digagalkan begitu saja. 

“Si Galang dulu gak pernah romantis-romantisan gitu ke kamu? Misal kayak ngasih kado, nyuapin makanan, masakin, atau apa gitu?” tanya Andra ingin tahu.

Mahira menggeleng. “Aku gak suka digituin dan dia tahu itu.”

“Pernah makan di luar kayak gini?”

“Jarang.”

“Terus kalau ngedate sukanya di mana? Masa iya di mobil doang?”

“Di rumah.”

“Kapan?”

Andra ingat. Setiap ia menjemput Zahra untuk pergi, ia tak pernah melihat Mahira di rumah atau mendapati wanita itu di sana. Saat pulang malam pun, ia tak pernah melihat Mahira juga. Kalau kata Zahra, Mahira itu sibuk kerja.

“Kalau Galang pulang kerja.” Mahira menjawab enteng.

“Ya, kapan? Jam berapa gitu? Soalnya tiap kali aku ke rumah kamu, aku gak pernah tuh lihat si Galang jemput atau habis anterin kamu buat ngedate gitu.”

“Ya jelaslah! Orang kamu sama Kak Zahra tuh kalau kencan nyampe tengah malem! Gak tahu waktu! Aku sama Galang punya aturan sendiri. Kita ketemu dari sore dan beres pas isya. Gak boleh terlalu malem!”

Andra terpengah kaget. “Aku pikir itu cuma cerita bohongnya si Zahra kalau kamu tuh sama si Galang jarang ngedate keluar rumah.”

“Kita sama-sama sibuk. Kerja. Paling ketemu cuma weekend doang kan? Ketimbang buang-buang waktu dan tenaga buat keluyuran di luar sana, yah mending ketemu di rumah aja. Beli makanan di luar terus disantap di rumah. Lagian lebih aman juga. Orang tua bisa pantau kencannya kita kayak apa biar gak sampe kebablasan! Dari pada keluyuran keluar rumah, pulang-pulang malah tengah malem!”

“Kamu nyindir aku? Aku udah gak pacaran lagi sama Zahra.”

“Ngerasa kesindir?”

“Enggak juga sih.”

“Ya, udah. Kalau enggak, gak usah ngerasa kesindir aja.”

“Tapi … emang ada yah yang pacaran model gitu? Cuma ketemu di rumah doang? Gak rame dong!”

“Terserah aku dong! Kan itu aku, bukannya kamu!”

“Berarti kalau kita pacaran nanti, kita kencannya di rumah kamu gitu? Dua minggu sekali ke rumah kamu?”

Mahira manyun. “Siapa juga yang mau pacaran sama kamu!”

“Kali aja kita jodoh, Hira.”

“Jodoh buat pacaran? Enggak deh. Aku milih pensiun dari pacaran.”

“Mau langsung nikah dong kalau gitu?”

Mahira menggeleng. “Enggak juga.”

“Lah, terus? Mau ngejomblo terus?”

“Terserah aku dong! Mau aku gak pacaran, nikah, atau ngejomblo sekali pun, gimana aku aja. Hidup-hidup aku! Kamu gak berhak ngurusin!”

“Yah nanya aja, Hira. Kali aja ada lowongan buat aku biar bisa lebih dekat di kehidupan kamu. Kalau gak jadi pacar, calon suami, jadi suami sekali pun aku mau kok.”

Mahira tahu kalau Andra pasti sedang bergurau. Kalau bukan karena sadar akan hal itu, bisa saja ia sudah terbuai oleh kata-katanya. Terhasut. Lalu menganggap serius kata-katanya.

Tidak! Mahira tak akan semudah itu dibujuk dan dirayu. Menghadapi Andra dan segala godaan serta gombalannya akan ia anggap seperti sebuah peperangan. Di mana ia harus selalu menguatkan hati dan lebih menggunakan akal sehatnya saat menghadapi Andra. Jangan sampai Mahira jatuh dalam perangkap kata-katanya yang menjebak dan mengguncang kedamaian hati. 

“Kamu sendiri siapnya jadi pacar, calon suami, atau suami? Atau hanya tergantung lowongan doang?” Mahira kali ini yang dengan sukarela melemparkan tanya pada Andra.

“Tergantung lowongan dong! Aku siap menjadi apa pun yang kamu butuhkan dan mau.”

“Sayangnya, aku gak butuh cowok labil kayak gitu!”

Andra membeku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro