Bab 34 Benar-benar Jatuh Cinta
Andra berjalan di belakang Mahira. Berulang kali ia memanggil nama perempuan itu, namun Mahira tak menoleh padanya sekali pun. Selantang apapun Andra berteriak, Mahira seolah sengaja menulikan indera pendengarannya.
"Kamu kenapa sih?" Andra jadi jengkel sendiri.
Kalau ini gara-gara ulah Amel, Andra juga kesal pada perempuan itu. Sampai rasanya ingin sekali meninju wajah perempuan cantik sampai bonyok. Gak ada gunanya paras sempurna kalau ternyata hatinya berduri.
"Hira, aku juga gak tahu kalau dia itu sejenis cewek psikopat. Siapa pun pasti gak akan nyangka kalau cewek secantik itu rupanya punya sisi yang buruk! Mahira? Hey! Dengerin dulu!"
Langkah Mahira tiba-tiba melambat yang dimanfaatkan Andra untuk berlari menyusul perempuan itu. Ia berdiri di depannya, mencegah Mahira melangkahkan kakinya lagi. Raut wajah Mahira tampak putus asa. Sorot mata yang ditangkap Andra sama sekali tak mengandung amarah seperti yang ia duga.
Andra jadi serba salah. Mahira patut marah apalagi kesal padanya. Ulah fansnya itu benar-benar nyaris di luar nalar.
"Aku minta maaf, Hira."
"Kenapa kamu minta maaf?"
"Karena ulah Amel ke kamu."
"Itu salah dia, bukan salah kamu. Kenapa kamu yang minta maaf?"
"Terus kenapa kamu gak nyahut pas barusan aku panggil?"
Mahira membuang muka dari Andra. Cukup lama ia diam sampai membuat Andra merasa takut sendiri. Ia lebih baik cekcok dengan Mahira ketimbang menghadapi Mahira yang hanya diam saja seperti ini.
"Mau sampai kapan kamu bersikap seperti pacarku, Dra?" Mata Mahira tampak berkaca-kaca sekarang. "Lihat! Akibat perbuatanmu itu, aku harus menghadapi orang-orang aneh sampai membuatku hampir kehilangan nyawa. Pertama, Arjuna. Dia mempermalukanku di depan semua orang dengan melepas hijabku secara paksa. Kamu tahu artinya hijab ini bagiku, Dra?"
Sorot mata Mahira kali ini menampakkan keseriusan. Andra tak sampai hati membuka mulutnya satu inci pun.
"Ini adalah identitasku sebagai seorang perempuan muslimah. Aku berusaha menjaga diriku sendiri, mentaati aturan agamaku. Tapi, apa yang sudah aku hadapi karena sering dikira kekasihmu? Perlakuan tak menyenangkan dari orang yang mengenalmu sampai membuat harga diriku rasanya tak bernilai lagi."
Mahira menjeda kalimatnya sambil menghidu ingusnya yang perlahan keluar.
"Ya! Aku yang salah juga sih. Harusnya waktu itu aku lebih tegas ngadepin si Arjuna, tapi aku malah ngerasa bahwa lebih baik aku berlindung padamu saja dengan mengiyakan perkataanmu. Tapi lama-lama aku sadar kalau tindakan itu salah besar! Aku gak seharusnya membenarkan hubungan kita yang sama sekali tak terikat. Aku harusnya lebih berani menghadapi Arjuna tanpa harus berlindung di balik nama kamu. Seumur hidupku, aku tak akan lupa apa yang Arjuna lakukan padaku!
"Lalu setelah itu aku harus bertemu dengan Amel. Orang asing yang aku anggap sebagai tamuku. Tapi, apa lagi yang terjadi sekarang? Dia ternyata tak menyukaiku karena mengira kita memiliki sebuah hubungan terikat. Aku hampir mati di tangan perempuan itu, Dra! Dan itu semua disebabkan oleh ulahmu di pernikahan Zahra dan Galang! Kalau kamu membenci kakakku, kenapa kamu harus merugikan aku? Zahra dan Galang di luar sana baik-baik saja. Malah aku yang di sini harus menderita dan menerima perlakuan yang gak adil akibat fitnah yang kamu buat. Aku yang harus kena getahnya! Memang apa salahku ke kamu, Dra? Memangnya aku penyebab Zahra dan Galang menikah? Lantas kamu ingin aku menderita sementara Zahra yang sudah menyakitimu malah kamu biarkan begitu saja?"
Bibir Andra gemetaran. Melihat Mahira menangis, rasa bersalah bercokol di hatinya. Kata-kata yang terlontar dari mulut Mahira barusan seumpama panah yang melesat tepat menghujam jantungnya. Tepat sasaran.
Andra tak tahu jika tindakan isengnya itu akan berbuntut panjang sampai membuat nyawa Mahira terancam. Keisengan yang bermula dari rasa sakit hatinya pada Zahra ternyata malah salah sasaran. Menyakiti Mahira yang tak bersalah apa pun dalam hidupnya.
Andra malu bukan main. Merasa begitu pengecut. Hal yang menurutnya remeh nyatanya tidak untuk orang lain. Tindakannya yang ceroboh telah membuat kehidupan perempuan asing nyaris hancur berantakan. Tampaknya kata maaf saja tak cukup untuk membayar kesalahan yang sudah Andra lakukan.
"Kamu menyukaiku?" Mahira berdecih sinis. "Rasa suka macam apa yang malah membuat orang yang kamu sukai malah tersakiti? Kamu sadar apa yang telah kamu lakukan selama ini merugikanku, Dra?"
Andra mengangguk lemah. Ia baru saja menyadari itu. Bukan dari kemarin atau sebelummya, tapi ia baru sadar betapa besar kerugian yang diakibatkan oleh ulahnya harus dialami Mahira.
"Aku minta maaf, Mahira." Permintaan maafnya ini terasa pantas untuk Andra lontarkan. Bukan karena ulah Amel atau Arjuna, tapi karena ulahnya sendiri. Ia mengatakannya dengan tulus sampai rasanya malu sendiri. "Aku cuma—"
"Berhenti menyukaiku, Andra! Gak peduli apa kamu tulus mengatakannya atau tidak, aku gak mau lagi denger itu dari mulut kamu. Berhenti membuatku dalam kesulitan! Aku gak pernah ngusik apalagi ganggu hidup kamu, kan? Jadi, jangan ganggu dan usik hidupku juga."
Andra terdiam kaku saat Mahira pergi melewatinya. Ia tak lagi mengekori. Bukan tak ingin, tapi tak cukup sanggup menunjukkan wajahnya kembali di depan Mahira. Andra memilih untuk berjalan berlawanan dari Mahira dan malah kembali ke cottage Amel.
Amel jelas semringah melihat Andra kembali. Tadinya ia takut kalau Andra mungkin saja akan membencinya. Amel siap berhambur ke arahnya. Namun sayang, Andra malah melangkah mundur sambil mendorong tubuh Amel menjauh darinya.
"Bisakah aku meminta bantuanmu?" tanya Andra yang tampak putus asa. Kalau bukan karena terpaksa, ia tak akan mau bertemu muka dengan Amel.
"Tentu! Apapun yang Chef inginkan, akan aku lakukan!"
Andra dapat menangkap gurat rasa suka dari mata Amel. Ia kenal pandangan seperti itu. Tatapan rasa suka yang biasa Andra dapatkan dari para perempuan padanya.
"Minta maaflah pada Mahira," Andra menatap Amel sengit kali ini, "karena aku akan segera melaporkanmu ke pihak berwajib. Ini bukan peringatan, tapi perintah!"
Amel kalang kabut. Ia tergugu di ambang cottage sementara Andra pergi setelahnya. Bukan menuju dapur, tapi menuju tempat kerja Mahira.
Sebentar Andra menatap pintu ruang kerja Mahira yang sedikit terbuka, namun kakinya malah melangkah masuk ke ruang kerja Pak Satya.
"Aku punya usulan." Andra langsung duduk di sofa tanpa sekali pun menyapanya. "Segera tugaskan tenaga keamanan dan kesehatan profesional di sini. Pulau Ampalove semakin banyak dikunjungi. Kita tidak tahu jenis orang seperti apa yang masuk ke sini."
"Andra," suara lelaki tua itu makin tak terdengar. Hanya tersisa suara gemetar. "Kamu bisa mengusulkan itu pada Mahira, kan?"
"Aku mengusulkannya khusus pada Anda agar Anda bisa langsung menyampaikannya pada Pak Prawira. Atau ... Haruskah saya yang bicara pada beliau sendiri dan menceritakan apa yang telah diperbuat oleh teman anaknya pada manager tempat ini? Aku tahu kamu menutupi kejadian itu, Pak Satya. Jadi, pertimbangkan usulanku segera. Jika sampai besok tenaga keamanan dan kesehatan belum juga dikirimkan, maka aku terpaksa menceritakan kejadian itu. Kamu tahu kan apa yang akan terjadi selanjutnya jika sampai insiden itu terungkap?"
Pak Satya menjejalkan sisa puntung rokoknya ke dalam asbak. "Sepertinya kamu salah menduga, Andra. Pak Prawira sudah tahu hal ini dan dia memilih diam saja. Karena baginya masalah ini tak penting sama sekali! Tak ada untungnya juga Pak Prawira membela karyawannya daripada anak dari rekan kerjanya, kan? Dia bisa dengan mudah mengganti manager itu jika mau."
Andra menggebrak meja dengan kasar. Ia hanya bisa menahan geram sendiri sebelum kemudian keluar dari ruangan itu. Betapa terkejutnya Andra saat melihat ternyata ada Mahira di luar ruangan itu yang sepertinya telah menguping pembicaraan barusan.
Kepalang basah!
"Kita mengundurkan diri saja dari sini, Mahira!"
Andra tak sedang ingin basa-basi. Ia tahu Mahira sudah menguping pembicaraannya dengan Pak Satya. Tak perlu ada yang ditutupi lagi, kan?
Mahira memejamkan matanya cukup dalam sambil berjalan kembali ke ruangannya. Andra mengekori, tampak belum puas meyakinkan Mahira bahwa ajakannya ini adalah pilihan terbaik.
"Kamu dengar sendiri barusan, kan? Apa kamu mau diperlakukan seperti itu? Diperlakukan secara tak hormat! Kamu sudah mengalami hal yang tak menyenangkan sebanyak dua kali sejauh ini. Tapi atasanmu bahkan tak menganggap hal itu sebagai masalah serius!"
"Andra ...," Mahira memanggil nama lelaki itu lirih. Tampak putus asa.
Sayangnya, Andra sedang kalap. Setelah mendengarkan luapan emosi Mahira, ia tak bisa hanya tinggal diam saja lagi.
"Masih banyak pekerjaan yang lebih baik dari tempat ini, Mahira. Kalau kamu mau, aku bisa mengenalkanmu pada seseorang yang akan membantumu mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Dan aku jamin! Tempat kerjanya nanti akan aman untukmu."
"Andra—"
"Kali ini kamu harus mendengarkanku, Hira. Aku tak mau kecelakaan yang terjadi padamu terulang kembali. Aku—"
"Andra!"
Andra seketika diam saat Mahira membentaknya lantang.
"Ini urusanku. Tolong jangan ikut campur. Hanya aku yang berhak memutuskan apakah aku akan tetap bekerja di sini atau tidak. Ngerti?"
"Tapi, Hira—"
"Pergilah, Andra! Kalau kamu memang tak ingin bekerja di sini, pergilah sendiri. Gak usah ajak-ajak aku. Aku kerja di sini juga bukan karena kamu kok. Aku di sini atas kemauan diriku sendiri."
"Baik. Jika itu maumu."
Andra keluar dari tempat kerja Mahira dengan perasaan kacau balau. Jengkel tapi juga merasa bersalah. Bingung pada dirinya sendiri karena bisa-bisanya bertindak sejauh ini sampai mengajak Mahira mengundurkan diri dari pekerjaannya.
Jelas ini keliru! Tindakannya ini di luar kendalinya. Mungkin memang disebabkan oleh rasa bersalah, takut Mahira mengalami kejadian tak menyenangkan lagi karenanya, tapi bukahkah tindakannya ini terlalu berlebihan?
Ada apa dengannya? Kenapa tiba-tiba ia seperti ini pada Mahira? Apakah ia benar-benar menyukai Mahira?
Benar-benar jatuh cinta pada wanita itu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro