Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 27 Mencari Keberadaan Mahira dan Andra

Semalaman Mahira tak bisa tidur nyenyak. Sampai pagi tadi, Mahira duduk di dekat jendela kamar sambil menatap perubahan malam yang perlahan menjadi pagi. Perkataan Andra berhasil membuat kepalanya sakit bukan main. Juga hatinya tentu saja.

"Mbak Hira!" Teguran Citra yang tak sengaja memergoki Mahira dalam posisi bengong tak berhasil mengalihkan perhatian wanita itu.

Dengan jalan mengendap-endap, hati-hati sekali, Citra menghampiri Mahira yang masih bergeming di tempatnya.

"Mbak Hira ... Mbak ...."

Citra sampai harus menggoyangkan pundak wanita itu sampai mendapatkan perhatiannya. Mahira tampak terkejut melihatnya. "Eh, Cit. Mau ke pantai?"

Citra mengangguk. "Iya, Mbak. Biasalah. Ngecek-ngecek peralatan sama kondisi pantai. Takutnya ada yang bunuh diri lagi kayak waktu itu," katanya sambil cengengesan. Berniat untuk menjadikan topik itu bahan candaan.

Tapi sepertinya usaha Citra gagal total karena Mahira hanya tersenyum sebentar.

"Mbak sakit?" tanya Citra yang semakin khawatir melihat raut wajah Mahira tampak lesu.

"Aku cuma kekurangan tidur aja kayaknya, Cit."

"Udah sarapan?"

"Nanti aja deh."

"Aku mau sarapan dulu nih, baru udah ke pantai. Bareng aja, Mbak!"

Mahira menggeleng pelan. "Kamu duluan aja, Cit. Nanti aku nyusul."

"Mbak gak apa-apa, kan? Wajahnya pucet gitu! Aku panggilin Mas Andra yah. Kayaknya kalau soal beginian wajib dilaporin ke pacarnya."

Sesak sekali dada Mahira mendengarkan perkataan Citra barusan. Jika biasanya ia akan begitu berambisi untuk mengelak, menyangkal, atau bahkan bertindak tegas meluruskan kesalahpahaman seperti semalam, kali ini Mahira bertindak bertolak belakang.

Capek!

Ya! Mahira capek berkata jujur kalau ternyata inilah yang diinginkan Andra. Mahira merasa usahanya untuk menjauhkan dirinya dari fitnah begitu sia-sia. Mahira harusnya tak marah, kesal, atau jengkel pada Rina, Citra, atau siapa pun yang menuduhnya sebagai pacar Andra. Ini bukan salah mereka!

Ini semua salah Andra!

Mahira beringsut ke ranjang sebelum membenamkan diri di balik selimut. Tanpa mengatakan apa pun lagi pada Citra yang terdengar melangkah keluar dari kamarnya. Mahira mencoba memejamkan matanya dengan rasa sakit yang bercokol di hatinya.

Setelah ditinggalkan Galang, dikhianati kakaknya sendiri, kini Mahira harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah diperalat oleh Andra.

Sesial inikah kehidupan Mahira sampai tak ada satu pun hal yang bisa membuatnya bernapas lega dan merasa bahagia?

Dengan menjauh dari segala hal yang menurutnya adalah sumber masalah, nyatanya Mahira malah harus menghadapi masalah baru. Harus bagaimana Mahira bersikap di depan Andra kalau begini jadinya? Kenyataannya mereka adalah rekan kerja. Rasanya tidak etis jika ia mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Mahira tak mungkin kan menghindari Andra meski ia inginnya begitu?

Ya Tuhan ... Mahira ingin pergi ke tempat lain yang lebih jauh lagi. Lebih terpencil dari Pulau Ampalove. Catatan utamanya, tanpa seorang pun yang mengenal Mahira. Tersesat di pulau tak berpenghuni mungkin bukan doa yang buruk, kan? Jika kenyataannya, setiap kali bersinggungan dengan manusia, selalu ada masalah yang muncul.

Terdengar suara kaki menaiki tangga. Mahira buru-buru menutup matanya saat mendengar suara tak asing meneriaki namanya.

"Mahira! Hira! Di mana kamu?"

Andra muncul dari balik pintu. Ia bergegas masuk ke dalam kamar Mahira yang terbuka diikuti oleh Citra di belakangnya. Keduanya saling berpandangan saat mendapati Mahira ternyata sudah terlelap di balik selimut.

"Wajahnya tadi pucet banget, Mas." Citra mengadu pada Andra dengan suara pelan. Takut mengusik Mahira yang sudah tidur.

"Dia sakit atau gimana? PMS kali!" terkanya.

Andra jadi serba salah. Berdiri tak tenang di dalam kamar itu sambil menatap selimut yang menutupi tubuh Mahira dengan perasaan was-was.

"Gak mungkin deh, Mas. Siklus menstruasinya udah beres kok kemarin!"

Mahira ingin sekali merutuk pada Citra karena telah berani membongkar rahasia keperempuanannya. Tentu saja Mahira yang tengah pura-pura tidur hanya bisa diam saja. Ia tak mau berhadapan dengan Andra saat ini, nanti, atau nantinya lagi. Pokoknya, Mahira belum siap. Mahira tak mau bertatap muka dengan Andra. Mendengar suara lelaki itu dari kejauhan pun sudah membuatnya ingin menangis.

"Aku buru-buru, Mas. Mesti cepet-cepet ke pantai. Tapi, Mbak Mahira gimana, yah?" tanya Citra yang juga ikut bingung sendiri.

"Kamu pergi aja. Biar aku yang urus Mahira."

Dari balik selimut itu Mahira meremas tangannya yang terkepal di balik selimut. Sambil merapal doa dalam hati semoga Andra tak berbuat macam-macam padanya di sini. Semoga. Karena rasanya Mahira mulai mengantuk sekali sekarang. Ia ingin tidur. Tidur yang lama.

***

"Mahira dan Andra keja di Pulau Ampalove? Mereka kerja di sana barengan?"

Syala yang duduk di hadapan Zahra mengangguk dengan senyum lebar. "Kakak emang gak tahu?"

Zahra menggeleng pelan. Masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya barusan.

Syala diam-diam tertawa puas dalam hati. Senang sekali melihat wajah pias Zahra yang tampaknya begitu terkejut mendengar kabar itu. Kalau bukan karena Zahra yang datang menemuinya lebih dulu, mungkin Syala akan menyimpan rapat-rapat rahasia ini seperti yang Mahira ingin.

Tapi sayangnya Syala terlalu gemas untuk merahasiakannya dari Zahra. Ia ingin sekali tahu bagaimana reaksi kakak Mahira yang telah lancang menyakiti adiknya sendiri itu, kalau tahu mantan kekasihnya tengah bersama adiknya itu. Dalam hati Syala berharap semoga Andra dan Mahira memang berjodoh.

"Tapi ... bagaimana bisa Andra tahu kalau Mahira kerja di—"

Zahra tiba-tiba saja teringat sesuatu. Kemunculan Andra tepat ketika Mahira pergi ke Pulau Ampalove, juga foto-foto kebersamaan Mahira dan Andra yang viral beberapa minggu ke belakang. Semuanya saling terhubung. Semakin meyakinkan Zahra kalau informasi yang ia dapat dari Syala tampaknya memang benar.

Tapi, bagaimana bisa? Kenapa mereka bisa bekerja di sana bersama-sama? Apakah ini adalah rencana mereka sejak awal? Apakah mungkin Andra dan Mahira memang benar-benar berpacaran? Lalu klarifikasi yang mereka buat artinya apa?

Isi kepala Zahra rasanya nyaris pecah. Semua hal yang berhubungan dengan Mahira dan Andra mengusik kesehariannya berhari-hari lamanya sampai membuatnya tak bisa tidur dengan tenang. Setelah mengetahui faktanya, Zahra semakin yakin kalau tidurnya tak akan pernah nyenyak sama sekali.

Zahra pulang ke rumahnya sore itu dengan tubuh lelah seperti habis berperang saja. Ia menjatuhkan diri di sofa dengan wajah putus asa. Hal pertama yang dilakukannya adalah membuka ponselnya lalu mencoba menelepon Mahira. Untuk kali pertama ia memberanikan diri menelepon adiknya itu akibat dirundung rasa ingin tahu.

Nihil! Ponsel Mahira tak aktif. Berulang kali ia menelepon adiknya, tapi tak ada tanggapan. Pesan singkat melalui berbagai media pun ia lakukan dengan isi pesan yang sama:

[Kamu sama Andra beneran kerja bareng di Pulau Ampalove? Kalian beneran pacaran?]

Saking seriusnya Zahra mengirimkan pesan singkat itu pada Mahira, ia sampai tak menyadari kemunculan Galang dari arah pintu yang lupa ia tutup kembali.

Melihat istrinya yang begitu serius menatap ponselnya, Galang jadi tak berani menginterupsi. Ia berjalan perlahan mendekat dari arah belakang Zahra, bermaksud untuk mengejutkan istrinya itu. Namun, ketika Galang tak sengaja menangkap isi pesan yang hendak dikirimkan Zahra, Galang terpaku membaca keseluruhan isi pesan itu.

"Mahira sama Andra kerja di tempat yang sama?"

Zahra terkejut mendengar suara itu. Dengan terburu-buru ia menyembunyikan ponselnya meski sayangnya hal itu begitu sia-sia karena Galang sudah lebih dulu membaca pesannya.

"I-iya, Lang. Aku baru tahu tadi dari Syala," kata Zahra tergagap. Salah tingkah. Serba salah juga. "Dia cerita kalau Mahira sama Andra kerja di Pulau Ampalove. Kamu tahu kan kalau Mahira kerja di sana? Ternyata Andra juga kerja di sana, Lang."

Galang membuang napas kasar. "Oh ... jadi ini yang bikin kamu akhir-akhir ini selalu fokus lihat ponsel?"

Semenjak insiden makanan gosong itu, Galang memilih bungkam dengan tindak-tanduk Zahra yang semakin hari malah lebih sering fokus dengan ponselnya. Galang pikir, itu adalah cara Zahra untuk mengusir rasa jenuh dan bosannya. Maklum saja, perempuan itu tak memiliki kegiatan lain selain berada di rumah. Jadi, Galang mencoba memahami itu dan membiarkannya saja.

Tapi, pesan singkat tadi sepertinya adalah jawaban sebenarnya dari tindakan Zahra yang akhir-akhir ini begitu candu dengan ponselnya.

"Kamu nyari tahu soal Andra? Begitu?"

Zahra panik bukan main meski terkaan Galang memang tak meleset. "Bukan, Lang. Aku justru nyari tahu soal Mahira soalnya dia udah gak ada kabar lama. Ibu cerita kalau Mahira sempet nelepon, tapi ke aku enggak. Aku mikirnya mungkin Mahira segan gitu ngehubungin aku. Makannya aku inisiatif nyari tahu soal dia. Aku gak mau hubunganku sama Mahira kayak gini terus. Dan," kerongkongan Zahra terasa tercekat untuk memaksakan diri mengurai alasan, "soal Andra, aku gak tahu-menahu kok. Sungguh! Aku gak tahu kalau dia kerja bareng Mahira di tempat itu."

"Berikan ponselmu sekarang juga!" perintah Galang dengan wajah galak. Melihat Zahra yang diam saja, Galang semakin tak bisa menahan diri. "Berikan ponselmu, Zahra!"

Ragu-ragu Zahra mengulurkan ponselnya yang langsung direbut oleh Galang. Zahra takut bukan main!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro