Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 17 Merindu Mahira

"Sayuuurrr!! Tahuuu! Tempeee!"

Zahra membuka gerbang rumahnya dengan hati-hati. Sebuah gerobak sayur berada tak jauh dari depan rumahnya. Tampak ada beberapa wanita berusia matang merangsek perlahan mendekati, begitu juga dengan dirinya dan Mamah Lia yang keluar dari rumah nyaris bersamaan.

"Pagi, Mah ...." sapa Zahra ramah. Lengkap dengan seulas senyum dan kakinya pun perlahan mendekati Mamah Lia.

Sayang, Mamah Lia tak menanggapi sapaannya dan memilih memalingkan wajahnya, lalu menyapa para tetangga yang sudah mengerumuni gerobak si tukang sayur.

Zahra diam sejenak. Langkahnya terasa berat. Ingin sekali ia balik arah, masuk kembali ke dalam rumah. Namun, ia juga tak bisa membatalkan rencananya membeli beberapa bahan makanan dari si tukang sayur. Menyandang status sebagai istri dijalani Zahra bukan hanya dengan tumpang kaki saja di rumah. Ia menjalankan kewajiban sebagai seorang istri pada umumnya. Memasak, mencuci, sampai melayani suami, semua dilakukannya sendiri. Tanpa ada asisten rumah tangga.

Zahra mencoba ikut berbaur dengan percakapan heboh para tetangganya itu. Bahasannya nyaris sama seperti kemarin. Tentang anak gadis Bu RT yang sering pulang larut malam diantar cowok berpakaian serba hitam yang katanya memiliki tato ular di pundak.

"Anak zaman sekarang itu yah gak punya rasa malu jalan sama lawan jenis. Mana pake baju serba terbuka lagi! Gak kedinginan apa, yah? Mana sering pulang malem lagi."

"Makannya, saya gak kasih izin si Lastri buat keluyuran lebih dari jam empat sore, Bu. Jaga-jaga! Sebagai orang tua, sudah kewajiban kita kan jaga anak gadis kita dengan baik? Jangan sampai mereka malah hamil di luar nikah lagi! Ih! Amit-amit pokoknya."

"Gak keluyuran keluar rumah juga gak menjamin anak gadis Ibu tuh baik. Banyak tuh kasus-kasus anak yang pamer foto seksi lewat media sosial, kan? Hati-hati, Bu. Jagain anak jangan cuma fisiknya aja. Harus jeli juga jejak rekamnya di media sosial. Jangan sampai anak gadis kita diam-diam buka aurat di luaran sana!"

"Iya, tuh. Bener banget! Penjagaan kita buat anak di zaman serba canggih begini tuh meski double ekstra combo. Jangan sampai juga anak-anak kita jadi pelaku perebut laki orang! Iya, gak?"

Zahra yang tadinya hanya tersenyum mendengarkan celotehan asyik ibu-ibu di sana, mendadak tak nyaman mencomot seikat kangkung sejauh tangannya menjangkau. Ekor matanya menangkap para ibu yang secara terang-terangan memerhatikannya. Ketika Zahra mendongak, benar saja! Banyak pasang mata tengah meliriknya. Ada yang pura-pura tak melihat, tapia da juga yang kembali meliriknya meski sudah ketahuan.

"Bukan cuma anak cewek yang kelakuannya harus diwaspadai, Bu. Nyatanya kan gak sedikit anak-anak lelaki yang doyan rebut perempuan milik orang lain."

Zahra mulai merasa tak nyaman mendengarkan percakapan mereka. Telinganya terasa gatal dan hatinya membara bagai nyala api. Mamah Lia yang sedari tadi diam juga tak banyak bicara. Ia juga ikut mendengarkan celotehan tetangga yang tadi sudah disapanya ramah.

"Pokoknya kita jadi orang tua harus bisa didik anak kita jadi orang baik. Jangan sampai salah kaprah dan bertindak!"

"Betul! Apalagi sampai merugikan atau menyakiti orang lain. Mending sih kalau nyakitinnya orang asing. Lah? Kalau saudara sendiri yang disakitin, apa gak keterlaluan?"

Zahra membanting seikat kangkung yang sudah siap ia beli ke sebarang arah. Semua orang di sana terenyak bukan main. Tak terkecuali Mamah Lia. Zahra dipandangi orang-orang di sana dengan tatapan sengit.

"Ibu-ibu kalau ngegosip tuh harus berdasarkan fakta, bukannya opini. Nanti jatuhnya malah jadi fitnah kalau didenger sama orang lain!" sembur Zahra tanpa tedeng aling-aling. Emosinya bergemuruh.

Wajah Mamah Lia merah padam. Serba salah. Malu dan juga kesal. Ingin menegur sikap Zahra, tapi takut harus menanggung rasa malu yang lebih banyak lagi di depan tetangganya. Mamah Lia sadar bahwa yang tengah para tetangganya bicarakan barusan adalah mengenai anak dan menantunya. Mamah Lia maklum. Dia sudah hidup bertetangga puluhan tahun di tempat ini. Bukan hal aneh kalau para tetangganya bisa secara sembunyi-sembunyi bergosip seperti tadi atau bisa saja secara terang-terangan.

"Saya gak jadi beli, Pak. Maaf." Zahra kepalang murka. Ia memilih batal membeli bahan makanan dari si tukang sayur ketimbang harus mendengarkan celotehan ibu-ibu tentangnya.

Memang tahu apa sih mereka? Seenaknya saja membicarakan orang lain seperti itu! Mana ngomonginnya di depan dia langsung lagi! Apa mereka tak punya rasa malu sedikit pun?

Zahra pikir kepergiannya dari tempat itu akan menghentikan aksi para tetangganya untuk bergosip. Nyatanya, baru beberapa langkah menjauh, ia harus kembali mendengar celotehan mereka yang malah membuat hati Zahra semakin panas membara.

"Ibu yang sabar yah. Nanti pasti Galang akan dibukakan hatinya kalau dia itu udah salah pilih pasangan."

"Hush! Kok ngomongnya kayak gitu sih, Bu. Gak sopan! Harusnya kita tuh mendoakan semoga Galang hidup bahagia dengan pasangan pilihannya. Begitu!"

"Semoga segera menimang cucu juga."

"Tapi jangan sampai anaknya punya kelakuan yang sama kayak orang tuanya."

"Hush! Dijaga kalau ngomong!"

Mamah Lia hanya mengangguk menahan rasa dongkol. Maunya sih dia menyumpal mulut pahit para tetangganya itu dengan seikat kangkung yang sedang ia pegang. Tapi, Mamah Lia tahu, hal itu tak akan cukup untuk membungkam mereka agar tak lagi membicarakan anak dan menantunya seperti itu.

***

Zahra tak bisa duduk diam saja setelah secara terang-terangan digunjing oleh para tetangganya. Ia menelepon Galang pagi itu, tak peduli Galang sedang sibuk atau tidak. Sampai Galang menjawab panggilannya, Zahra terus menelepon suaminya tersebut.

"Aku lagi ada rapat, Sayang." Suara Galang dari seberang sana terdengar pelan. Nyaris seperti berbisik. "Nanti aku telepon lagi kalau rapatnya udah beres. Oke?"

"Gak bisa! Tetangga kita barusan ngomongin kita, Galang! Di depan Ibu kamu sendiri. Ngegosip yang enggak-enggak tentang kita. Mereka siapa sih sampai repot ngurusin hidup orang segala, Lang?"

"Gak usah dengerin. Mereka emang kayak gitu, Sayang."

"Ya, tapi, Lang—"

"Aku tutup dulu. Nanti aku telepon balik. Bye!"

Zahra mengerang keras setelah sambungan telepon terputus. Bersamaan dengan itu, suara bel pintu rumahnya berbunyi nyaring. Ogah-ogahan Zahra membuka pintu. Ia dapati Mamah Lia berdiri di ambang pintu itu sambil menenteng dua kantung plastik putih.

"Ini," Mamah Lia menyerahkan satu kantung plastik pada Zahra, "tadi kamu ninggalin belanjaannya."

Zahra sungkan menerimanya. Tersenyum saja ia enggan. Masih teringat diingatannya saat tadi pagi bersikap ramah pada Mamah Lia, tapi yang ia dapat malah wajah berpalingnya. Nyeri sekali hati Zahra diperlakukan demikian oleh ibu mertuanya sendiri.

"Terima kasih, Bu. Nanti Zahra bakal kirimin hasil masakannya ke rumah Ibu."

"Gak perlu. Untuk kalian saja. Ibu bisa masak sendiri."

Zahra menerima kantung itu dengan perasaan tak nyaman. Bukan karena ia tak bersyukur atas pemberian Mamah Lia. Raut wajah kusut Ibu mertuanya itu tak ubahnya bagai pertanda keras bahwa Zahra masih belum bisa diterima sebagai menantu oleh keluarga Galang.

Kalaupun iya, tak bisakah Ibu mertuanya ini sekali saja tersenyum padanya? Berhenti bersikap dingin seolah Zahra seperti virus yang harus dijauhi?

Mungkin memang benar. Pernikahan bukan hanya tentang dua orang yang saling mencintai, tapi juga tentang keharmonisan keluarga masing-masing pasangan.

Bukan hal yang mudah bagi seorang menantu dapat beradaptasi di keluarga suaminya, begitu juga sebaliknya. Bukan hal mudah juga bagi sebuah keluarga menerima anggota baru yang dinamakan sebagai menantu. Zahra sudah banyak mendengar cerita tentang hubungan mertua dan menantu yang nyaris tak berjalan harmonis. Sama halnya seperti yang ia alami saat ini mungkin.

Zahra mencoba berlapang dada. Mungkin memang hubungan mertua dan menantu harmonis hanyalah sebuah mimpi belaka. Sulit untuk diwujudkan.

Tapi, apa hal yang ia alami juga akan dialami Mahira jika adiknya itu resmi menjadi menantu keluarga Galang? Jika ya, itu artinya Mahira beruntung karena batal dipinang Galang. Mahira harus berterima kasih padanya karena telah sukarela menggantikan posisi menjadi istri Galang, bukan?

Mengingat adiknya secara tiba-tiba seperti ini membuat Zahra begitu merindukan Mahira. Entah bagaimana kabar adiknya itu yang kini pergi bekerja di tempat yang sulit dijangkau. Apa namanya kemarin? Zahra sempat mendengarkan obrolan Mahira dengan orang tua mereka.

Oh. Ya! Pulau Ampalove. Bagaimana Zahra bisa mengetahui keadaan Mahira di tempat itu?

Zahra menatap nama kontak Mahira cukup lama. Tak sedikit pun ia mencoba menekan ikon hijau bergambar gagang telepon itu.

Sulit! Sulit sekali bagi Zahra. Ia ingin menghubungi Mahira, menanyakan banyak hal padanya, berbagi keluh kesah, seperti yang sering mereka lakukan dulu. Tapi, Zahra urung. Ia merasa tak bisa berbicara dengan Mahira saat ini. Zahra tidak siap. Ini terlalu sulit baginya. Tapi, Zahra merindukan Mahira.

Sangat. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro