Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 142 Status Berlipat Ganda


Disebut menyesal sebenarnya tidak juga. Mahira tahu kalau keputusannya ini bukan hanya demi dirinya, tapi KELUARGA. Ia dan Andra sudah membentuk keluarga baru sekarang, bukan lagi sekedar aku dan kamu. Ini bukan sebagai pengorbanan mungkin, tapi kewajiban yang memang harus Mahira lakukan kapan pun. Entah itu sekarang atau nanti.

Dalam genggaman tangan Andra, Mahira memantapkan keputusan yang sempat disesalinya. Kehilangan pekerjaan tak akan sebanding dengan kehilangan orang yang dicintai, bukan?

“Siap?” tanya Andra.

Suaminya itu mengeratkan genggamannya. Mahira yang sudah dibalut gaun merah muda mengangguk tanda setuju. Ketika pintu dibuka, cahaya berkilatan menyambut mereka. Mahira sampai terpejam beberapa saat lamanya karena terkejut. Untung saja Andra menggenggam tangannya dengan sangat erat dan menuntunnya harus berjalan ke sisi mana.

Banyak kamera terarah pada mereka, disertai kilatan cahaya dari beberapa titik. Di antara itu ada banyak orang berkerumun, hanya memusatkan perhatian pada Andra dan Mahira yang kini sedang duduk berdampingan.

“Benar! Kami berdua sudah menikah!” tegas Andra mengatakannya. 

Hal yang tak pernah Mahira duga sebelumnya adalah kisah cintanya dengan Andra harus menjadi konsumsi publik seperti ini. Pernikahannya dengan Andra yang dilakukan mendadak seperti bom atom yang ledakannya mengusik penghuni bumi. Semua orang begitu ingin tahu kebenarannya sampai ia dan Andra dituntut melakukan klarifikasi segala macam artis papan atas saja.

Rupanya klarifikasi yang dibuatnya dengan Andra bukanlah akhir dari segala permasalahannya. Banyak gosip aneh lagi mulai bermunculan setelah Mahira digosipkan hamil duluan, Andra yang hanyalah chef miskin karena tak mampu mengadakan sebuah acara resepsi pernikahan mewah, hubungan mereka yang tak direstui oleh keluarga, sampai rumor tentang Mahira yang keguguran.

“Bener-bener deh mereka ini! Kok bisa sih Dra mikirnya jauh begini! Apa perlu aku kasih tahu mereka kalau pas kita nikah itu, aku lagi datang bulan?”

Mahira jengkel sekali. Klarifikasi sudah dibuat, meski ia tadinya menolak keras untuk menampakkan wajah di depan publik, rupanya gagal total. Sepanjang perjalanan pulang Mahira sibuk bergerilya di media sosial mencari tahu tentang perkembangan gosip dirinya dan Andra. Sementara itu, Andra fokus menyetir.

“Gak usah! Capek juga ngeladenin mereka, Ra. Antepin aja deh!” Andra menanggapi enteng. Lama kelamaan ia jadi terbiasa juga rupanya dengan perubahan situasi. 

Dulu, ia hanya digandrungi kaum hawa saja. Sekarang, ia menjadi pusat perhatian hampir semua orang. Terutama para wartawan tentunya.

“Terus gimana dong aku nanti kalau nyari kerjaan? Gak bakal jadi masalah ke depannya?”

“Nyari kerjaan?” Andra benar-benar tak mengira kalau Mahira masih memikirkan hal ini. “Ya ampun, Hira. Belum juga sehari resign. Kamu gak mau apa nikmati masa-masa kamu jadi pengangguran dulu? Ada yang nafkahin ini kok!”

“Gak bisa, Andra. Aku bisa stress kalau gak ngelakuin apa-apa!”

“Cewek itu kebanyakan pengennya diem di rumah, duduk santai, nunggu suami pulang kerja, belanja, ngemall, atau senang-senang dengan aktivitas lain. Lah, kamu? Kerja? Kamu malah pengen capek-capekan kerja? Dasar cewek gila kerja!” olok Andra.

“Itu kamu tahu! Aku bukan cewek yang bisa tenang cuma diem doang, Andra. Aku harus melakukan sesuatu!”

“Ngepel, nyapu, nyuci, pekerjaan kamu udah banyak, Hira.” Andra mengingatkan tugas rumah yang satu ini. Kecuali memasak tentunya. 

“Ngebosenin! Kita sewa pembantu rumah tangga aja, Dra.” Enteng sekali Mahira menanggapi demikian.

Andra melirik sinis pada istrinya. “Durhaka kamu yah, Ra! Itu kewajiban kamu sebagai istriku!”

“Siapa yang bilang itu kewajiban seorang istri?” balas Mahira sinis.

“Emang bener kok! Istri itu tugasnya nyapu, ngepel, nyuci, bahkan masak kalau kamu emang bisa. Karena kenyataannya aku yang lebih jago masak dari kamu, jadi tugasnya masak itu aku yang handle.”

“Enak aja! Kewajiban istri itu cuma mengandung dan melahirkan yang gak bisa diwakilin suami kecuali kalau suaminya berubah jadi wanita. Kamu harusnya bisa dong bedain mana kewajiban dan mana yang sunnah,” balas Mahira tak kalah sengit.

Andra tersudut sekarang atas jawaban Mahira yang ternyata masuk akal juga. “Kalau gitu … aku mau lima anak! Eh, enggak! Dua belas anak!”

“Heh? Kamu pikir aku kucing apa?”

Andra angkat bahu. “Kamu bukan kucing, tapi manusia, Hira. Manusia juga bisa melahirkan banyak anak kok. Tenang aja! Aku sanggup biayain!”

“Program pemerintah itu dua anak cukup, Andra!” Mahira beralasan.

“Itu programnya pemerintah, kan? Programnya aku yah beda lagi. Suka-suka aku dong! Toh pemerintah gak bakalan rugi juga kalau aku punya banyak anak. Yang bikin, ngurusin, bahkan biayain kan kita berdua!”

Mahira sudah siap menyela lagi ketika tiba-tiba mobil malah berhenti di depan sebuah hotel. Ia celingukan memandang sekitar. Termasuk Andra yang sudah melepas seatbelt-nya.

“Dra, aku masih dateng bulan loh! Ngapain kita ke sini?” tanya Mahira penuh curiga.

Andra tergelak mendengar pertanyaan Mahira itu. “Terus kalau kamu masih dateng bulan emang kenapa? Gak boleh ke hotel gitu?” tanya Andra sambil cekikikan.

“Bukan gitu. Maksudku … ngapain kita ke sini?”

“Turun aja dulu! Ayo!”

Mahira waspada sepanjang mengekori Andra memasuki hotel tersebut. Menatap curiga suaminya yang tampak santai melambai pada para karyawan hotel yang tanpa canggung juga balas menyapanya. 

“Kamu kenal mereka?” bisik Mahira penuh curiga. Gelagat Andra sekarang aneh sekali. Bagaimana bisa dia kenal para karyawan hotel di sini?

“Enggak.” Andra menjawab singkat.

“Terus ngapain lambai-lambai tangan segala ke mereka? Sok kenal!” oloknya.

“Karena mereka kenal aku mungkin?”

“Hah? Gimana? Gimana?”

Rasa penasaran Mahira akan keberadaan mereka di sini terjawab beberapa saat kemudian ketika Andra membawanya bertemu kakek di salah satu kamar hotel. Lagi. Mahira harus menjadi saksi tingkah si kakek yang tengah dikerumuni banyak wanita-wanita muda. Andra sendiri tanpa sungkan mengusir mereka semua.

“Mana mau Mahira mengelola hotel yang dijadikan tempat mesum sama kakek?!” bentak Andra dengan suara tinggi. “Kakek mikir dong!”

“Hah? Mengelola hotel? Aku?” Mahira takut salah menangkap maksud dari perkataan Andra barusan. “Kok aku?”

Andra mendengkus jengkel. Menunjuk muka kakek yang masih santai duduk di sofa dengan senyum tanpa dosanya. “Dia pengen kamu yang ngelola hotel ini setelah tahu kalau kamu resign dari pulau, Ra.”

“Benar!” Kakek menyahut cepat. “Kakek sudah mendengar sendiri dari Pak Prawira soal kinerja kamu saat menjadi manager pulaunya. Karena kamu sudah membuat cucu kakek yang brengsek ini jadi insyaf, kakek mau memberikan kamu hadiah dengan menjadi CEO hotel ini, Mahira. Kamu tentu mau, kan?”

“Dra ….” Mahira tergagap hendak menanggapi. Hatinya berjingkrak riang mendengar tawaran itu, tapi ia terlalu sulit mengungkapkannya. Ini tentu bukan hal yang sempat diterkanya.

“Gak apa-apa.” Andra tampak tak acuh. “Terima aja. Kakek yang nawarin sendiri kok. Keputusan ada di tangan kamu. Toh hotel ini gak sejauh Pulau Ampalove, kan? Kita gak akan sampai LDM cuma gara-gara kamu jadi CEO di tempat ini.”

Mahira tentu salah tingkah dibuatnya. Tapi, masih ada hal yang mengganjal.

“Tapi … harusnya Andra yang jadi CEO tempat ini. Mungkin aku bisa ambil posisi jadi manager saja, Kek. Kalau jadi CEO … itu … kayaknya terlalu berlebihan. Bener gak, Dra?” Mahira meminta penilaian Andra juga kalau pendapatnya ini cukup kuat.

Tapi, Andra malah angkat bahu. “Aku gak minat nerusin bisnis keluarga!” Tegas Andra memberikan jawaban. “Aku lebih suka membangun bisnisku sendiri, Hira.”

“Tuh! Lihat aja jawabannya, Hira.” Kakek menyela cepat sampai menunjuk muka Andra. “Dia menolak jadi kaya karena warisan dari keluarganya sendiri! Cih! Dasar anak tak tahu diuntung!” dengkus kakek tampak jengkel. “Selalu saja berbuat semaunya! Anggap saja begini, Hira. Kakek memberikan kamu posisi ini hanya sementara saja. Suatu waktu, kalau Andra berubah pikiran, kamu harus menyerahkan posisimu itu pada suamimu. Bagaimana?”

“Terima aja. Biar kita gak perlu lama-lama di sini.” Andra malah menanggapi demikian yang ditingkahi kakek dengan deheman kesal. “Kamu kan punya pengalaman banyak soal penginapan, hotel, dan pekerjaan sejenisnya, Ra. Gak perlu ragu! Anggap aja kamu lagi dapat harta karun!”

“Tidak sepenuhnya untukmu, Hira.” Kakek meluruskan. “Hotel ini nantinya akan menjadi milik anak-anakmu dan Andra. Aku tentu tak mau anak dan cucuku hidup menderita apalagi jatuh miskin setelah aku tak ada.”

“Emang kakek mau meninggal sekarang?” celetuk Andra.

“Cucu kurang ajar! Kamu mendoakan kakek meninggal sekarang? Huh! Kemari kamu! Akan aku berikan kamu peringatan kalau kakekmu ini masih sehat! Kemari!”

Kakek rupanya bukan hanya sekedar mengomel, tapi sampai mengejar Andra dengan tongkat teracung. Siap melayangkannya pada Andra yang langsung lari menghindar.

Aksi kejar-kejaran kakek dan cucu ini disaksikan Mahira dengan senyum mengembang. Bersama depan perasaan terkejut yang masih menyelubunginya. Mendapat tawaran untuk menduduki posisi CEO di sebuah hotel besar tentu bukan hal yang sempat diduganya. 

Bisakah Mahira menganggap jika semuanya sudah berakhir bahagia sekarang?

Ia dan Andra akan memulai hidup bersama. Berdua. Berdampingan. Tak ada LDM!

Juga, ia kini mendapatkan posisi sebagai CEO di sebuah hotel. Hotel keluarga suaminya.

Lengkap sudah kebahagian Mahira.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro