Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 131 Apa Itu Pernikahan Impian?

“Kita nikah besok sore di sini, Hira.”

“Apa? Nikah? Besok sore?!”

Ingatkan Mahira kalau ia salah mendengar tadi. Andra mungkin sedang bergurau sampai berbicara aneh begitu. Mana ia bicara di depan orang tuanya lagi. Gimana kalau mereka salah paham coba?

“Kok Ibu sama Bapak bisa ke sini? Diajakin Andra atau ... gimana? Kenapa gak ngasih tahu dulu kalau mau dateng. Gimana kalau gak ada cottage kosong buat kalian nginep di sini?” cecar Mahira yang terkejut tapi juga senang. Tentu kedatangan mereka ini sedikit banyaknya membawa perasaan bahagia pada Mahira yang seharian ini dirundung kesedihan karena masalah batalnya WO yang tertimpa musibah. 

Tapi ia juga bingung sendiri kenapa Bu Halimah dan Pak Wisnu bisa berada di sini dengan Andra. Apa tujuan mereka ke sini? Kenapa tidak memberitahunya terlebih dahulu?

“Andra udah cerita semuanya tadi,” kata Bu Halimah.

Mahira melirik Andra penuh curiga. “Cerita apa emang? Jangan-jangan cerita yang aneh-aneh lagi.”

Andra tetap menyemai senyum meski sudah dituduh demikian oleh Mahira. Seperti tak masalah saja kalau Mahira menuduhnya yang tidak-tidak juga.

“Katanya pernikahan kalian dimajukan,” ungkap Bu Halimah kemudian. Sebentar melirik Andra yang tersenyum.

“Hah? Kata siapa?” Mahira tentu kaget bukan main. Perkataan Andra soal pernikahannya mereka yang jadinya besok saja ia anggap sebagai angin lalu. Sekarang Ibunya sendiri malah ikut-ikutan bicara yang tidak-tidak.

Bu Halimah dan Pak Wisnu kompak melirik Andra yang tengah menyeret dua buah koper di tangannya. Seketika terhenti ketika tak lagi mendengarkan Mahira dan orang tuanya bercakap. Menoleh pada mereka yang disambut tatapan sengit Mahira.

“Kamu serius? Nikah besok sore? Jangan becanda, Andra!" Setengah berteriak Mahira menyergap lelaki itu. Ia bergegas menghampiri, melotot tajam, meminta penjelasan lebih rinci dan pastinya masuk akal. “WO yang kita sewa baru kena musibah karena beberapa kru mereka meninggal. Terus siapa yang bakal ngurusin pernikahan kita kalau tanpa WO, Andra? Ah! Yah! Baju pengantin juga belum fix, kan? Gimana caranya kita nikah besok sore? Belum soal konsumsi, penginapan untuk para tamu, semua harus disiapin, Dra. Gak bisa ngedadak begini! Kita itu harus—“

Andra membekap mulut Mahira cepat. “Udah! Diem! Bawa Ibu sama Bapak ke cottage yang kosong dulu. Kasihan. Mereka pasti capek. Ngomelin akunya entar aja. Oke?” bisiknya hati-hati.

“Tapi, Dra ....” Mahira sudah siap mengomel lagi tapi Andra kembali membekap mulutnya.

“Udah. Udah. Aku sekarang mesti bawa koper Ibu sama Bapak ke mana? Mereka harus istirahat. Perjalanannya yang udah mereka tempuh itu panjang dan lebar, Hira. Kamu gak kasihan biarin mereka nganggur gitu dengerin kamu ngomelin aku?”

Mahira jadi malu sendiri disindir demikian oleh Andra. Meski masih jengkel, ia mengikuti saran Andra barusan. Membawa orang tuanya ke salah satu cottage yang kosong. Lalu setelah itu menarik paksa Andra ke depan ruang kerjanya. Tempat paling aman untuk lanjut mengomeli Andra.

“Kamu gila, Andra! Gila! Gak mungkin kita nikah besok sore! Ini ngedadak banget! Randu bisa ngomel karena disuruh masak banyak besok.”

Mahira sudah berkaca pinggang. Memasang wajah sengit yang malah ditanggapi Andra dengan merentangkan dua tangannya.

“Gak mau peluk dulu, Ra?” celoteh Andra enteng yang langsung mendapat sambutan berupa pukulan ringan di bahu. “Aw! Sakit, Hira!”

“Kamu tuh, yah! Orang lagi serius ngomong juga! Malah minta peluk.”

Andra menurunkan dua tangannya dengan wajah kecewa. “Aku juga serius, Hira. Bagian mana coba yang gak seriusnya?”

“Kita nikah besok. Itu gak serius!” Mahira mengingatkan hal ini demi membuat Andra sadar kalau perkataannya tadi tak bisa ia percayai sama sekali.

“Itu serius, Hira. Kalau gak serius, ngapain aku bawa Ibu sama Bapak ke sini coba? Ah, yah! Orangtuaku besok nyusul kesini. Karena mereka harus urus sesuatu yang penting dulu untuk acara nikahan kita besok.”

“Andra ... jangan becanda dong! Masa besok sih?” Mahira semakin menganggap Andra sedang membual. Lelaki itu kan memang berbakat mengelabuinya. Jadi, wajar saja kalau Mahira menganggap perkataan Andra itu sekedar candaan.

“Ya terus emang maunya kapan? Mau besok kek, bulan depan kek, atau tahun depan, kita tetep bakal nikah, kan? Apa bedanya coba? bukannya lebih cepat malah lebih baik, yah?”

“Gimana soal tamu undangan?”

“Undangan belum disebarin ini kok. Jadi tamu undangannya cuma keluarga kita dan karyawan pulau aja. Segitu juga cukup, kan?”

“Andra ... aku serius!”

“Aku juga serius, Hira. Ngundang banyak orang belum tentu mereka mau hadir ini kok. Terus untuk mengurangi terjadinya hal yang tak terduga juga sih. Jadi, tamu undangan kita cukup keluarga dan karyawan pulau aja. Lebih aman dan jauh dari marabahaya.”

Kening Mahira bertaut keras. Tentu ia tak mengerti maksud dari perkataan Andra ini apa.

Andra juga tak mau menjelaskan secara rinci kalau ia takut jika mengundang banyak orang, ada orang iseng yang tiba-tiba berbuat onar. Yah ... seperti dirinya dulu di pernikahan Zahra dan Galang. Bisa saja, kan?

Apalagi Andra sekarang sudah menjadi chef terkenal. Bisa jadi tuh ada fans fanatik lagi yang mau mencelakai Mahira atau bahkan dia sendiri di hari pernikahan mereka nanti. Duh! Mengerikan sekali membayangkan pernikahannya jadi ajang kejahatan begitu.

“Konsumsi? Pembawa acara? Gaun pernikahan? Penghulu? Dan masih banyak lagi yang harus kita siapin, Dra. Itu gimana? Huh! Jelas gak mungkin kita nikah besok sore!” Mahira terus mencecar Andra agar lelaki itu menarik kembali rencana gilanya. Andra harus tahu bahwa menikah itu tak semudah memutar balikkan telapak tangan.

“Bisa, Hira. Semuanya udah aku atur kok. Ini sekarang aku mau ngobrol sama si Randu masalah konsumsi. Aku ini seorang chef, Hira. Aku yang lebih tahu masalah ini dan aku tahu solusinya.”

“Terserahlah! Kamu emang gila, Andra! Nikah dadakan kayak gini mana bisa!!! Bukan kayak gini pernikahan impianku!”

“Emangnya apa itu pernikahan impian? Sesuatu yang menjamin hubungan pernikahan kita nantinya awet sampai nenek tua? Atau sesuatu yang akan membuat hubungan perniikahan kita gak akan ada yang namanya cekcok dan masalah nantinya?”

“Kok kamu kayak gitu sih ngomongnya, Dra!”

Andra melangkah maju. Menyentuh dua sisi pundak Mahira. Menatapnya lekat dengan bibir tersungging.

“Karena yang terpenting buatku itu bagaimana caranya kita bisa menikah, bukan bagaimana harusnya kita menikah. Banyaknya tamu undangan, mewahnya gaun pengantin, cantiknya dekorasi tempat pernikahan, itu hal yang menurutku gak terlalu penting, Hira. Cukup ada kamu, aku, dan KUA yang akan membuat kamu dan aku menjadi kita. Bener, kan? Bukan tamu undangan atau segala tektek bengeknya, tapi kita cuma butuh prosesi akad nikah yang sah secara hukum dan agama. Hanya itu!”

“Kamu mau kita nikah tanpa pesta pernikahan yang mewah? Begitu? Tanpa tamu undangan? Tanpa gaun pengantin? Gimana kata orang tua kamu nanti, Dra? Apa mereka gak masalah pernikahan kita ini biasa aja?” Membayangkan pernikahan seperti ini saja sudah membuat Mahira bergidig ngeri. Tidak! Tidak boleh! Masa iya sih pernikahannya dengan Andra cuma akad saja?

Andra angkat bahu. “Aku yang mau menikah, bukan mereka. Jadi, bagaimana pun caranya aku menikah denganmu, mereka tak boleh protes.”

“Kok gitu sih?”

“Gitu gimana? Emang harusnya gimana coba?”

“Orang tua kamu mungkin pengen kita nikah kayak ginilah, gitulah, atau apalah.” Mahira mencari-cari alasan. 

Andra mengangguk. “Emang. Tapi aku menolak keinginan mereka. Aku mau mereka mengikuti keinginanku.”

“Andra ....”

“Mereka gak akan protes, Hira. Percayalah! Semua sudah aku atur. Aku ini laki-laki dan calon imam kamu. Aku berhak mengambil keputusan yang menurutku benar. Termasuk bagaimana caranya aku dan kamu menikah.”

“Kamu tuh yah ....” Mahira tergagap ingin kembali mengomel. “Kamu tuh bener-bener tukang maksain sesuatu! Setelah ini apa? Setelah kita nikah besok sore, kamu mau rencanain apalagi setelah ini? Huh! Jangan bikin aku terkejut lagi, Andra! Ini bener-bener gak lucu!”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro