Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 128 Dasar Cowok Gak Sabaran!


Mahira menatap pantulan dirinya di cermin lengkap dengan hijab kuning keemasan melindungi kepalanya. Kebaya cokelat keemasan yang membalut tubuhnya membuat penampilannya semakin memesonakan mata. Bu Halimah sampai berulang kali memutar tubuh Mahira, menatapnya dari ujung kaki hingga ujung kepala dengan senyum mengembang.

“Cantik banget kamu, Nak ….” Ibu Halimah tak sungkan memuji. Ia tak bisa mengungkapkan betapa bahagianya bisa menyaksikan Mahira akhirnya akan segera dipinang orang. 

“Cantik karena dia dandan, Bu.”

Celetukan itu berasal dari Zahra yang entah sejak kapan berdiri di sana. Memasang wajah kusut dengan dua tangan terlipat. Masuk ke dalam kamar Mahira tanpa tersenyum sedikit pun.

“Andra sama keluarganya udah dateng tuh. Disuruh ke bawah sekarang sama Ibu.”

Mahira menangkap ketidaknyamanan hanya dari ekspresi sinis kakaknya. Tapi ia berusaha keras tetap tersenyum di depan Ibu meski sulit. 

Menaiki tangga perlahan, berpegangan pada ibu erat-erat demi meringankan perasaan grogi yang hinggal, Mahira juga sesekali mengedarkan pandangannya pada para tamu yang ternyata sudah memenuhi ruang tempat acara lamaran akan berlangsung. Di antara mereka tentu saja ia dapat dengan mudah menemukan Andra yang berbalut kemeja batik dengan warna senada dengannya.

Spontan keduanya saling melemparkan senyum, tapi Mahira buru-buru menunduk ketika melihat ke arah kakek yang melambai padanya. Terkejut bukan main. Ia juga sempat melihat Andra menyikut kakek yang langsung memasang wajah kusut.

Tepuk tangan meriah, percakapan hangat, sampai sesi foto bersama berlangsung tanpa halangan. Hampir semua yang hadir hanyut dalam suasana acara lamaran Andra dan Mahira, kecuali Zahra yang memilih mengasingkan diri di lantai dua sendirian. Hanya memerhatikan dari kejauhan acara pernikahan itu berlangsung.

“Andra akan menjadi adik iparku? Tidak mungkin!” Berulang kali ia merapal kalimat itu. Seperti pengingat akan kenyataan yang harus ia telan detik ini. “Kenapa harus Andra? Kenapa Mahira harus menikah dengan Andra? Kenapa harus dengan dia?”

Zahra meninju dinding pembatas dengan keras. Aksinya itu sempat ditangkap oleh Mahira yang sesekali mencuri pandang pada kakaknya yang memilh tak berbaur dalam acara lamaran tersebut. Hanya sempat mengikuti sesi foto sekali, lalu setelah itu pergi berlalu.

“Bagaimana rasanya melihat adikmu sendiri menikah dengan mantanmu? Bagaimana rasanya, Kak? Apa kamu sakit hati? Atau … kamu malah bahagia?” gumam Mahira dalam hatinya. Penuh emosi meluap. Antara bahagia dan juga bangga. “Aku ingin tahu, Kak! Bagaimana perasaanmu sekarang! Dan aku harap apa yang kamu rasakan saat ini sama seperti apa yang aku rasakan dulu ketika kamu menikah dengan Galang.”

Dua ujung bibir Mahira tersungging sempurna. Menatap satu per satu para tamu yang tampak bahagia berada di acara lamarannya dengan Andra.

Mahira bahagia sekali. Sangat. Tanpa ada satu kekurangan apapun.

***

“Jangan-jangan Chef Andra lupa, Mbak!”

Mahira seketika itu juga memasang raut wajah kusut. Ia sudah dibuat jengkel karena Andra tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Sudah dua jam dari jadwal yang disepakati. 

“Mending kamu diem aja deh, Cit. Gak usah ngomporin Mbak!”

Citra malah terkikik puas sekali. “Habisnya ngaretnya gak tanggung-tanggung! Dua jam loh, Mbak!” kata Citra penuh nada penekanan. Senang sekali menyudutkan Mahira sampai wajahnya panik begitu. “Lagian kenapa juga sih pake ngadain pernikahan di pulau. Itu sama aja kayak Mbak yang tetep capek sendiri! Mau nyewa WO sekalipun, kalau tempat pelaksanaan pernikahannya di tempat Mbak kerja, itu sama aja ngerepotin diri sendiri!”

Perkataan Citra tak keliru. Alih-alih tak ingin orang lain kerepotan karena acara pernikahannya dengan Andra yang dilaksanakan dalam waktu dekat, rupanya hal itu malah membuat Mahira yang repot sendiri. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik Pulau Ampalove dan Palapalove hanya demi persiapan pernikahannya. Seperti hari ini yang rencananya iadan Andra akan fitting baju.

“Tuh mobilnya dateng!”

Mahira senang sekaligus jengkel akan kehadiran Andra. Alhasil dari awal kemunculannya, Mahira menolak bicara. Ditanya oleh Andra saja, dia bergeming. Malah terkesan mendiamkan. 

“Sorry, Ra. Aku bangunnya kesiangan tadi. Semalam ada syuting malem, jadi tamu di sebuah acara.”

“Oh.”

“Lumayan loh duitnya buat gantiin kapal kakek yang tenggelam waktu itu,” godanya mencandai.

Mahira spontan menoleh. “Andra!”

Andra terkikik puas meski dipelototi calon istrinya itu. “Kamu sih gak mau resign dari pekerjaan kamu, Ra. Maka dari itu aku gencar ngumpulin uang dari sekarang. Biar pas nikah sama kamu nanti, aku gak jadi beban kamu meski jadi pengangguran karena harus ngikut tinggal di pulau.”

Mahira tentu saja merasa tersudut oleh penuturan Andra barusan. Bukan karena tak suka dengan idenya itu, tapi lebih karena sindiran keras Andra akan keputusannya yang bersikeras tak mau resign dari pulau. Ini jadi pembahasan berkepanjangan dengan Andra sampai akhirnya lelaki itu sendiri yang memilih melepaskan semuanya.

“Aku gak mau kita pisah setelah nikah. Mana pengantin baru lagi! Mana bisa, Ra. Orang tuh kalau udah nikah, yah tinggalnya barengan. Bukannya jauhan!” 

“Tapi kamu yakin mau keluar dari Andra Corner? Kamu baru ngisi acara ini belum setahun loh, Dra. Baru beberapa bulan aja! Apa kamu gak sayang? Ini impian kamu, kan?”

“Terus mau gimana? Kamu sendiri gak mau resign dari pulau. Ya ... aku gak ada pilihan lain dong selain ngalah. Aku gak mau egois apalagi bikin kamu ngerasa kebeban sama pernikahan kita. Aku ngalah aja deh!”

Andra tentu tak benar-benar ingin resign dari pekerjaannya. Mengalah hanya caraya untuk membuat Mahira sadar bahwa dirinya rela melakukan apapun agar bersamanya. Tapi, kenapa Mahira sepertinya tidak? Kenapa sih dia bersikeras sekali ingin tetap bekerja di pulau setelah menikah? Apa pentingnya?

“Terus kontrak kerja yang udah kamu tandatangani gimana? Ada denda, kan?”

“Gampanglah! Aku kan orang kaya. Tinggal ganti rugi aja. Jatuh miskin juga gak apa-apa deh. Yang penting bisa hidup bareng sama istri setelah menikah, bukannya jauhan.”

Mahira terang saja jadi tak enak hati mendengar penuturan Andra barusan. Seperti menyudutkan namun tidak. Seperti menyalahkannya namun tidak juga. Tapi perkataan Andra membuat Mahira merasa tertohok.

Sungguh! Sampai rasanya Mahira malu sendiri padahal bukan tengah dipermalukan oleh Andra.

Alhasil, karena hal itu perasaan Mahira jadi carut marut seharian ini. Agenda fitting baju yang sudah direncanakan sejak awal terasa begitu tak menyenangkan. Beragam model baju yang coba ditunjukkan desainer pilihan Andra sama sekali tak cocok dengan keinginan Mahira. Ada saja hal yang membuat Mahira tak suka model baju yang satu dan model baju yang lainnya. Sudah banyak baju yang dicoba, Mahira belum menemukan mana baju yang cocok dengannya.

“Ini terlalu ngetat.”

“Ini terlalu menerawang.”

“Yang ini kebesaran.”

“Kerudungnya yang menutupi dada.”

“Payet-payetnya terlalu rame.”

Dan banyak sekali protes Mahira lainnya yang membuat rencana fitting baju terakhir ini berakhir gagal. Tak ada satu model baju pun yang berhasil dipilih. 

Wajah Andra kusut mesut, Mahira juga. Mereka tak bicara sepanjang menikmati minuman dingin di sebuah kafe. Malah sibuk dengan ponsel masing-masing.

Andra mencuri pandang pada Mahira sebentar, melihat perempuan itu yang tertunduk menatap ponselnya, lalu berpaling lagi. Begitu saja terus menerus sampai Andra jadi kesal sendiri karena diamnya Mahira. 

“Jadi, gimana, Ra?” Andra menaruh ponselnya di meja. Setengah membantingnya. “Kita udah gak ada waktu lagi buat fitting baju. Kamu sekarang mau langsung balik ke pulau, kan? Gak akan nginep dulu di rumah maksudku.” Andra jengkel sekali.

Mahira mengangguk. Kepalanya tetap menunduk. Pandangannya tak beralih dari ponselnya barang sedetik pun. Apalagi menoleh pada Andra yang barusan menanyainya.

“Hm,” jawab perempuan itu singkat. “Gak tahu.”

Andra sampai mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi mendengar jawaban Mahira barusan. “Gak tahu gimana maksud kamu? Pernikahan kita tinggal bentar lagi.”

“Aku lagi nyiapin keperluan pernikahan kita juga di pulau, Dra.”

“Ya terus gimana soal bajunya? Masa dari banyak pilihan model-modelnya tadi gak ada yang cocok satu pun!” Andra terdengar jengkel sendiri mengomeli Mahira.

“Ya emang gak ada yang cocok.”

“Terus gimana baju pernikahan buat nanti? Mau belinya kapan? Di mana? Ada toko yang kamu sukai? Kita ke sana aja. Aku ngikut maunya kamu.”

“Gak ada.”

“Mahiraaa!!!”

Mahira mendongak. Matanya setengah melotot menatap Andra yang baru saja memanggil namanya setengah berteriak. Membuat Andra tak jadi mengomeli Mahira karena sudah takut duluan. 

Andra mengepalkan dua tangan, meninju meja meski tak terlalu keras, lalu membuang napas kasar.  Berpaling dari Mahira sambil mengacak rambutnya.

“Aku ke toilet dulu!”

Mahira tak menggubris. Ia biarkan Andra pergi setelah mengatakan hal itu. Setelah tak lagi melihat sosoknya, Mahira langsung menaruh ponselnya di meja setengah membantingnya. Meraup wajahnya berulang kali sambil mengerang keras.

“Aaarrrggghhh!!! Aku kenapa sih?” tanyanya sendiri. “Kenapa jadi kayak gini?”

Sungguh! Suasana hati Mahira sekarang benar-benar kacau. Ia tahu alasannya apa, tapi ia tak tahu bagaimana cara mengatasinya. Mahira tak suka solusi yang hinggap di kepalanya sekarang yang sangat bertentangan dengan keinginan hatinya. 

“Aku gak mau resign! Aku mau tetep kerja! Tapi ... tugas seorang istri itu taat pada suaminya, kan?” Mahira berpikir cukup keras akan hal ini. “Tapi, aku sekarang belum sah menjadi istri Andra. Aku masih calon istrinya. Jadi, buat apa aku resign? Toh pernikahan kita juga belum terlaksana, kan? Bahkan mungkin bisa batal juga nanti.”

Mahira mencoba meyakinkan diri atas keputusan yang memang sesuai dengan isi hatinya. Bukan hanya berdasarkan rasa tidak enak pada Andra yang sudah mengambil keputusan lebih dulu. Ia juga terpikir untuk resign, tapi tidak untuk saat ini.

Bagaimana jika setelah resign, pernikahannya dengan Andra malah batal?

Apa tak bisa segala sesuatu tentang bagaimana mereka hidup nanti setelah menikah dibicarakan nanti saja?

Kenapa Andra begitu terburu-buru mengambil keputusan sih?

Ah! Dasar cowok gak sabaran! 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro