Bab 125 Semua Sudah Berlalu
“Kak ... ayo makan! Semuanya udah nungguin di ba—”
Sebuah benda dilemparkan Zahra yang duduk di ranjang ke arah Mahira hingga nyaris mengenai wajahnya. Seketika ia terpaku. Pandangannya perlahan tertunduk ke arah pecahan benda berwarna kuning keemasan yang berserakan tak jauh di bawahnya.
“Kak!” Mahira memekik kaget. Siap untuk protes atas ulah Zahra yang hampir mencelakainya.
Tapi, mendapati Zahra bergegas menghampirinya dengan raut wajah kusut, Mahira malah spontan melangkah mundur untuk menjauh.
“Pergi! Aku gak lapar!” serbu Zahra yang bahkan langsung mendorong tubuh Mahira cukup keras sampai keluar dari kamarnya. “Jangan sok peduli, Hira! Aku tahu kalau kamu sekarang senang melihat pernikahanku dengan Galang berantakan, kan? Mengaku saja!” tuduhnya sambil terus mendorong tubuh Mahira hingga adiknya itu nyaris saja terjatuh beberapa kali.
Mahira sudah siap membuka mulut untuk menanggapi, membela diri atas tuduhan Zahra. Ia tentu tak terima dituduh melakukan hal yang tak dilakukannya seperti ini, apalagi sampai didorong oleh Zahra. Tapi kakaknya lebih cepat menutup pintu kamar. Mahira terdiam dengan perasaan dongkol. Mengetuk pintu kamar Zahra berulang kali sambil memanggil namanya, namun tak mendapatkan tanggapan.
“Berhenti nyalahin aku!” teriak Mahira yang tetap melakukan pembelaan diri. Mau Zahra mendengar atau tidak, ia tak peduli. “Ayo kita bicara baik-baik, Kak. Aku gak terima Kak Zahra nuduh aku yang enggak-enggak kayak gini. Keluar sekarang juga! Jangan kekanak-kanakkan kayak gini! Aku udah muak sama sikap kakak! Keluar! Kak Zahraaa!!!”
Mahira menantang Zahra tanpa takut. Kalau ada pergulatan sekalipun, ia sudah tak peduli. Jelas ia tak terima diperlakukan seperti ini oleh Zahra. Yang salah siapa, yang disalahkan siapa.
“Hira!” Seruan lantang Bu Halimah yang muncul secara tiba-tiba menghentikan aksi Mahira. “Ada apa? Kenapa kamu malah teriak-teriak kayak gitu?” tegurnya kemudian.
“Kak Zahra nih, Bu! Ngamuk-ngamuk gak jelas.” Mahira mengadu langsung. “Mahira cuma mau ajak dia makan bareng di bawah, tapi dia malah marah-marah. Pake nuduh yang enggak-enggak lagi!” Mahira sudah kepalang jengkel. “Gimana Mahira gak kesel coba?”
Bu Halimah mengelus punggung Mahira lembut. “Ya sudah. Biar Ibu aja yang ajakin kakak kamu makan. Kamu ke bawah aja temenin Bapak makan.”
Mahira mendengkus jengkel sebelum benar-benar pergi dari sana. Sejenak ia mencuri pandang pada Ibu yang tengah mengetuk pintu kamar Zahra.
“Ra ... ayo makan, Nak. Dari tadi kamu belum makan apa-apa. Nanti kamu sakit!”
Mahira membuang napas pendek. Tadi saja ia sudah melakukan hal serupa, mengajak Zahra makan dengan cara baik-baik. Tapi balasannya, kakaknya itu malah melemparkan benda pecah ke arahnya, membentur tembok dengan keras hingga terpecah di lantai. Bayangkan saja bagaimana jadinya jika benda tersebut tepat melayang padanya?
Rupanya Zahra juga bergeming dari ajakan Ibu. Cukup lama Ibu berdiri di ambang pintu, memohon sampai meminta Zahra membukakan pintu saja barang sejenak, tapi pintu itu tak kunjung terbuka juga cuku lama. Ibu dengan langkah gontai menjauh dari pintu kamar Zahra, menghampiri Mahira yang ternyata tak mengikuti perkataannya.
“Gak dibuka?” Mahira hanya ingin memastikan penglihatannya tak keliru.
Bu Halimah mengangguk lemah.
“Kurang ajar!” umpat Mahira yang sudah siap berbalik arah lagi. “Dia harus dikasih tahu, Bu! Dia boleh gak sopan ke aku, marah-marah ke aku, tapi ke ibu dia gak boleh kayak gini!”
“Udahlah, Hira. Kamu juga pasti tahu kakak kamu itu kayak gimana kalau lagi marah-marah gitu. Kita tinggalin aja dulu dia sendirian. Mudah-mudahan besok udah baikan.”
***
Sampai pagi harinya, Zahra belum mau keluar dari dalam kamarnya. Tentu saja semu orang semakin panik, termasuk Ibu dan Bapak. Mereka sudah berulang kali mencoba menemui Zahra, namun anak perempuannya itu tetap berada di dalam kamarnya. Suasana sarapan pagi itu terasa canggung sekali.
Raut wajah Pak Wisnu dan Bu Halimah tampak kusut. Sendok dan garpu sedari tadi hanya digunakan untuk mengaduk makanan di piring tanpa sekalipun mencoba menyuapkannya ke mulut.
“Ibu sama Bapak sebaiknya datang ke rumahnya Kak Galang.”
Penuturan Mahira tentu membuat Ibu dan Bapak terkesiap kaget.
“Maksud kamu apa, Hira? Jangan menambah rumit masalah kakakmu!” timpal Bu Halimah yang tanpa sadar malah menyalahkan Mahira.
Mahira tertohok, tapi berusaha bersikap tenang. Ia tahu Bu Halimah sedang kebingungan. Mungkin itu sebabnya bicaranya jadi menyakitkan begitu.
“Buat mau menambah rumit masalah, Bu. Bukannya tugas Ibu sama Bapak buat nyari tahu juga alasan sebenarnya Galang menceraikan Zahra?”
Bu Halimah dan Pak Wisnu saling berpandangan. Mendengar Zahra membawa kabar buruk kemarin saja belum dapat mereka terima dengan baik. Kalau sekarang harus mencari tahu kebenarannya sendiri dengan menemui keluarga Galang, mereka juga tak sanggup. Takut jika hanya rasa malu yang nantinya mereka dapat. Toh mereka juga tahu kalau pernikahan Galang dan Zahra memang sejak awal tak sepenuhnya direstui.
“Baik. Kami akan pergi menemui mereka siang ini.” Pak Wisnu menjawab setuju dengan wajah murung. “Tapi itu artinya, kami tidak akan bisa mengantar kepulangan kamu, Hira. Kamu jadi pulang hari ini, kan?”
“Jadi, Pak. Andra yang jemput nanti. Bapak sama Ibu gak perlu mikirin aku. Aku baik-baik aja kok!”
“Maaf, Hira. Bukannya kami tidak senang dengan kabar bahwa kamu dan Andra mau menikah, tapi situasi saat ini tiba-tiba jadi begini. Ibu …,” dia tergagap, serba salah harus bicara apa, “ibu senang mendengar kamu menikah. Ibu juga berterima kasih karena kamu bisa melewati masa-masa sulit itu. Ibu … benar-benar minta maaf.”
“Loh? Kok Ibu malah minta maaf sih? Ibu gak salah apa-apa kok! Mahira ngerti situasinya emang lagi gak mendukung. Jadi Ibu gak perlu minta maaf.”
Bohong kalau Mahira mengaku kecewa karena kepulangan yang ia atur dengan sengaja malah berakhir tak sesuai keinginannya. Harusnya kedatangannya dengan kabar bahagia ini akan mengantarkan kepulangannya dengan kebahagiaan yang sama juga.
Tapi, siapa yang bisa mengira perubahan situasi hanya berlangsung dalam beberapa detik saja. Manusia yang hanya bisa menjadi perencana mau tak mau harus menerima kenyataan yang Tuhan gariskan.
Mahira melepas kepergian Bu Halimah dan Pak Wisnu, bersama Andra yang hendak mengantarnya kembali ke pulang ke Pulau Ampalove.
“Zahra gak ikut?” tanya Andra yang berjalan mendahului Mahira menuju mobil.
“Enggak. Dia belum keluar kamar dari semalem.”
“Oh.” Andra menanggapi singkat. Berupaya tak terlalu mencari tahu persoalan tentang Zahra lebih jauh lagi.
Tapi, diamnya Mahira sepanjang perjalanan tentu membuat Andra terusik. Ia sudah berusaha membuat lelucon, mengajak Mahira bicara, bercanda, bahkan sampai membicarakan hal serius mengenai rencana pernikahan mereka.
“Soal baju pernikahan, kamu harus datang langsung ke tempatnya, Ra. Kamu bisa meluangkan waktunya di liburan nanti? Kamu bilang saja sama Pak Satya alasannya. Dia pasti gak akan ngelarang.”
Mahira bergeming. Bergumam tak jelas dengan pandangan terlempar keluar jendela mobil. Andra berulang kali membuang napas pendek. Jengkel tapi juga khawatir.
“Kamu kenapa? Masih mikirin si Zahra sama si Galang?” terka Andra tanpa basa-basi. “Udahlah. Ngapain dipikirin, Ra! Itu bukan urusan kita!” Tegas Andra memperingatkan. Ia tak mau Mahira terlalu hanyut dalam permasalahan yang sudah bukan lagi urusan mereka.
“Aku harus ketemu sama keluarga Galang, Dra.” Tiba-tiba saja Mahira mengatkan demikian. Lengkap dengan raut wajah serius.
Kening Andra bertaut keras. Bingung sekaligus terkejut. “Hah? Ketemu keluarga si Galang? Buat apa? Ibu sama Bapak udah ke sana, kan?” Ia nyaris berteriak karena merasa permintaan Mahira ini terlalu berlebihan. Kekasihnya ini tampaknya sedang ingin ikut campur dalam urusan kakak dan mantan kekasihnya.
Entah tujuannya baik atau buruk, tapi yang pasti Andra tak suka mendengar hal ini. Ia mau Mahira tak ikut campur urusan Zahra maupun Galang. Karena ia sendiri pun tak mau lagi mencampuri urusan mereka.
“Entahlah.” Mahira menggelengkan kepala. “Tapi, aku ngerasa harus ketemu sama Mamah Lia dan Papa Roy sekarang. Kamu mau nemenin aku, kan?”
“Aku? Nemenin kamu ketemu mereka?”
Mahira menggangguk. Andra menggeleng.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro