Bab 124 Bukan Urusan Kita Lagi
“Kamu sama Andra mau nikah? Kalian gak waras?!” teriak Zahra lantang dari ambang pintu.
“Emang apa salahnya kalau kita nikah?” Andra menyela cepat. Menoleh dengan tatapan sengit tapi tak beranjak sedikit pun dari tempatnya duduk sekarang. “Kita waras kok! Makannya kita mau nikah.”
Langkah Zahra menjejak. Suara entakannya sama sekali tak membuat Andra bereaksi selain memalingkan pandangan. Baginya, tanggapannya tadi lebih dari cukup untuk meladeni perkataan sinis dari mantannya itu yang sebentar lagi akan menjadi kakak iparnya.
“Bu! Mahira gak boleh nikah Andra. Mereka berdua gak boleh nikah!” Zahra sampai berteriak pada Bu Halimah untuk mengutarakan ketidaksetujuannya itu. “Andra itu mantanku! Masa aku iparan sama mantanku sendiri sih?” dumelnya jengkel.
“Aku juga iparan sama mantanku sendiri.” Mahira dengan cepat menyela. “Kenapa Kak Zahra larang aku nikah sama Andra? Kakak jangan egois dong!” Mahira menyahut penuh emosi. Ia merasa tak perlu lagi menjaga perasaan Zahra atau bersikap seperti semuanya baik-baik saja.
Zahra yang memulai semuanya. Zahra yang memicu adanya permasalahan rumit di antara mereka. Lalu sekarang Zahra ingin mengacaukan kebahagiaan Mahira lagi? Tidak! Mahira kali ini tak akan tinggal diam. Ia tak akan diam saja seperti dulu Zahra merebut Galang.
Sorot mata Zahra tajam sekali terarah pada Mahira. Kalau bukan karena tekad untuk memperjuangkan kebahagiaannya tak bulat, mungkin sekarang Mahira sudah menundukkan kepala, mengalah, lalu pergi menelan kekecewaan.
Tidak lagi! Tidak lagi!
“Aku akan menikah dengan Andra, mau kak Zahra suka atau tidak suka. Ini urusan kehidupanku! Aku yang menikah! Dan aku yang akan menjalaninya! Ibu dan Bapak aja udah ngasih restu dan itu cukup untukku. Aku gak perlu restu dari Kakak!” Mahira lantang mempertegas keputusannya.
Andra yang hendak menyela sampai terpaku memerhatikan Mahira yang dengan lantang menyuarakan keputusannya. Tentu ini berbanding terbalik dengan beberapa saat lalu ketika kekasihnya itu sedang dilanda rasa takut dan keraguan. Kini, Mahira yang didepannya, nyaris tak menunjukkan perasaan bimbang itu.
“Benar kata Mahira.” Andra meraup tangan Mahira dan menggenggamnya erat. Disaksikan oleh Zahra dengan mata membulat sempurna. “Aku dan Mahira sudah mendapatkan restu dari orang tua kamu. Penolakan kamu gak akan berarti apa-apa, Zahra. Jadi, berhentilah bersikap kekanak-kanakan! Di antara kita bahkan sudah tidak ada apapun lagi. Aku tak peduli mau kamu itu mantanku atau siapa, karena yang terpenting untukku sekarang adalah Mahira.”
Zahra menggebrak meja cukup keras. Keluar dari dapur dengan meninggalkan kopernya di ambang pintu. Perasaannya kacau balau. Ada malu, sesal, juga benci. Pada keadaan, semua orang, dan semua hal yang terjadi saat ini. Kepulangannya untuk sejenak bernapas lega di sini tak sesuai harapannya. Dadanya sesak hingga hanya tangis yang bisa Zahra suarakan di dalam kamarnya sendiri.
“Sial! Sial! Sial! Kenapa hari ini jadi sial begini? Salahku apa? Kenapa semuanya jadi kacau begini?”
Zahra meremas rambutnya kuat. Membuang napas kasar, mengerang, menangis, lalu membanting apapun yang ada di sekitarnya. Tindakannya itu rupanya mengundang perhatian orang-orang yang semula mengabaikan keberadaannya. Bu Halimah yang lebih dulu menerobos masuk ke dalam kamarnya yang dibiarkan terbuka, terperangah kaget melihat Zahra mengamuk macam orang kehilangan akal.
Pak Wisnu, Mahira, dan Andra yang muncul kemudian tak kalah bingungnya. Melihat aksi Zahra yang memorakporandakan isi kamarnya sendiri. Berteriak tak karuan. Menangis sambil melemparkan barang-barang. Tak ada yang berani mendekat. Semuanya memasang sikap waspada di ambang pintu. Begitu juga Bu Halimah yang berada di barisan paling depan.
“Zahra, kamu kenapa? Ngapain kamu lempar barang-barang begitu?” Ibu menegur keras. Sampai berteriak saking paniknya.
“Semuanya sialan! Semuanya menyebalkan! Aaarrrggghhh!!!”
Zahra tergugu di sudut ruangan. Bukan karena sudah puas melampiaskan emosi, melainkan karena sekujur tubuhnya mendadak terasa lelah. Ia terduduk, bersandar pada pinggiran ranjang, membelakangi orang-orang yang sejak tadi memerhatikannya.
Bu Halimah perlahan mendekat. Memberanikan diri menghampiri anaknya. “Zahra, tenang … ada apa? Kenapa kamu marah-marah kayak gini? Kamu … marah karena adikmu mau menikahi Andra?” terkanya hati-hati.
Zahra mendengkus jengkel ditengah isak. Mendengar pertanyaan itu justru rasa nyeri di dadanya semakin membuat sekujur tubuhnya lemah. Kalau boleh ia meminta, semoga saja Tuhan menulikan telinganya barang sebentar saja. Ia sedang tak mau mendengarkan apapun. Bahkan kalau bisa, biarkan ia tak merasakan apapun. Rasa bahagia bahkan sedih.
“Ra … Zahra ….”
Bu Halimah memanggilnya dengan nada lemah seiring jaraknya dan Zahra kian mendekat. Perlahan tangannya meraba bahu anak sulungnya itu, meraihnya, menekannya, lalu duduk di sampingnya dan membiarkan Zahra yang spontan berhambur memeluknya bersandar di sana. Elusan tangan Bu Halimah memberikan kekuatan bagi Zahra untuk menangis lagi.
“Sudah … jangan sedih. Kamu harus ikhlas. Adikmu sudah punya pilihan. Sama seperti dulu kamu memilih Galang dan Mahira tak protes.” Bu Halimah berusaha memberikan Zahra pengertian akan hal ini.
“Ibu nyindir aku, kan?” protes Zahra di tengah isaknya. “Ibu mau aku ngerasain apa yang dulu Mahira rasain? Begitu?” tuduhnya sengit.
“Enggak! Bukan begitu maksud Ibu, Zahra. Maksud Ibu, kamu harus ikhlas dengan segala keadaan. Baik yang kamu sukai maupun tidak kamu sukai. Jadikan kebahagiaan adik kamu sebagai kebahagiaan kamu juga. Kamu gak boleh larang adik kamu bahagia oleh pilihannya sendiri.”
Diam-diam Mahira dan Andra saling melemparkan pandangan. Tersenyum. Saling menguatkan akan pilihan yang sudah dibuat. Tanpa peduli reaksi Zahra barusan yang mungkin saja disebabkan oleh keputusan mereka.
“Kenapa? Kenapa harus hari ini Zahra denger semuanya secara langsung? Kenapa hari ini hidup Zahra sial banget, Mah? Kenapa cuma berita buruk yang Zahra dapet hari ini?” gerutu Zahra.
Banyak yang Zahra mulai keluhkan. Tanpa ia ketahui kalau keluhannya itu di dengar oleh semua orang selain Bu Halimah.
“Galang mau menceraikan aku, Bu. Mamah Lia yang minta Galang menceraikan aku,” ungkap Zahra tiba-tiba.
Bu Halimah sampai terdiam. Pak Wisnu langsung bergerak perlahan menghampiri keduanya. Mahira dan Andra saling melempar pandang satu sama lain, tapi genggaman tangan mereka malah perlahan melonggar.
“Apa? Galang mau menceraikan kamu?” Bu Halimah ingin memastikan saja. Ia takut apa yang didengarnya barusan itu salah.
“Iyaaa!!!” Pelukan Zahra seketika mengerat ditengah raungannya yang mengeras kembali. “Galang mau menceraikan Zahra, Bu …. Zahra harus gimana? Zahra gak mau pernikahan kita jadi kayak gini? Zahra gak mau gagal!”
Bu Halimah tak bicara banyak selain mengelus tubuh anak perempuan yang berada dalam dekapannya terus-menerus. Mencoba menenangkannya juga menenangkan dirinya sendiri atas berita bahagia dan duka yang datang nyaris bersamaan.
Andra menarik Mahira perlahan keluar dari kamar Zahra. Tak banyak bicara selain menampakkan rona wajah yang sama-sama kusut. Mereka seolah sama-sama sadar bahwa bukan saatnya untuk tersenyum ketika mendengar kabar tak menyenangkan dari Zahra barusan.
“Kamu mau nginep hari ini, kan?” tanya Andra.
Mahira hanya mengangguk lemah. Berita yang dibawa Zahra rupanya juga menyisakan rasa duka dalam dirinya.
“Aku jemput kamu besok pagi.” Andra menoleh sebentar ke dalam kamar Zahra. Pak Wisnu kini terlihat tengah merangkul Bu Halimah yang sedang menenangkan Zahra. “Soal pernikahan kita …,” hati-hati Andra bicara hal ini, “aku akan ….”
“Kita pikirakan lagi baik-baik nanti, Dra. Situasinya saat ini sedang tidak memungkinkan,” potong Mahira cepat.
“Enggak! Tidak ada yang berubah. Semuanya akan tetap berjalan sesuai rencana awal, Hira.”
“Tapi, Dra. Kamu tahu kan kalau Zahra dan Galang ….”
“Itu bukan urusan kita lagi, Hira. Itu urusan mereka! Kenapa kita harus mempermasalahkan pernikahan kita karena masalah rumah tangga mereka? Gak ada hubungannya, kan?”
Mahira tak mengelak. Tapi, ia juga tak bisa membenarkan perkataan Andra sepenuhnya. Berat rasanya. Ada sesuatu yang mengganjal dari pernikahannya dengan Andra dan berita Zahra yang membawa kabar tentang perceraiannya dengan Galang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro