Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 122 Dari Aku dan Kamu

Sepanjang perjalanan pulang, wajah Mahira tampak tertekuk. Ia bahkan tak sekalipun menoleh pada Andra meski lelaki itu memanggilnya berulang kali. Setiap Andra mengajaknya bicara, Mahira hanya menyahut sekenanya, menjawab singkat, atau bahkan hanya sekedar menganggukkan kepala.

Andra tahu penyebab perubahan rona wajah Mahira karena apa. Tapi, ia juga tak mau menyalahkan dirinya sendiri atas hal ini. Andra berusaha keras melakukan yang terbaik untuk hubungannya dengan Mahira. Ia tak mau kekecewaan kembali ia telan dengan melepaskan kembali orang yang ia cintai seperti dulu.

“Tunggu bentar! Aku mau beli sesuatu dulu!”

Mahira bahkan tak peduli ketika Andra tiba-tiba menghentikan mobilnya di depan pom bensin. Bukan untuk mengisi ulang bensin yang harganya tengah melambung tinggi, tapi malah sibuk berbincang lewat ponselnya. Dari dalam mobil itu Mahira memerhatikan diam-diam. Andra tampak serius berbicara dengan lawan bicaranya yang entah siapa itu.

Beberapa menit kemudian Andra kembali ke dalam mobil. Wajahnya kini tampak kusut. Tanpa mengatakan apapun, ia kemudian melajukan mobilnya. 

“Telepon siapa, Dra?” Mahira malah terpantik ingin tahu hal ini. “Masalah kerjaan?”

“Iya. Bulan depan aku minta Muel mengosongkan jadwalku di pertengahan bulan.”

“Loh? Kenapa?”

“Kok kenapa sih? Ya untuk pernikahan kita, Hira.”

Mahira membuang napas pendek. “Dra, ayolah! Apa gak bisa kamu berhenti dulu ngobrolin hal ini? Kepalaku sakit! Belum tentu juga keluargaku merestui hubungan kita, kan?”

Andra langsung diam setelah itu. Laju mobil lebih cepat dari beberapa detik yang lalu. Mahira hendak protes, namun ketika melihat raut wajah Andra yang tampak kusut, ia mengurungkan niatannya itu. Ia hanya berharap bisa kembali ke Pulau Ampalove secepatnya saja. Mahira butuh menenangkan diri sekarang juga di sana.

Tapi, meski mobil melaju cukup cepat, sampai sore tiba mereka masih belum juga sampai di dermaga Palapalove. Mahira juga heran sendiri karenanya. Disekelilingnya masih berupa pantai dan tebing. Belum ada tanda-tanda jalanan ini akan berujung ke dermaga.

“Kalau kemaleman, aku bisa ketinggalan kapalnya Pak Supri, Dra.” Mahira mencoba memperingati Andra. “Kamu gak berencana bikin aku kena hukuman Pak Satya, kan? Gimana kalau dua minggu ke depan aku gak diizinin liburan karena sekarang telat pulang?” ancamnya memberikan Andra peringatan. 

Tapi, Andra diam saja. Tetap mengemudikan mobilnya dalam bisu.

“Dra ….”

Andra tak menggubris. Mahira bisa menangkap gurat kekesalan pada wajah Andra sekarang yang sepertinya disebabkan oleh penolakannya tadi atas rencana pernikahan yang diinginkan lelaki itu. 

Bukan tanpa sebab Mahira menolaknya. Ia sudah utarakan alasan paling masuk akal dan tentu saja yang harus ia dan Andra lalui terlebih dahulu. Pernikahan tak bisa diputuskan hanya karena ia dan Andra menginginkannya, kan? Ada restu dari dua keluarga yang harus mereka genggam, bukan hanya sekedar satu pihak saja.

Boleh saja Andra lega karena keluarganya memberikan restu pada hubungan mereka. Kakek bahkan mendesak mereka untuk segera menikah. Tapi, keluarga Mahira? Bagaimana dengan keluarganya? Berapa besar kemungkinan mereka akan merestui hubungan Andra dan Mahira?

Saat malam, Mahira baru sampai di dermaga. Setengah berlari ia menuju bibir dermaga, mencari-cari keberadaan kapal Pak Supri yang membawanya tadi pagi ke sini. Jengkel, tentu saja. Sampai rasanya Mahira ingin mengomeli Andra.

Tapi melihat lelaki itu yang malah menyandarkan tubuhnya dengan dua tangan terlipat di mobil, Mahira hanya bisa membuang napas pendek untuk meredam amarahnya. Ia tak mau mendebat Andra lalu pertemuan mereka berakhir tak menyenangkan. 

Mahira berjalan ogah-ogahan menghampiri Andra dengan tidak mencoba menyembunyikan raut wajahnya yang juga kesal. Sudah bisa dipastikan kepulangannya esok pagi akan disambut omelan dari Pak Satya. Tanpa pemberitahuan lagi ia menghilang dari pulau.

“Tunggu bentar lagi,” kata Andra enteng. 

“Tunggu apa? Kapalnya Pak Supri udah gak ada. Bantu aku cari hotel! Setelah itu baru kamu boleh pulang. Tentu kamu gak akan biarin kekasih kamu ini luntang-lantung di malam hari sendirian, kan?”

“Tunggu bentar lagi!” Andra bersikeras. Entah untuk apa.

Sampai tiba-tiba Andra meraih dua pundak Mahira, memberikan penekanan di sana sambil memutar badan perempuan itu hingga menghadap ke lautan yang tiba-tiba saja di kejauhan sana bermunculan cahaya. Mulanya hanya satu, lalu dua, tiga, dan sampai tak terhitung lagi. Kerlap-kerlip cahaya yang entah ditimbulkan oleh apa itu perlahan membentuk sebuah formasi di atas langit sana. 

MARRY ME, MAHIRA!

Mahira terlampau terpesona pada cahaya bertuliskan kalimat itu. Sampai-sampai ia tak menyadari saat Andra menyematkan sebuah cincin di jari di tangannya tanpa aba-aba.

“Eh! Curang! Kamu harusnya nanya dulu jawabanku dong?” Mahira protes tapi tak berani melepaskan tangannya dari genggaman Andra. Cincin bermutiara satu itu sudah terlanjur tersemat di jari manisnya.

“Gak perlu. Aku udah tahu jawabannya apa kok.” Andra tak peduli. Ia tetap menyematkan cincin itu di jari manis Mahira.

“Gak bisa gitu, dong! Aturannya tetep harus nanya dulu!”

Andra hanya tertawa mendapatkan omelan seperti itu. Ia menarik tubuh Mahira hingga jatuh ke dalam pelukannya. Melingkarkan dua tangannya untuk mengunci tubuh perempuan itu.

“Kita gak boleh ragu lagi, Hira. Kita gak boleh mengulangi kesalahan yang sama. Kamu tentu tahu sendiri rasanya kehilangan orang yang dicintai, kan? Aku gak mau itu terjadi lagi pada kita, Hira. Aku dan kamu harus menjadi kita. Sesegera mungkin! Tak boleh ada keraguan lagi!”

Mahira memejamkan matanya dalam-dalam. Mengeratkan jari jemarinya sambil merasakan sesuatu yang aneh di jari manisnya. Masih terasa ganjil, namun perasaannya tak menampik bahwa ia bahagia atas sikap memaksa Andra yang tak pantang menyerah meyakinkannya akan keputusan ini. Mungkin kalau bukan karena usaha Andra ini, Mahira juga tak akan pernah bisa membuka hatinya untuk menerima orang lain secepat ini. 

Kalau bukan Andra, memang siapa lagi yang akan bisa meruntuhkan rasa sakit Mahira akan masa lalu?

Tak ada! Mungkin hanya Andra seorang yang bisa meluluhlantahkannya. Merobohkan dinding-dinding sakit hati yang Mahira bangun setelah pengkhianatan dari kekasih dan saudaranya sendiri yang seperti bumerang dalam hidupnya.

“Aku gak siap ngadepin Kak Zahra dan Galang. Aku takut dicibir sama Kak Zahra karena malah jatuh cinta sama mantannya sendiri, Andra,” ungkap Mahira dalam lirih. Harus menghadapi kenyataan yang satu ini bukanlah hal mudah. Belum apa-apa, Mahira sudah membayangkan banyak hal buruk yang mungkin saja terjadi nantinya.

“Itu bukan kesalahan, Hira! Kamu gak perlu takut. Kamu jatuh cinta padaku setelah aku putus dari Zahra. Dan aku juga jatuh cinta ke kamu setelah kamu sama si Galang putus. Hubungan kita ini dilandasi dengan cara yang benar. Untuk apa kamu harus takut?”

Andra berusaha keras meyakinkan keraguan dan ketakutan pada diri Mahira. Jika memang ini alasan kenapa Mahira menolak ajakannya untuk menikah.

“Entahlah. Aku takut saja disindir menikahi mantan kakaknya sendiri.”

“Kamu bukan merebutku, Zahra. Kita bertemu karena situasi, kondisi, dan … mungkin takdir Tuhan?”

Mahira berusaha untuk mencerna setiap kata demi kata dari Andra sebagai dorongan agar keraguannya segera lenyap. Memang bukan hal yang mudah, tapi lambat laun Mahira sadar bahwa perkataan Andra patut ia dengarkan. 

Tindakan mereka tak salah. Hubungan mereka tak salah. Tak seperti yang ditakutkan oleh Mahira. Tak seperti yang diragukan oleh Mahira.

Dua minggu lamanya Mahira berusaha meyakinkan diri atas keputusan yang dibuat oleh Andra, bukannya keraguan pada dirinya sendiri. Cincin yang tersemat dijari sedikit menguatkan Mahira bahwa ia sudah dimiliki. Termiliki. Dan memiliki seseorang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro