Bab 121 Akibat Keraguan
Mahira menggigit bibir bawahnya, memejamkan mata lebih lama, lalu membukanya dengan terpaksa. Mati-matian ia menarik dua sudut bibirnya ke atas. Semata-mata demi menunjukkan diri bahwa ia baik-baik saja melihat sosok lelaki dengan wajah keriput tengah cekikikan di antara dua wanita muda yang mengapitnya.
Kalau Mahira boleh menerka, mungkin usianya dengan si dua wanita muda itu tak jauh berbeda.
Tapi, mereka tampak akrab sekali. Bahkan sampai saling menyuapi satu sama lain. Si kakek itu sih yang jadi sasaran disuapi, karena dua tangannya sebenarnya sibuk merangkul bahu si dua wanita yang mengapitnya.
Mahira melirik Andra dengan kening mengerut. Ia tak bisa lagi berpura-pura bahwa matanya nyaman melihat pemandangan janggal ini. Andra juga tampaknya berpendapat yang sama. Cengirannya tampak canggung. Ia juga tampak sibuk menggaruk tengkuknya sambil bicara tergagap. Tak jelas mengatakan apa.
“Anu, Ra … itu ….”
Hanya tangan Andra yang bergerak tak tentu arah. Menunjuk si kakek, lalu menunjuk ke sudut lain. Entah bermaksud apa.
“Ish!” Andra mendengkus kesal. “Ayolah, Kek! Usir mereka berdua! Kakek jangan bikin aku malu di depan Mahira dong!” omelnya pada si kakek, bahkan sampai berkaca pinggang. Tak ada sopan santunnya sama sekali menurut Mahira melihat cara bicara Andra pada kakeknya sendiri seperti itu.
Tapi jika menilik lebih jeli seperti apa tingkah si kakek, Mahira juga sepertinya akan melakukan hal yang sama jika kakeknya sendiri bertingkah demikian. Kalau boleh jujur, Mahira benar-benar tak ingin melihatnya barang sedetik pun. Ia ingin sekali segera keluar dari tempat ini. Telinga dan matanya sakit menyaksikan semua hal ganjil itu.
Si kakek tampak cemberut, tapi kemudian ia mengibaskan tangan pada si dua wanita. Setelahnya si dua wanita itu beringsut menjauh, lalu keluar dari ruangan itu.
“Ya ampun, Kek! Bikin malu aja! Ngapain pake panggil cewek-cewek begitu segala? Kakek lupa kalau kita janji mau ketemuan di sini sama Mahira? Huh!” Andra masih melayangkan protes. Ia meraup botol dan gelas di meja yang berserakan, lalu menaruhnya di tempat lain. “Tahu begini, lebih baik kita gak ketemu di hotel. Dasar kakek tua brengsek!”
Mahira tak tahu harus bereaksi apa sekarang. Menertawakan Andra yang tanpa sungkan meledek si kakek yang cemberut? Atau ikut memarahi si kakek dan keluar dari tempat ini karena merasa tak nyaman?
“Jarang-jarang kakek bepergian sejauh ini, Dra. Tentu kakek tak boleh menyia-nyiakan kesempatan atas pelayanan hotel ini, kan?” Si Kakek kini tampak semringah. “Kakek pikir kamu masih lama di perjalanan. Jadi yah … daripada kakek bete dan suntuk nungguin kamu, mending kakek cari hiburan dulu, kan?”
“Dasar buaya darat!”
Mahira sampai melotot mendengar Andra bicara begitu pada si kakek. Anehnya, si kakek tampak tidak tersinggung sama sekali mendapatkan olokan, ejekan, bahkan omelan cucunya sendiri.
“Oh! Hai, Mahira! Aku kakeknya Andra.” Si kakek tiba-tiba melambaikan tangan pada Mahira dari tempatnya sekarang. “Kalau kamu ingin tahu darimana kegantengan si Chef tampan satu ini, itu dariku. Percayalah! Kalau bukan karena aku yang pintar mencari istri yang sempurna, Andra tak akan terlahir tampan dan rupawan seperti sekarang,” katanya bangga sekali.
“Jangan didengerin, Ra!” Andra buru-buru memotong. “Anggap aja yang lagi ngomong itu orang tua yang punya penyakit demensia.”
Interaksi antara kakek dan Andra awalnya memang terkesan ganjil. Mahira bahkan sempat menilainya sebagai sesuatu yang tak patut. Tapi semakin lama memerhatikan interaksi keduanya, yang tak canggung saling mengejek bahkan mengolok, Mahira perlahan mulai mengerti dari mana sikap bebal Andra.
Dibandingkan dengan Ayah Adrian yang tampak kaku dan galak, Andra memang lebih mirip seperti kakeknya yang penuh dengan lelucon. Lambat laun Mahira mulai bisa tersenyum lega meski belum sepenuhnya bisa merasa nyaman.
“Jadi, kapan kamu akan menikah dengan Mahira? Kakek butuh cucu, Andra! Sesegera mungkin!” Si kakek menyergap dengan pertanyaan itu tanpa tedeng aling-aling.
Mahira yang mendengarnya tentu sampai kaget. Sejak tadi ia belum bicara sepatah kata pun. Dua lelaki itu terlalu sibuk berbincang berdua sampai mengacuhkannya.
“Kita belum bicara sejauh itu, Kek.” Mahira menyela cepat.
Andra tersenyum tipis. “Itu masalahnya, Kek. Mahira belum mau menikah denganku.”
“Kenapa? Andra tampan, punya pekerjaan, dan juga terlahir dari keluarga kaya raya. Kamu tak perlu takut miskin jika menikahi cucuku yang satu ini. Apa yang kurang dari dia? Dia sudah bisa dikatakan siap menikah, kan?”
Mahira terdiam cukup lama. Berpikir keras akan jawaban macam apa yang pas untuk menjawab pertanyaan kakek itu.
“Bukan itu masalahnya, Kek. Aku hanya … yah … maksudku ….” Mahira tergagap menanggapi.
Andra sampai termenung melihat kekasihnya jadi gagap begitu. “Karena kita belum minta restu dari orang tuamu?” terka Andra cepat. “Tenang aja. Setelah dapat restu dari kakek yang secara otomatis juga restu dari Ayah dan Bunda, kita akan menemui Ibu dan Bapak segera setelah ini.”
Mahira menyilangkan tangannya heboh. “Enggak, Dra! Jangan terburu-buru! Kita bahkan belum mengenal dengan baik satu sama lain, kan? Bukannya terlalu terburu-buru kalau udah bahas nikah sekarang?”
Andra dan kakek saling berpandangan. Tak bicara, tapi seperti bisa membaca isi pikirannya masing-masing.
“Oke. Kakek pamit kalau begitu.” Si kakek tiba-tiba beranjak dari duduknya. “Kabari kakek kalau kalian sudah sepakat untuk menikah. Kakek tak mau mendengarkan kabar selain pernikahan kalian. Sampai bertemu lagi, Mahira. Semoga kamu bisa menjadi bagian dari keluarga kami.”
Andra tak mencoba menghentikan kakek. Mahira yang bingung hanya bisa diam saja membiarkan si kakek melangkah keluar kamar hotel.
“Harusnya kamu gak bilang gitu, Hira! Kita ke sini buat minta restu dari kakek. Kenapa kamu malah bilang kalau terburu-buru untuk menikah? Kamu gak mau hubungan kita dibawa ke arah yang lebih serius lagi?” omel Andra/
“Dra, ini terlalu terburu-buru! Kita baru meresmikan hubungan kita dua minggu yang lalu dan ….”
“Lebih cepat lebih baik, Hira.” Andra memotong cepat. “Kamu gak berkaca dari hubungan kamu sama si Galang atau hubunganku dengan Zahra? Lama-lama pacaran belum bisa jadi jaminan kalau sebuah hubungan akan berakhir di jenjang pernikahan. Lebih cepat lebih baik! Aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dua minggu lagi kita bertemu orang tuamu.”
“Andra!”
“Apa lagi sih, Mahira? Kamu gak bisa nolak! Kita akan menikah. Titik.”
“Kasih aku kesempatan untuk berpendapat.”
“Berpendapat kalau rencana ini terburu-buru? Tak usah! Aku tak mau mendengarnya!”
“Kamu mau paksa aku buat nikah?”
“Memangnya kamu gak pengen kalau kita nikah?”
“Aku mau. Tapi … gak sekarang.”
“Mau sekarang atau nanti, sama aja. Lebih cepat lebih baik!”
“Nikah bukan soal lebih cepat lebih baik, Andra. Aku belum siap!”
“Apa? Belum siap? Belum siap apa maksud kamu?”
Mahira memilin jari-jemarinya secara rancu. Raut wajahnya tampak gelisah. “Aku … belum siap ketemu keluargaku. Sejak hubungan kita kamu publikasikan, aku belum pernah menghubungi mereka dan bahkan menolak telepon dari Ibu. Aku … takut. Aku … belum siap menghadapi keluargaku tentang hubungan kita, Andra. Kamu … ngerti kan maksudku?”
“Itu sebabnya dua minggu lagi kita akan menemui keluargamu.”
“Tapi, Dra ….”
“Jangan ragu! Keraguan itu dulu membuat aku harus kehilangan orang yang aku cintai. Dan sekarang, aku gak akan ragu lagi. Kalau kamu ragu, maka sudah jadi tugasku untuk membuat keraguan kamu itu hilang, Mahira. Aku akan menikahimu! Bulan depan!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro