Bab 115 Jawaban Mahira
“Aku harus jawab yang mana dulu? Karena aku punya jawaban yang berbeda dari pertanyaan kamu barusan.”
Andra berpikir sejenak. “Pertanyaanku cuma satu kok!”
“Kamu mau kan nikah sama aku? Kamu gak akan nolak aku lagi kayak dulu, kan?” Mahira mengulang pertanyaan Andra lagi. “Itu dua pertanyaan yang berbeda, Andra.”
“Bedanya di mana?” Andra sampai garuk kepala karena tak merasa kalau pertanyaannya tadi itu berbeda.
“Di jawabannya.”
Andra menarik tangannya yang tadi menggenggam tangan Mahira. “Ya, udah. Jawab aja deh sesuka hati kamu. Paling juga ditolak lagi. Dah kebaca!” Ia sudah percaya diri kalau usahanya kali ini juga akan gagal.
Andra sudah langsung putus asa saja. Ia duduk kembali di kursinya dengan wajah masam. Padahal ia sempat berharap Mahira langsung menjawab pertanyaannya tadi dengan gamblang saja, tanpa perlu bertele-tele seperti ini.
Andra jadi malas mendengarkan jawaban karena ia sudah bisa menebak jawaban seperti apa yang hendak Mahira lontarkan. Kalau bukan penolakan, memang apa lagi?
Padahal sudah banyak bukti yang menunjukkan kalau Mahira memang tertarik padanya. Randu, Yogi, bahkan Citra juga mengatakan kalau Mahira sepertinya memang merasa kehilangan Andra setelah ia resign dari tempat ini. Tapi, ternyata sikap Mahira tetap tak acuh padanya.
Sialan! Harusnya Andra tak percaya begitu saja pada kabar yang didapat dari orang lain begini. Ia tak akan senang duluan kan jadinya.
Mahira, si hati batu ini rupanya punya perasaan yang tak berubah padanya.
Untuk apa juga sih dia datang ke acara kencan ini? Membuat Andra berharap banyak saja kalau ini bisa jadi pertanda awal baik, kalau ternyata tidak juga. Entahlah apa alasan Mahira datang ke acara kencan ini.
Memangnya dia tak tahu arti ajakan kencan dari laki-laki itu apa?
Kalau hanya untuk membuat Andra terkena penolakan lagi, harusnya Mahira tak usah datang saja. Buang-buang waktu!
“Iya.” Mahira bersuara singkat. Perkataannya itu sukses membuat kening Andra bertaut keras.
“Iya? Iya apa maksudnya?” Andra menuntut penjelasan. Jawaban Mahira selain singkat, tapi juga ambigu. Andra takut berharap lebih lagi.
Capek juga rasanya!
“Iya kalau kamu nolak aku?” desak Andra karena Mahira malah bungkam lagi.
“Maksud aku,” Mahira tampak tergagap, “maksud aku tuh … iya, Dra.”
“Iya, apa?” Andra sampai menaikkan nada bicaranya. “Bicara yang jelas dong! Gak usah bertele-tele!” Tak sabar dengan penjelasan Mahira atas jawabannya tadi.
“Kamu ngerti gak sih kalau aku tuh lagi grogi?!” Mahira juga jadi ikut-ikutan menaikkan nada bicaranya. “Aku grogi ngomongin perasaanku ke kamu, Andra! Kamu gak bisa apa sabar dikit buat dengerin jawabannya aku dulu?”
Andra buru-buru bangkit lagi dari tempat duduknya, menghampiri Mahira dan bertekuk lutut di depan wanita itu yang tampak tengah mengatur napasnya seperti orang habis lari maraton.
“Oke. Oke.” Andra berusaha untuk tenang. Juga menenangkan Mahira yang malah memasang raut wajah tegang. “Oke. Tarik napas dulu. Perlahan … terus embuskan.”
Mahira mengikuti arahan itu, bahkan matanya sampai terpejam beberapa lama. Hal itu memang cukup membuatnya sedikit tenang. Tapi tak mengubah fakta bahwa ia masih merasakan grogi karena keberadaan Andra yang tengah bertekuk lutut di depannya. Mahira sampai tak mau menoleh pada lelaki itu.
Jantung Mahira tak aman sekarang!
Sudah memberikan jawaban, tapi masih juga dituntut menjelaskan. Duh! Andra gak tahu apa kalau Mahira grogi banget sekarang?
“Oke. Jadi … kita mulai dari mana pertanyaannya?” Andra berpikir keras. Kelabakan sendiri. “Oh! Oke. Kamu … suka sama aku, kan?”
Mahira diam saja. Seperti tadi. Tapi kali ini Andra tak buru-buru menyelanya dengan pertanyaan lagi. Seperti yang Mahira katakan tadi, ia ingin Andra bersabar sedikit saja sampai Mahira membuka suara untuk menjawab. Dan kini Andra tengah melakukan usulan itu. Menunggu Mahira membuka suaranya, menjawab lebih rinci pertanyaannya. Tak seambigu tadi yang membuat Andra jadi jengkel sendiri. Tapi … entah kapan Mahira akan bicara. Karena sekarang saja perempuan masih sibuk mengatur napasnya.
“Aku …,” Mahira tergagap, “aku … suka kamu.”
Andra menahan diri untuk tak tertawa terlalu keras, menunjukkan betapa bahagianya ia mendengar jawaban Mahira barusan. Hanya tersenyum kecil sambil menatap Mahira lekat. “Kamu … kangen sama aku kan pas aku gak ada?” tanyanya lagi.
Kali ini Mahira tak menjawab, tapi malah menganggukkan kepalanya. Hanya itu saja tanggapannya tapi sudah membuat Andra tak bisa lagi menyembunyikan rasa bahagianya. Ia langsung tertawa keras sekali.
“Aaarrrggghhh!!!” Andra berteriak kegirangan. “Jadi … kamu gak akan nolak aku lagi, kan?” Andra butuh kepastian untuk terakhir kalinya. Berharap jawaban Mahira tak berubah.
Mahira diam lagi cukup lama kali ini. Bola matanya mengedar ke atas, seolah menatap sesuatu di langit-langit yang dipenuhi bintang.
“Begitulah,” jawab Mahira singkat.
Andra terkekeh tipis. Sedikit kecewa karena yang terlontar dari mulut Mahira justru jawaban ambigu lagi. “Begitulah gimana maksudnya? Iya atau enggak?”
“Eng—”
Andra panik. Raut wajahnya tampak kusut.
“I—iya.”
Andra berlonjak riang. Berteriak kegirangan sampai menarik dua tangan Mahira, membuat wanita itu bangkit dari tempat duduknya. Mahira tampak panik melihat Andra berteriak dan berloncatan. Ia celingukan memandangi sekitar karena takut ada yang melihat.
“Diem ih! Andra! Berisik tahu! Gimana kalau pengunjung pada denger dan mereka bangun?” protes Mahira sambil menarik tangan Andra erat. Ia sampai memukul lengan lelaki itu sebagai peringatan agar kembali duduk tenang saja. “Kamu mau bikin semua orang bangun tengah malam? Huh!” dumelnya setengah berbisik.
“Woooaaa!!!”
Andra sama sekali tak menggubris dumelan Mahira. Ia juga tak peduli seberapa keras perempuan itu memukul lengannya. Dengan gerakan cepat ia langsung menarik tubuh Mahira hingga terjerembab dalam pelukannya. Dua tangan Andra melingkar di tubuh wanita itu. Erat sekali sampai Mahira kesulitan untuk sekedar bernapas saja.
“Kita nikah, Hira! Kita akan menikah bulan depan! Kita akan menikaaah!!!” teriak Andra penuh semangat menggebu. Ia sampai tak sadar kalau pelukannya sudah membuat Mahira nyaris kehabisan napas.
Mahira melepaskan diri dari pelukan Andra sekuat tenaga. Bukan hanya tak mau mati gara-gara dipeluk Andra, tapi juga untuk melayangan protes. “Apa-apaan sih kamu? Siapa bilang kita bakal menikah bulan depan? Huh! Jangan ngambil keputusan seenaknya dong, Andra! Kamu gak bisa sabar dikit apa denger semua jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan kamu tadi?”
Andra menggeleng. “Gak bisa! Aku udah terlalu bersabar selama ini, Mahira! Aku sabar ditolak terus sama kamu. Aku sabar juga nunggu perasaan kamu ke aku berubah! Aku kurang sabar apa lagi coba? Enggak! Gak bisa! Pokoknya bulan depan aku lamar kamu. Kita langsung nikah! Di PULAU AMPALOVE!” tegas Andra yang tak bisa diganggu gugat lagi. Ini sudah menjadi keputusan mutlaknya.
“Andra! Jangan seenaknya aku bilang!”
Andra menggeleng. Ia kembali duduk di kursi dan melahap sisa makanan yang sempat diabaikan tadi. “Aku mau makan. Perutku lapar gara-gara nunggu jawaban dari kamunya lama banget. Susah amat sih tinggal bilang ’iya’ juga? Segitu groginya emang?” Ia terkikik senang. Setengah meledek juga sebenarnya.
Wajah Mahira langsung kusut mendapat sindiran demikian. “Itu karena aku gak mau asal jawab! Ini masalah serius, Andra. Aku gak mau asal terima perasaan orang atau asal terima ajakan orang buat nikah. Kamu sendiri kan tahu kalau aku pernah gagal menjalin hubungan sama cowok dan endingnya malah kena tikung!”
Andra mengangguk. “Iya. Aku juga punya pengalaman yang sama kayak kamu.”
“Tapi, kamu beda. Kamu terbiasa deket sama banyak cewek. Cuma satu cewek yang nyakitin kamu tuh gak akan sebanding dengan banyaknya cewek yang deketin kamu! Banyak tuh foto-foto kamu bareng sama cewek-cewek cantik di media sosial. Itu artinya kamu gak punya masalah sama yang namanya perasaan! Kamu bisa gampang deket sama lawan jenis dan suka ke mereka, sementara aku gak semudah itu! Dasar cowok playboy!”
“Tapi, aku sukanya cuma ke kamu.”
“Gombal!”
Andra angkat bahu. “Terserah deh mau dibilang gombal juga! Yang penting kamu sama aku udah sama-sama saling suka. Titik. Kita resmi jadi pasangan sekarang dan bulan depan kita nikah.”
Mahira sekuat tenaga untuk tak tersenyum. Malah dengan sengaja mengembangkan pipinya agar terlihat seperti orang tengah marah. Padahal hatinya berlonjak riang sekali sekarang sampai rasanya ia ingin berteriak pada seluruh dunia, terkhusus para wanita di luaran sana yang tertarik pada Andra.
“AKU, MAHIRA, MILIK ANDRA SEKARANG!!!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro