Bab 8b
Erica menggeliat, saat merasakan lengan yang kuat dan berat menindih tubuhnya. Ia mendesah, menggerakkan tubuh dan kini terlentang. Matanya menatap Jayde yang masih terpejam. Mereka ada di hotel lagi, kali ini pun tidak kalah mewah dari tempat percintaan mereka pertama. Erica berpikir betapa sayang membuang uang jutaan hanya untuk tidur. Tapi, ia mengingatkan diri sendiri kalau bagi orang kaya, uang kadang tidak ada artinya.
Dengan lembut ia menyingkirkan lengan Jayde, bangkit dari ranjang dan menyambar jubah di atas nakas. Memakainya lalu bergegas ke kamar mandi. Ia perlu buang air kecil dan cuci muka. Membuka jubah dan mengamati tubuhnya yang penuh dengan bilur merah. Ada bekas janggut Jayde di dadanya, dan juga gigitan kecil di bahu. Laki-laki itu tadi malam sangat intens dan brutal. Ia meraba perlahan kulitnya yang memarah dan tersenyum, memastikan tidak ada rasa sakit di bekas itu. Ada sesuatu yang aneh menyergapnya, karena ada tanda kecupan di tubuhnya. Laki-laki yang melakukannya hanya satu orang dan ia menyukainya.
Setelah membersihkan diri, Erica keluar dari kamar mandi. Mengernyit saat mendengar ponselnya bergetar. Ia membuka tas, mengambil ponsel lalu mendesah. Panggilan dari keluarganya. Ada limas belas panggilan tidak terjawab, entah apa yang mereka inginkan.
"Halo." Erica menjawab dengan enggan dan suara lirih, duduk di sudut kamar yang jauh dari Jayde karena tidak ingin menganggu tidur laki-laki itu. "Ada apa?"
"Kakaaak, kenapa nggak pulang? Papa mengamuk!"
Suara adiknya yang besar terdengar, Erica menghela napas panjang. "Ngamuk sama siapa?"
"Ngamuk sama kami. Papa marah-marah karena Mama nggak ngasih uang. Ngobrak-ngabrik lemari, ambil uang dagangan Mama sedangkan uang itu juga mau dipakai buat bayar utang di warung hari ini. Kami lapar, Kak."
Erica memijat kepalanya, tidak menyangka sepagi ini akan menerima berita buruk dan tidak menyenangkan dari keluarganya. Papanya seolah menggila tanpa henti dan membuatnya kesal. Ia mengusap mata, tertunduk di lantai.
"Nanti kakak tranfer ke mama kalian uang untuk makan."
"Makasih, Kak."
Memutuskan panggilan, Erica memejam masih dengan posisi duduk di lantai. Tidak menyadari Jayde yang bangkit dari ranjang dan berdiri tepat di atasnya.
"Ngapain kamu duduk di sini dengan muka sedih begitu?"
Erica mendongak dan wajah tampan yang baru bangun tidur masuk dalam pandangannya. Laki-laki itu telanjang bahkan terlihat sangat gagah meskipun sedang tidak bergairah."Pak, nyenyak tidurnya?"
Jayde mengangkat tubuh Erica, mengusap pipi dan menatap matanya yang muram. Meskipun Erica tersenyum tapi tersembunyi keresahan dan kemuraman.
"Ada masalah dengan keluargamu?"
Sebenarnya Erica enggan menjawab tapi sepertinya Jayde mendengar percakapannya dengan adik-adiknya. "Biasa, Pak. Minta uang."
"Bukannya kamu udah kasih buat tebus sertifikat?"
"Memang, tapi masih kurang. Utang papaku benar-benar banyak sampai nyaris nggak masuk akal. Karena kami miskin dan pekerjaannya cuma jual baju di pasar tapi nggak tahu diri."
Jayde tersenyum tipis. "Nggak masalah. Seorang anak pun punya kebebasan berkeluh kesah. Kamu punya hak untuk itu. Nggak ada niat pindah rumah?"
"Ada, Pak. Pingin cari kos di dekat rumah Niki. Biar kalau gabut ada teman."
"Kenapa dekat rumah Niki? Kenapa nggak dekat sama penthouse-ku saja?"
Erica ternganga bingung. "Kenapa harus dekat, Pak Jayde? Lebih afdol kalau dekat Niki. Karena kami sahabat dan sesama cewek."
"Ckckck, Erica. Padahal aku menawarkan hal yang bagus. Kamu bisa cari apartemen di gedung yang sama denganku, biar aku yang bayar sewanya. Dengan begitu, kalau aku ingin ditemani, kamu bisa datang kapan saja."
Setelah terdiam sesaat memikirkan kata-kata Jayde, Erica tertawa lirih. "Pak, pingin jadiin aku cewek simpanan? Idiih!"
"Kenapa, kamu nggak mau? Aku bisa bayar berapapun yang kamu mau."
Erica menggeleng. "Nggak, Pak. Sering ketemu dan bercinta, takut gampang bosan."
"Logika dari mana itu?"
"Dari akulah, masa tetangga sebelah yang bilang. Pak, mau pesan sarapan apa? Nggak lapar."
Menghela napas panjang, Jayde menyipit ke arah Erica. "Mau sarapan kamu!" Mengangkat tubuh gadis itu dan membaringkannya ke atas ranjang, tidak peduli kalau Erica berteriak. "Rasanya nikmat kalau pagi-pagi sarapan di ranjang."
Awalnya Erica memang tertawa tapi lama-lama terengah saat bibirnya dilumat. Padahal ia tadi ingin menolak tapi Jayde menindihnya dengan intens dan tidak memberinya kesempata untuk berkelit. Kali ini mereka bercumbu saat suasana terang benderang dan tanpa obat perangsang. Rasanya masih sama seperti yang lalu, sama-sama manis dan mengesankan. Erica membuka pahanya lebar-lebar lalu mengaitkan di pinggul Jayde.
"Benarkan yang aku bilang, kalau sarapan kamu lebih mengenyangkan dari apa pun?"
Jayde melucuti jubah Erica dan meremas dadanya. Kejantanannya menegang dan siap untuk sex pagi.
Erica mendesah, mengangkat kepala untuk menggigit bahu Jayde. Ia senang melakukannya, seolah tubuh Jayde adalah miliknya dan bebas untuk disentuh serta digigit. Laki-laki itu pun tidak keberatan, justru terlihat menikmati gigitan itu.
"Apa kamu tahu keuntungannya menjadi simpananku?" tanya Jayde dengan jemari mengusap area intim Erica. Sengaja berlama-lama di sana untuk menggoda gadis yang sekarang sedang menggelinjang.
"Uang pastinya," jawab Erica sambil menggigit bibir. Pahanya menutup rapat untuk menjepit tangan Jayde.
"Bukan hanya itu, tapi juga fasilitas yang lain." Jayde membuka paha Erica lebih lebar, dan menggerakkan jarinya dengan cepat. "Ada mobil dan juga pekerjaan tetap. Aku bisa membantumu dalam banyak hal."
"Aargh!"
Erica mengerang, kepalanya terlontar ke belakang, gairahnya bangkit dengan dasyat.
"Bagaimana Erica? Masih nggak mau jadi kekasihku? Kamu bisa mendapatkan kenikmatan seperti ini setaip saat kamu mau. Aku bersedia melayanimu sampai puas."
Erica tergelak di antara desahan yang menggema. "Paak, bukannya yang cari kepuasan itu, Anda. Aduuh, aah."
"Oh, jadi kamu nggak Erica? Coba kita lihat sekarang, siapa yang memuaskan siapa? Padahal jelas-jelas tenagaku terkuras untuk melayanimu."
Jayde memosisikan tubuh di atas Erica. Setelah memastikan kalau area intimnya basah, ia mulai menyatukan diri. Desahan dan erangan mereka menggema di kamar yang sunyi.
"Ericaa, enak sekali. Aku ingin kamu jadi kekasihku."
Tidak ada jawaban dari Erica. Ia menikmati penetrasi Jayde di tubuhnya. Untuk sementara ini, ingin bercinta tanpa beban. Menjadi kekasih simpanan bukan hal yang mudah, dan Erica belum siap melakukannya.
.
.
.Di Karyakarsa sudah tersedia ExtraPart.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro