Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13

Berbaring telentang dengan mata menatap kalung berlian di tangan, Erica tanpa sadar tersenyum. Mengingat tentang sikap Jayde yang begitu manis dan kekanak-kanakan saat bersamanya. Jayde yang diingatnya dulu, tidak pernah peduli pada apa pun dan selalu terlihat garang, tapi nyatanya begitu perhatian. Tidak peduli kalau Jared, Neil, dan Niki akan curiga, secara terang-terangan menunjukkan kasih sayang dan perhatian.

Mungkin Jayde hanya menginginkan tubuhnya, menyukai cumbuan dan percintaan mereka. Ia sendiri tidak memungkiri, kalau menikmati semuanya saat bersama. Dengan semua hal selalu diberi imbalan, Erica berpikir kalau dirinya tidak lebih dari gadis panggilan. Ia tersenyum, mengingat cita-citanya yang sempat ingin jadi ani-ani. Niki mengamuk saat mendengarnya dan saat itu ia hanya tertawa. Dalam keadaan terdesak karena uang, berpikir kalau menjual diri adalah hal yang bagus. Ia melakukannya karena mengira pembeli tubuhnya dalah Jared. Siapa sangka justru Jayde yang tidur bersamanya dan berlanjut hingga kini.

Mengusap liontin berlian dengan inisial namanya, hati Erica bergetar. Untuk seorang laki-laki dengan tatapan garang dan wajah tampan, dengan kedudukan sebagai CEO muda dan kaya raya, Jayde adalah impian semua gadis, bahkan dirinya pun sama. Rasa sukanya pada Jared menguap entah kemana. Erica terjaga dari lamunan saat ponselnya berdering. Setengah berharap dari Jayde, ternyata Niki yang menelepon.

"Erica, lo ada kerjaan nggak hari ini?"

"Pingin istirahat, capek aja. Napa?"

"Bagus, temeni gue ke pertemuan dengan pihak sponsor, mau nggak?"

"Hah, sponsor apaan?"

Niki menjelaskan dengan cepat tentang produk perawatan wajah dan tubuh yang ingin menjadi sponsor pernikahan. Mereka melihat profile Niki di Instagram yang ternyata adalah seorang model, dan juga mahasiswa lulusan luar negeri. Selain itu juga mengenal Neil sebagai mantan tunangan Almaira. Melihat potensi kalau pernikahan akan menjadi atensi publik, karena itu menawarkan kerja sama.

"Gue belum bilang sama Om Neil, mau lihat gimana penawaran mereka. Erica, temani gue."

"Ya udah, gue siap-siap dulu. Lo jemput ya?"

"Siap!"

Erica menggulingkan tubuh dan turun dari ranjang, menyimpan kalung dalam lemari dan menguncinya. Tidak lupa menyimpan kunci di bawah kasur. Ia tidak selalu ingat untuk tidak bersikap ceroboh dengan membiarkan barang-barangnya di luar, karena yang akan terjadi adalah sebuah masalah. Sang papa tidak akan tinggal diam saat melihat barang berharga yang bisa dijual. Setelah memastikan tidak ada barang berharga di luar, Erica pergi mandi. Ia mengguyur tubuh dengan air dingin dan menyabuni kulit, bernyanyi sekencang mungkin untuk meredam suara pertengkaran dari luar.

"Paa, bisa-bisanya mengambil jatah mi instan anak-anak. Kasihan mereka, Pa."

"Halah, aku cuma ambil lima bungkus."

"Cuma katamu? Lima bungkus itu banyak. Kamu tahu sendiri kalau anak-anak suka makan mie sebelum sekolah."

"Aduh, berisik sekali kamu ini. Minta sama Erica sana. Dia pasti punya uang buat beli mi instan."

Erica tidak mendengar jawaban ibu tirinya karena berteriak dengan lebih keras. Bosan mendengar pertengkaran yang tiada henti hanya demi makanan atau uang. Sepertinya mereka tidak peduli dengan mental anak-anak karena terus menerus mendengar soal pertengkaran. Erica merasa sedih untuk dirinya sendiri dan adik-adiknya karena punya orang tua yang aneh.

Selesai mandi ia keluar dengan handuk di kepala, melewati kedua orang tuanya yang berdebat di dapur. Bersikap seolah-olah tidak mendengar mereka. Namun sang papa tidak membiarkannya berlalu.

"Erica, apa kamu punya uang untuk beli mi instan?"

"Nggak ada!"

"Hei, jangan pelit. Harga mi instan nggak seberapa."

Erica menoleh pada Rohman dan istrinya lalu berujar pelan. "Kalau nggak seberapa, kenapa nggak beli pakai uang kalian sendiri?"

Tanpa menunggu papanya menjawab, ia masuk ke kamar dan mulai berhias serta berganti pakaian. Pintu kamarnya digedor dan ia mengabaikannya. Memilih untuk mengirim pesan pada Niki, kalau dirinya sudah selesai mandi dan siap dijemput. Perkiraan waktu 30 menit Niki berkendara dari rumahnya kemari.

"Erica, kamu tega membiarkan adikmu kelaparan? Ayolah, uang lima puluh ribu cukup. Berikan padaku, biar aku yang bayar, Ericaa!"

"Lihat sendiri, Pa. Erica marah, kamu selalu bikin ulah." Aniswati menimpali.

"Berisik ah! Kita tunggu sampai Erica keluar, nggak mungkin dia nggak ngasih uang untuk adik-adiknya."

Selesai berdandan dan memakai minidress putih tulang tanpa lengan, Erica bersiap keluar. Mengambil lima bungkus mi instan persediaannya dari dalam laci meja. Saat membuka pintu, Rohman menunggunya. Tanpa kata Erica menyerahkan lima bukus mi instan dan berlalu meninggalkan orang tuanya. Ia memakai sepatu dan bergegas pergi sebelum mendengar perdebatan lain. Terlalu sering mendengar mereka berdebat, Erica bisa membedakan mana yang pertengkaran asli, dan mana yang pura-pura. Perdebatan soal mi instan tadi adalah pura-pura karena yang mereka inginkan adalah uang. Rohman dan Aniswati adalah pasangan serakah yang hebat. Berani mengerjai anak sendiri, itulah kenapa ia tidak terlalu peduli dan bersikap acuh tak acuh.

Menunggu di pinggir jalan selama sepuluh menit, mobil yang dikendarai Niki mendekat. Ia membuka pintu dan mengenyakkn diri di jok depan. Selama dalam perjalanan, mereka terlibat percakapan serius soal pernikahan. Niki dan Neil sama-sama tidak punya orang tua, orang yang bisa diajak berbagi selain Yessy adalah dirinya. Erica senang karena bisa terlibat secara langsung dalam pernikahan sahabatnya.

Tiba di kantor yang dimaksud, mereka bertemu langsung dengan manajer. Diajak ke ruang pertemua untuk dijelaskan tentang detil peraturan. Manajer adalah seorang laki-laki yang berumur awal tiga puluhan dengan kulit putih dan wajah glowing. Sesaat Erica merasa iri pada laki-laki yang terlihat bersih, menyadari kulitnya yang sawo matang. Namun, saat melihat kalau glowingnya berlebihan hingga terlihat berminyak, ia mengurungkan rasa irinya.

"Kami menawarkan paket untuk souvenir pernikahan berupa body lotion dan UV cream. Bisa dikatakan itu ada produk terlaris dan terbaik kami. Pasangan pengantin sangat serasi, tampan dan cantik dan cocok dengan produk kami."

Niki mengangguk, menatap brosur di tangannya dan mencatat dalam hati semua penjelasan yang diberikan sang manajer.

"Apa yang harus aku lakukan untuk bekerja sama dengan kalian?" tanya Niki.

Si manajer tersenyum. "Hanya tanda tangan kontrak saja dan memberikan kami detil berapa banyak souvenir yang dibutuhkan. Jangan lupa untuk iklan di laman Instagram Niki yang followernya lumayan banyak itu."

Erica mengetuk permukaan meja dan mengoreksi. "Maaf, follower Niki bukan lumayan tapi sangat banyak. Tolong, tiga juga itu bukan angka kecil."

Koreksi dari Erica membuat si manajer tersenyum malu dan mengangkat tangan. "Ups, saya salah kata kalau begitu. Intinya, kami membutuhkan iklan dan pasangan pengantin mendapatkan benefit produk yang luar biasa."

Sebenarnya penawaran manajer ini cukup baik, Erica juga mengecek kualitas serta penilaian produk di goggle dan menurutnya lumayan bagus. Bagi Niki dan Neil, mendapatkan support dari mereka tidak akan merugikan tapi keputusan tetap di tangan sang pengantin.

"Kalau gitu, aku akan diskusi dulu dengan calon suamiku. Nanti aku hubungi segera."

"Siap, Niki. Semoga ada kabar baik," jawab si manajer. "Oh ya, kebetulan sedang ada direktur kita di sini. Bagaimana kalau kalian berkenalan dengan beliau. Sekarang sedang ada tamu, harusnya sebentar lagi pertemuan selesai."

Erica dan Niki dibawa ke ruang tunggu untuk minum teh dan makan cemilan. Duduk bersebelahan di sofa bulat warna biru muda, dengan meja kaca panjang, mereka sepakat kalau ruang santai tunggu ini memiliki design cantik dan membuat betah. Keduanya berdiskusi tentang bagaimana caranya meyakinkan Neil agar mau kerja sama dengan produk ini.

"Harusnya nggak masalah, meskipun ada make-up ditambah body lotion serta UV cream, akan sangat bagus."

Niki setuju pendapat sahabatnya. "Memang, semoga Om mau terima."

Pintu ruang direktur membuka, Niki dan Erica bangkit dari kursi saat dua perempuan muncul dari pintu yang terbuka dan membuat keduanya tercengang. Erica mengenali si direktur adalah perempuan yang pernah kencan buta dengan Jayde. Sedangkan perempuan satu lagi adalah Almaira. Erica memaki dalam hati, karena bertemu dengan dua perempuan yang sangat ingin dihindarinya.

"Wah-wah, siapa sangka akan bertemu mereka di sini?"

Davina mengamati keduanya, memiringkan kepala karena tidak mengenali mereka. Davina menatap Erica lebih lama tapi tidak mengatakan apa pun.

"Kamu kenal mereka?" tanyanya pada Almaira.

"Tentu saja, ini adalah Niki dan sahabatnya Erica."

Wajah Davina terbelalak saat tahu siapa Niki. Dari belakang muncul di manajer yang bicara dengan cepat pada mereka.

"Bu Davina, perkenalkan ini Niki. Pasangan pengantin yang akan mendapatkan produk sponsor dari kita."

Almaira terbelalak saat mendengar penjelasan dari si manajer. Setelah pulih dari kekagetan, tertawa terbahak-bahak.

"Ya ampun, kalian cari sponsor untuk nikah? Hello, apa Neil bangkrut?"

Erica melihat Niki mengepalkan tangan, dan ia bertindak sigap dengan bicara atas nama sahabatnya. "Souvenir ini nggak ada hubungannya sama bangkrut. Yang menawarkan mereka lebih dulu, bukan Niki yang meminta."

"Aku nggak bicara sama kamu, MUA sombong!" desis Almaira. "Sebaiknya kamu diam kalau nggak mau kena masalah denganku."

Mengangkat dagu, Erica menolak untuk mengalah. Tidak ada yang boleh menghina sahabatnya, siapa pun itu apalagi Almaira."Kenapa kamu mudah sekali mengancam orang, hah?" tanya Erica. "Urusan pernikahan Niki, nggak ada sangkut pautnya denganmu. Hubunganmu dengan Pak Neil sudah lama putus. Manta kekasihmu akan menikah, dan kamu nyinyir soal souvenir? Hei, iri bilang boss!"

"Berani-beraninya kamu menentangku! Ingin kubuat para artis memboikotmu?"

Niki merasa kuatir, mencoba menenangkan Erica. "Sudaah, ayo, kita pergi dari sini."

Almaira melambaikan tangan. "Yaa, sana pergi. Gadis penggoda, tukang rayu tunangan orang, memang tidak layak ada di sini! Sampah memang sudah semestinya bergaul dengan sampah juga!"

Kehabisan sabar, Erica merengsek maju ingin memukul Almaira tapi Niki menahannya.

"Erica, jangan! Lebih baik jangan cari masalah. Dia sengaja memancing emosi kita."

Mengepalkan tangan, Erica menghela napas panjang. Menatap Almaira dengan penuh kebencian. Ia tidak peduli kalau Almaira akan menghasutnya atau melakukan hal buruk dalam pekerjaannya. Tindakan semena-mena perempuan itu tidak dapat dibenarkan. Menghina orang sembarangan hanya karena merasa lebih kaya dan lebih terkenal.

"Alamira, lo nggak ngaca kenapa Pak Neil ninggalin lo? Selain lo yang reseh, sok kecakepan, dan nggak sadar diri juga. Please, dunia berjalan nggak di bawah kaki lo."

Selesai bicara dengan Almaira, kali ini Erica menunjuk si manajer yang berdiri ketakutan dan mengeluarkan keringat dingin melihat para perempuan bertengkar.

"Pak, jangan diam aja. Bilang sama boss kamu, dan artis resek ini kalau kalian yang menghubungi Niki. Jangan bikin orang salah paham kalau Niki yang memohon-mohon!"

Si manajer kebingungan, menatap Davina sambil mengusap kedua tangan di depan tubuh. Davina sedari tadi memang terdiam tapi dari sikapnya terlihat sangat tidak senang. Ia bisa kena masalah kalau bicara jujur dan sebaiknya mencari mana.

"Bu Davina, sebenarnya ini hanya salah paham saja. Saya sebenarnya ingin menawarkan kerja sama tapi mereka meminta gratis."

Niki memejam, menahan kesal sedangkan Erica memaki keras. "Brengsek lo! Laki-laki banci!"

Almaira bertukar pandang dengan Davina lalu mengangkat bahu. "Gimana, masih mau kerja sama dengan mereka? Cewek MUA ini sangat kasar dan nggak berpendidikan. Si calon penganti itu cewek munafik yang sok lugu tapi aslinya sangat kurang ajar. Kasihan produkmu kalau dipakai mereka."

Davina maju, menatap Niki dan Erica bergantian. Sedari tadi ia memperhatikan dan memang tidak suka dengan sikap keduanya.

"Sorry, kalian nggak level pakai produk kami."

Niki mendengkus. "Nggak ada yang mau pakai. Kalau nggak ditawari, kami nggak mau datang."

Erica menunjuk si manajer yang menunduk. "Noh, bilang sama manajer kalian yang banci itu. Lain kali suruh lihat-lihat dulu kalau mau pasang iklan gratis sama selebgram. Niki nggak perlu ngemis-ngemis produk dari kalian!"

Mengernyit ke arah Erica dan menatap lekat-lekat, Davina mendadak teringat sesuatu. "Tunggu, sepertinya kita pernah ketemu."

Menolak untuk mundur, Erica membiarkan Davina mengamatinya. Lagian sudah kepalang basah, lebih baik mandi sekalian.

"Kamu adalah pelayan yang merusak kencanku dengan Jayde!"

Ruang tunggu sunyi seketika, kata-kata Davina membuat semua orang terperanjat. Erica tersenyum tenang.

"Benar sekali, itu aku. Surprise!!"
.
.
.
Tersedia di google playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro