Bab 11a
"Apa aku dibawa ke parkiran hanya untuk dicium, Pak?" tanya Erica di sela cumbuan mereka.
Jayde mendesah. "Siapa bilang? Aku ingin membawamu ke atas. Ada tempat yang bagus untuk kamu."
Dengan enggan Jayde mengakhiri ciumannya. Bibir Erica terlalu menggoda untuk dilewatkan. Ia merapikan pakaian, membuka pintu mobil, dan membawa Erica menaiki lift khusus eksekutif. Mereka tiba di lantai 10 paling atas, dan keluar dari sana menuju sebuah taman. Untung saja tidak hujan karena pemandangan yang terlihat sangat luar biasa.
"Wow, bagus sekali, Pak," teriak Erica tanpa sadar. Menatap bintang-bintang yang terlihat dari tempatnya berdiri. Angin bertiup sepoi-sepoi, membuatnya terasa segar. "Tempat ini luar biasa keren. Sayang sekali aku belum mandi."
Jayde mengernyit. "Memangnya kenapa kalau kamu nggak mandi?"
"Gimana, ya? Mau peluk Pak Jayde jadi nggak enak karena takut badan bau."
"Tapi kamu nggak bau Erica."
"Keringatan, Pak. Pokoknya kurang nyaman."
Jayde tidak habis pikir dengan kata-kata Erica. Ia sendiri juga belum mandi karena baru selesai bekerja. Tapi tidak keberatan kalau dipeluk dan memeluk. Ia malah suka kalau Erica dekat-dekat dengannya. Namun tidak mau menyangkal kalau Erica kurang nyaman, ia tidak bisa memaksa.
"Kamu suka tempat ini?" tanyanya. Mengambil rokok dan menyulutnya, duduk di bangku bulat dengan payung di atasnya. Sementara Erica memutari area di mana ada banyak pot bunga.
Erica menoleh, rambutnya tersapu angin dan mengacungkan dua jempol. "Sangat bagus, Pak. Seperti di drakor-drakor. Berkencan di rooftop sambil makan rame dan minum soju."
Jayde terkekek. "Kamu terlalu banyak nonton drakor."
"Memang, hiburan paling murah di sela-sela penatnya kerja."
"Bagaimana kalau kita kemari besok? Kamu mau? Jam delapan aku jemput?"
Erica yang berdiri di dekat pagar, mendekat lalu menggeleng. "Nggak bisa, Pak. Maaf sekali, besok ada kerja."
"Kerja apa besok?"
"Restoran. Biasa mulai kerja dari siang sampai malam."
"Kalau hari ini?"
Erica menarik kursi di samping Jayde dan meluruskan kaki. Menyenangkan bisa bersantai setelah lelah bekerja seharian. Sungguh jarang-jarang ia menikmati malam damai seperti sekarang.
"Hari ini ada job MUA, tebak siapa klienku?"
"Almaira."
Jawaban Jayde membuat Erica terkekeh. "Kok tahu, Pak. Padahal aku belum bilang."
"Kamu bertanya dan memintaku menebak, dari nada itu aku tahu kalau kamu berurusan dengan orang yang aku kenal. Satu-satunya yang aku tahu di dunia hiburan hanya Almaira."
"Emang hebat Pak Jayde, pantas saja berhasil di bisnis. Analisanya mantap. Memang kerja dengan Alamira tadi, sayangnya berakhir kurang menyenangkan."
"Almaira membuat ulah?"
Dengan berat hati Erica mengangguk. "Bukan ulah tapi bertengkar dengan sesama artis hanya karena masalah sepele. Ribut besar sampai-sampai pemotretan dihentikan sesaat."
Mengembuskan asap rokok ke udara, Jayde memikirkan sesuatu. Tentang sepupunya yang kini jarang dijumpai.
"Almaira seolah kehilangan arah setelah putus dengan Neil. Banyak orang mengatakan itu semua karena Neil kurang sabar dan tidak mau mendampingi Almaira saat dalam masa sulit. Padahal bukan begitu kenyataannya. Neil berusaha untuk tegar, menghibur, dan mendampingi selalu. Memberi maaf dan kesempatan tapi Almaira melanggarnya. Yang paling tidak termaafkan adalah saat kedua kalinya tertangkap. Sebagai laki-laki yang menginginkan rumah tangga harmonis, aku mengerti kenapa mereka putus."
Erica menggigit bibir, dilema apakah harus mengatakan pada Jayde tentang perkataan Almaira soal perjodohan atau tidak. Ia ingin sekali bertanya apakah benar Jayde sedang mencari istri, kalau begitu kenapa ingin mangkir dari kencan buta? Setelah mempertimbangkan masak-masak, Erica memutuskan untuk tidak bertanya. Bagaimana pun juga itu bukan masalahnya.
"Pak Jayde sangat realistis, membela yang harus dibela."
Jayde tertawa. "Padahal aku membela Neil karena bisnis. Ngomong-ngomong kamu nggak ada keinginan untuk duduk di pangkuanku?" Ia menepuk-nepuk pahanya dengan bersemangat. "Harusnya duduk saja nggak masalah biarpun belum mandi."
Erica meleletkan lidah. "Maunya Pak Jayde itu mah."
"Emang itu mauku. Ayo, sini. Sayang kalau pahaku yang kokoh dan kuat ini menganggur."
Tidak dapat menahan gelak karena kata-kata Jayde yang terdengar aneh dan gombal, Erica bangkit lalu duduk di pahanya. Ia mengalungkan lengan dan merebahkan kepala di bahu yang kokoh. Mendengarkan detak jantung yang beraturan dan mencium aroma parfum mahal bercampur tembakau. Jayde mempunyai aroma yang sangat menggiurkan. Bermanja-manja di bahu yang kokoh adalah kebahagiaan tersendiri. Tidak mudah mendapatkan keistimewaan seperti ini.
Erica mendesah saat jemari Jayde mengusap rambutnya. Mereka dekat belum lama, orang-orang bahkan tidak ada yang tahu, tapi rasanya seolah sudah kenal bertahun-tahun. Jayde memperlakukannya dengan baik, seolah mereka adalah pasangan kekasih yang sesungguhnya. Tergugah oleh perasaan tersentuh, ia mengangkat wajah dan mencium Jayde dengan lembut.
Mereka saling mengecup, mencium, dan melumat dengan penuh perasaan. Setelah itu, menghabiskan waktu dengan mengobrol. Jayde mengantar Erica pulang. Tiba di ujung gang ia ingin ikut masuk tapi dilarang.
"Jangan Pak, mereka bisa kena serangan jantung kalau lihat Pak Jayde."
"Kenapa memangnya?"
"Nggak pernah lihat orang tampan apalagi kaya. Bisa-bisa papaku ikut pulang karena berharap ada yang bayarin judinya."
"Hah, kamu lucu sekali Erica. Baiklah, aku anterin kamu sampai di sini. Sampai jumpa malam Minggu nanti bersama Niki dan Neil."
.
.
.
Hari terakhir PO.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro