Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

"Darren berantem lagi sama Om Gustaf."

Kania membuka pembicaraan ketika makan siang. Aku sudah menduga. Merasa sedikit penasaran ingin melihat dari dua sisi.

"Masalahnya?" tanyaku sambil mengelap sendok makan dengan tissue.

"Latar belakang keluarga Om Gustaf adalah orang berpendidikan garis keras. Aku nggak tahu kenapa Tante Miranda bisa banting setir seleranya kaku kayak Om Gustaf."

Kania memulai ceritanya mengenai keluarga adik perempuan ayah Kania. Keningku mengkerut mendengar kata orang berpendidikan garis keras. Oh, oke, aku memutuskan untuk memaknainya dengan pemikiran kolot, zaman dulu, yang rata-rata takkan terbantah bahkan pantang ditentang.

"Ayahnya Om Gustaf dulu seorang guru. Kakek buyutnya juga guru. Om Gustaf kan dosen, guru besar. Om Gustaf masih pengen Darren mengikuti jejaknya. Garis keturunannya semua berkecimpung di dunia pendidikan. Jadi Om Gustaf merasa malu, anak satu-satunya melenceng dari jalur."

"Lho, emangnya kalo enggak jadi guru, bukan orang berpendidikan?" tanyaku sambil menghunjam telor balado dengan sedikit geram dengan pemikiran kolot itu.

Kania mengedikkan bahunya, mengunyah makanannya dengan cepat, "Nggak tahu. Pemikiran orang kan berbeda-beda. Intinya Om Gustaf mau anaknya kembali ke jalur yang seharusnya. Apalagi sekarang kayaknya mulai ditekan sama omongan miring kakak-kakaknya Om Gustaf."

"Ayolah, jaman udah canggih. Pola pikir juga harus berjalan. Tapi, Kan, bukan ini semester akhir Darren ya? Dia ambil sarjana kan?"

"Hm. Darren kerja keras biayain kuliahnya sendiri. Tanpa jatah bulanan. Kos bareng temen kerjanya. Hebat kan dia? Semua demi impiannya."

"Semuanya sendiri? Impossible nggak sih? Gaji kerja di kedai kopi itu berapa? Empat juta? Lima juta? Mentok-mentok UMR kan?"

"Nggak percaya? Kayaknya kamu harus kenal Darren lebih banyak. Orang macam Darren nggak akan nyerah gitu aja. Sama kayak pas mau dapetin kamu," ucap Kania diakhiri dengan kerlingan matanya, membuatku terbungkam.

"Kania, ini serius!" decakku.

"Aku juga serius. Nada, kalau misal kamu mulai ada suka sama Darren, tolong genggam tangannya. Aku pikir dia mulai cukup lelah berjuang sendirian tanpa pernah ada yang peduli. Kalau kamu emang enggak ada rasa dan nggak bisa suka sama sekali, jangan beri dia harapan sedikitpun. Biar dia mundur dengan sendirinya," kata Kania kali ini dengan nada seriusnya.

Sesaat aku menahan napas, keraguan yang timbul tenggelam. Ini awal dari sebuah rasa atau cuma sebatas rasa kasihan?

"Jangan hanya merasa kasihan lalu kamu menggenggam tangannya. Itu jahat namanya, Nad," lanjut Kania.

"Kania,"

"Tapi jangan buru-buru ambil keputusan nanti nyesal."

"Aku tahu," jawabku singkat.

Tidak ada yang tahu kalau di kepalaku ini sekarang berkecamuk banyak pikiran. Menggenggam atau melepaskan? Benar sayang atau cuma kasihan?

"Tapi kamu enggak kan? Kamu peduli kan sama aku?"

Aku memejamkan mata, menahan napas. Kala rintihan Darren kembali terngiang. Lelah dan kesepian begitu kental terlihat malam itu.

"Kuharap, keputusanku nggak salah," gumamku menyudahi makan siangku kemudian beranjak cepat meninggalkan Kania yang belum selesai.

Tidak tahu, aku merasa perlu membeli satu bungkus nasi sebelum bergegas meninggalkan kantin karyawan itu. Memasuki Mall yang letaknya tepat di samping gedung perkantoran tempatku bekerja.

Kakiku melangkah dengan penuh percaya diri. Tidak tahu aku mendapatkan kepercayaan penuh itu dari mana. Aku seperti bukan diriku untuk kali ini. Menghampiri Darren yang sedang sibuk menggiling biji kopi.

"Darren Kevan?" panggilku membuatnya membalikkan badan dari mesin kopi itu.

"Nada?" desisnya ternganga, melangkah gamang, menghampiriku dengan meja menjadi penghalang.

"Kalau kamu tanya alasan, saya nggak punya alasan. Tiba-tiba pengen kasih ini buat kamu. Dan saya nggak bisa lama, harus segera kembali ke kantor. Mudah-mudahan kamu suka."

"Makan siang buat aku?" tanyanya tidak percaya menerima bungkusan kantong plastik dariku.

Aku mengangguk dengan senyum tipis, "Sampai nanti, Darren!"

Ada rasa membuncah yang siap meledak di dalam dadaku ketika aku melangkah meninggalkan kedai kopi itu. Kedua tanganku mengepal menahan rasa di dalam dadaku.

***

"Berapa kali ayah harus bilang, Nak. Jangan mendekatinya. Mereka terlalu berbeda. Kamu cuma direndahkan, Nak. Jangan mendekatinya!"

Aku menggigil dalam dudukku seketika begitu kembali mengingat apa yang membuatku menutup diri. Kalimat almarhum ayah yang pada akhirnya membuatku belajar untuk tahu diri.

Apa ini akan menjadi sebuah kisah yang sama? Direndahkan karena berbeda status sosial. Kata-kata kasar dari mulut cowok itu yang seperti tidak mau menanggung resiko karena sudah memacariku.

"Cewek nggak tahu diri kayak kamu? Kamu pikir aku suka beneran? Ngaca, bego!"

Mulutku terkatup rapat menahan gemerutuk juga sesak. Aku sudah lama menutup rapat-rapat ingatan itu. Kenapa sekarang kembali muncul?

"Nad?! Nad! Ditunggu Darren di Lobi!" seru Kania menyembulkan kepalanya ketika jam pulang berlalu sepuluh menit lalu sementara aku masih duduk terpekur di meja kerjaku.

"Ya," sahutku lirih kemudian beranjak dengan enggan.

"Nad, kenapa?" tanya Kania menyentuh bahuku ketika aku sampai di hadapannya.

"Nggak apa-apa. Cuma lagi mikirin aja, Darren baik kan?"

Kania tersenyum tipis, "Enggak ada yang jahat, Nad. Yang jahat itu ego. Nad, Darren cuma anak yang kesepian. Bukan salah dia kalo suka ngomong kasar. Lingkungan pergaulan cuma salah satu penyebab. Tapi peran orangtua jauh lebih besar. Tapi dia besar sendirian. Anak yang kesepian itu butuh teman untuk bicara."

Aku mengangguk. Tidak tahu harus bicara apa. Semua masih terasa berputar. Mungkin nanti akan kupikirkan.

"Darren?" kataku meragu lalu melangkah cepat meninggalkan Kania yang kurasa terkejut dengan sikapku yang tiba-tiba.

"Nada!"

Tanganku mengibas ke udara. Tanpa berhenti dari langkah. Mataku mencari-cari sosok Darren lalu tersenyum samar ketika melihat sesosok dengan kaos lengan panjang yang tergulung ke siku dan tas ransel di bahunya.

"Jangan bikin saya menyesal udah biarin kamu kenal saya," bisikku memeluk satu punggungnya.

***
Tbc
Kamis 23 Agustus 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #romance