CHAP. 18 : Sama-sama Enggak Peka!
"Kamu mau bulan madu ke mana?" Remy bertanya padaku.
Kami saat ini sedang di kamar. Begitu sampai di rumah, kami langsung mandi. Maksudnya, aku mandi duluan, setelahnya baru dia yang mandi.
Belum. Kami belum mandi bareng.
Eh?!
Bukannya aku berharap mandi bareng.
Ah, sudahlah! Pokoknya gitu, deh!
"Maldives cantik. Aku sering lihat di TV, review pulau itu di internet juga juara. Tapi, kamu masih sibuk banget, kan?" Aku menjelaskan.
Ia mengangguk, tatapannya fokus ke laptopnya.
"Apa kita ke Bali aja?" Aku memberikan pilihan.
Ia menoleh, tertarik dengan pertanyaanku.
"Kamu serius? Ke Bali aja?" Remy tampak serius melihat ke arahku.
"Iya. Lagipula, aku belum pernah ke Bali."
"Serius?!" Ia tampak terkejut dengan jawabanku.
Aku mengangguk.
"Selama hidup kamu, kamu enggak pernah ke Bali?"
Aku menggeleng.
"Kamu selama empat tahun kerja sebagai sekretaris papa, gajinya juga terbilang cukup besar, setahuku. Gaji kamu selama bekerja, kamu kemanain?" Remy mulai menyelidik.
"Ih, kepo, deh! Itu urusan aku. Aku enggak akan menjawabnya, karena saat itu, aku belum menjadi istri kamu."
"Seharusnya kamu bisa keliling Indonesia dengan gaji kamu itu selama empat tahun," ujar Remy.
Aku diam saja. Toh, aku tidak akan mengatakan uang tersebut buat menutupi hutang-hutang orangtuaku. Sangat memalukan. Itu aib keluargaku. Remy tidak perlu tahu.
***
"Nah, begitu, dong! Om senang punya keponakan yang baik hati seperti kamu," puji Om Alfian dengan senyum yang menggelikan.
Aku diam saja dan lebih memilih menyeruput jus alpukatku. Hari ini, aku kembali menemui Om Alfian. Seperti biasa, ia kembali menelponku tadi pagi, menanyakan kabar. Lebih tepatnya, menanyakan kapan lagi ia bisa menerima uang dariku.
Ia sangat pintar bermain kata. Seharusnya ia jadi seorang pengacara saja. Ia tidak perlu mengucapkan kata 'minta' untukku memberikannya sejumlah uang yang cukup banyak.
Dan, lebih pintarnya adalah, ia menolak transfer via bank. Ia lebih senang bertemu langsung dan menerima uang cash.
Aku berasa sedang menyuap seorang pejabat besar.
"Dulu, Om enggak pernah anggap Olga keponakan Om!" Aku mulai memancingnya.
"Ya, kamu tahu, kan tante kamu itu? Dia khawatir Om yang akan menanggung hutang-hutang orangtua kamu. Jumlahnya, kan enggak sedikit," jelasnya.
"Olga cuma harap ini yang terakhir. Olga enggak enak dengan suami Olga. Bagaimanapun, uang ini, kan uang dia juga!" Aku menegaskannya.
"Halah! Remy enggak bakal marah sama kamu. Lagipula, dia itu sudah terlalu kaya, kok. Uang segini, sih, enggak bakal bikin dia bangkrut!" Om Alfian tertawa.
"Olga harus pulang! Nanti Remy curiga!" jelasku seraya bangkit dari duduk.
"Pesanan ini jangan lupa dibayar!" Om Alfian bicara sebelum aku meninggalkannya.
Oh, crap!
Seandainya mencekiknya bukan suatu tindakan kriminal, sekarang juga rasanya aku ingin mencekiknya.
Setelah membayar pesanan kami tadi di kasir, aku melihat Jessica sedang tersenyum dan memperhatikanku. Sedang apa dia di sini?
"Kamu ketemu siapa?" tanya Jessica ketika ia menghampiriku dan melirik ke kursi tempat Om Alfian masih duduk. Untung saja Om Alfian membelakangi kami.
"Bukan urusan kamu!" jawabku cepat.
Aku sangat tidak ingin ia terlalu ingin tahu urusanku.
"Jadi begini ya, kelakuan istri Remy? Memang benar ya, kamu menikah sama Remy, karena emang kamu matre, kan?" Ia menunjuk-nunjuk ke arahku.
Aku pergi meninggalkannya tanpa menjawab tuduhannya. Sengaja. Karena, ada beberapa tamu di sana yang mulai memperhatikan kami. Jessica bicara tadi dengan suara yang cukup jelas dan lantang.
"Heh?!" Jessica menghampiriku dan ia menarik dengan kasar lenganku.
Akhirnya aku berhenti dan berbalik menghadapnya.
"Kenapa kalau saya matre? Lagipula, Remy kaya, dia sanggup biayain hidup saya selama menikah dengannya! Dia aja enggak protes, kenapa kamu yang protes?"
"Dengar ya! Saya bakal aduin hal ini ke papa dan mamanya Remy!" Jessica mulai mengancamku.
"Silakan saja! Memangnya kamu punya bukti untuk membuktikan ini semua?" Aku menatapnya dengan lurus dan tepat ke netranya tanpa ragu-ragu. Walau sebenarnya, jantungku berdegup sangat kencang. Cemas dan khawatir dengan yang akan Jessica lakukan.
Ia menatapku dengan wajah kesal yang teramat. Lalu, menghentakkan kakinya dan berbalik dengan cepat meninggalkanku. Reaksinya membuatku sedikit tenang.
Aku menghela napas panjang, lega.
***
"Dari mana?" tanya Remy, begitu aku keluar dari mobil.
Nih, orang, tumben banget duduk di teras sambil gendong si Biscuit!
"Jalan-jalan aja! Kamu ngapain di sini? Nungguin aku, ya?" tanyaku seraya memicingkan mata.
"Em--siapa yang nungguin kamu?! Aku di sini lagi ajak main Biscuit!" jelasnya dengan mata tidak menatapku.
"Enggak percaya! Tumben amat kamu ada waktu buat gendong-gendong Biscuit? Biasanya enggak mau, alesannya, bulunya nempel lah! Kakinya kotorlah! Takut kena poop-nya!" pancingku.
"Nih!" Ia memberikan Biscuit padaku secara paksa.
"Dia kesepian, celingukan nyariin emaknya. Makanya aku ajak dia main, emaknya malah asyik jalan-jalan sendirian!" sindirnya dengan wajah datar.
"Uh, Biscuit nyariin mami yah? Papi nakal enggak sama Biscuit? Biscuit udah makan belum?" Aku ajak bicara Biscuit seraya masuk ke dalam rumah.
"Aku belum makan!" Remy yang menjawab.
Aku menoleh dan berhenti.
"Aku nanya Biscuit, enggak nanya kamu!"
"Kamu tega, enggak mikirin aku udah makan apa belum?" Remy berdrama.
"Dih, drama banget, sih kamu! Kamu itu udah gede, bisa, kan makan sendiri atau delivery makanan, kek!"
"Itu kan tugas istri, melayani dan merawat suami!"
Oke! Kalau dia udah bahas jobdesk seorang istri, aku bungkam!
"Mbak Tini masak apa? Aku siapin, deh!" Aku menurunkan Biscuit ke lantai.
"Kita makan di luar aja," Remy bicara.
Ia mengambil kunci mobilnya di atas nakas dekat televisi dan langsung keluar menuju mobil. Aku mengikutinya.
"Kamu mau makan apa?" tanya Remy begitu kami di mobil dan menuju sebuah tempat makan.
"Aku mau ayam bakar," jawabku.
"Oke."
Entah berapa menit berlalu, kami akhirnya sampai di sebuah restoran pizza.
"Kok ke sini?" tanyaku heran.
Perasaan tadi, Remy bertanya aku ingin makan apa?
"Aku mau makan pizza," jawabnya.
"Terus, tadi kenapa nanya aku mau makan apa?"
"Aku cuma nanya aja!"
Aku hanya bisa melongo mendengar jawabannya.
Tanpa rasa bersalah, ia duduk dan memanggil pelayan, memesan menu pizza yang sedang ia inginkan.
"Kamu mau pesan apa?" tanyanya.
Aku bicara pada pelayannya dan memesan banyak menu.
"Kamu lapar banget?" tanya Remy setelah pelayan tadi pergi.
"Enggak!" jawabku cepat.
Aku enggak lapar. Tapi emosi, dan sekarang aku lapar beneran.
*Olga, pas Remy cuek bebek masuk ke Restoran Pizza.
*Remy duduk manis aja, enggak merasa ada yang salah
*Remy, yang enggak ngerasa ada yang aneh dengan pertanyaannya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro