4
Futakuchi Kenji--Dia yang sering mengantarmu pulang
"Cepatlah, jalanmu seperti siput!"
Perempatan imajiner muncul pada kening sang gadis berambut ash blonde. Dengan cepat tangannya memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. Mai yang melihat itu hanya bisa tertawa.
"Mai, aku duluan ya!"
"Hati-hati dijalan, [Name]-chan!!"
Sang manajer klub voli Date Tech hanya bisa mengulas senyum, saat dirinya menangkap pemandangan yang sudah lama tak ia lihat. Futakuchi yang berbicara sarkas dan [Name] yang membalasnya dengan pedas.
Memang tak tampak manis, tapi keduanya mulai kembali seperti dulu. Sejak Futakuchi tak sengaja memukul bola ke arah kepala sang wakil klub panahan, pemuda berambut coklat itu jadi sering mengantarnya pulang.
"Kau tanding voli jam berapa?" Tanya [Name].
"Mau apa? Aku tak perlu semangat darimu--akh!"
Futakuchi memegang perutnya yang terkena sikut [Name]. Gadis itu menatapnya tajam. Ia melangkahkan kakinya mendahului pemuda berambut coklat setelah mendengus kesal.
"Mulai minggu depan kau tidak perlu mengantarku."
"Idih, kau marah? Merajuk?" Mendengar itu sang kapten voli kembali menyamai langkah mereka.
[Name] menampar pelan pipi Futakuchi. Tak bisa menahan rasa kesal untuk menampol wajah uhuk--tampan--uhuk tapi menyebalkan milik pemuda disebelahnya. Gadis itu menjawab tanpa melihat ke arah sang kapten voli.
"Aku ada latihan intensif selama seminggu," jelas gadis berambut ash blonde.
"Ah, interhigh ya?" [Name] menjawab dengan anggukan.
Gadis itu menatap telapak tangan kanannya, mengingat sensasi menarik anak panah yang selalu membuatnya merasa lebih fokus dan tenang. Interhigh tahun ini adalah pertandingan terakhir para senpai-nya. Setidaknya ia harus mendapatkan hasil terbaik.
"Tahun ini aku ingin masuk nasional," kata [Name].
Futakuchi hanya menaikkan bahu. Tanpa dikatakan juga semua orang pasti tahu. Siapa sih, murid olahragawan yang tidak ingin mengharumkan namanya di kancah nasional?
"Kami juga tak akan kalah," ujar sang kapten voli.
Mendengar itu [Name] tersenyum. Gadis itu tiba-tiba menarik lengan Futakuchi, membawanya masuk ke dalam kedai ramen yang terletak dua meter di depan. Sang pemuda berambut coklat mengikutinya dengan ogah-ogahan.
"Mau apa sih? Aku ingin istirahat!" Ketusnya sebal.
"Aku yang traktir."
Mendengar itu, Futakuchi berdecak malas, namun tetap menduduki kursi di hadapan sang gadis [Lastname]. Toh, ia tahu ada hal yang harus dituntaskan, walau keduanya bersikap seakan tak terjadi apapun.
Tema tradisional yang ada di dalam kedai mampu membuat suasana menjadi lebih tenang. Ada beberapa tanaman bambu kecil diberbagai sudut ruangan sebagai hiasan. Perkamen berisi tulisan yang digantung di sisi dinding menambah kesan klasik. Meski ramai pengunjung, tak ada satupun yang terdengar ricuh mengganggu.
Dua mangkuk gekikara ramen dan dua ice lemon tea tersaji di atas meja. Samar-samar netra kelabu sang gadis bisa melihat kepulan uap, menunjukkan bahwa ramen itu masih panas.
"Itadakimasu."
[Name] meminum tehnya duluan setelah mengatupkan kedua tangan. Kemudian beralih pada makanan yang ada di hadapannya. Sumpit bambu digerakkan mengapit mie ramen. Kemudian menyeruputnya secara perlahan.
Keduanya makan dalam diam. [Name] bukan tipe orang yang akan makan sambil berbicara, mengingat gadis itu lebih suka menikmati makanannya sampai habis daripada fokus dengan hal lain. Sedangkan Futakuchi masih tahu sopan santun ketika berhadapan dengan makanan.
"Jadi, apa yang mau kau bicarakan?" Tanya Futakuchi setelah menyeruput habis ice lemon tea miliknya.
"Jangan pura-pura tidak tahu," [Name] mentautkan sedikit alisnya, merasa kesal dengan perkataan Futakuchi.
Gadis bernetra kelabu menghela nafas, mencoba untuk mengontrol emosinya. Tangannya bergerak cepat meraih tangan kanan sang pemuda berambut coklat yang terletak di atas meja. Membuat Futakuchi tersentak kaget.
"He-hei! Apa--"
"Aku minta maaf!"
Pekikan yang tak terlalu keras menyapa gendang telinga sang kapten voli. Membuat pemuda itu membulatkan netra coklatnya. Bibirnya kelu saat melihat [Name] menunduk--menyembunyikan wajahnya pada untaian rambut ash blonde miliknya.
Jujur saja, Futakuchi Kenji merasa bahwa perilaku itu sama sekali tidak sesuai dengan kepribadian sang wakil klub panahan.
"Aku minta maaf karena sudah berkata begitu saat kelulusan SMP. Aku benar-benar minta maaf," lirihan dari [Name] membawa kembali rasa sakit yang bergelinyir di dada.
Ingatan sang pemuda kembali pada masa itu. Ketika ia tak sengaja mendengar pembicaraan sang gadis [Lastname] dengan perempuan dari kelas sebelah.
Bersamaan dengan bunga sakura yang berguguran, dan ijazah di tangan, Futakuchi mendengarnya dengan jelas dari balik pohon. Ucapan yang mampu membuatnya merasa dikhianati.
"Oh, Futakuchi-kun? Aku tidak ada apa-apa dengannya. Dan lagi..." gadis berambut ash blonde menjeda kalimatnya, sebelum kemudian tersenyum tipis. "Kurasa kami tak sedekat itu. Kami hanya teman sekelas. Tak lebih."
Anggap saja saat itu Futakuchi terlalu emosional. Tapi sungguh, ia tak terima dengan pernyataan [Name]. Hanya teman sekelas katanya?
Teman sekelas mana yang selalu bersama? [Name] selalu menonton kegiatan klubnya, begitu juga sebaliknya. Mereka selalu ke cafeteria berdua, duduk berdampingan sambil melontarkan canda tawa.
Tiga tahun sekelas, [Fullname] selalu menjadi orang pertama yang tahu apapun tentang dirinya. Futakuchi Kenji juga selalu menjadi orang pertama yang akan gadis itu hubungi jika ia mempunyai berita yang membahagiakan.
Meski begitu, ia bilang mereka hanya teman sekelas?
Menggelikan.
Futakuchi lebih senang jika diakui sebagai teman dekat.
"Oh."
"Jangan 'oh'!" [Name] menengadah, menatap wajah datar sang pemuda berambut coklat. Rasa sesak memyeruak dalam dada gadis itu. "Aku benar-benar tak bermaksud."
"Lalu kenapa kau berkata seperti itu?"
[Name] mengalihkan pandangannya. Suaranya memelan, "Ku-kupikir kau tidak akan suka jika aku mengatakan kalau kau adalah teman terbaikku."
Mendengar itu Futakuchi berdecak kesal. Tangan kanannya yang diremas kuat oleh [Name] ditarik kasar, membuat gadis berambut ash blonde itu tersentak kaget. Mengira bahwa ia akan dimarahi habis-habisan.
"Makanya aku minta--aakh."
Kedua tangan Futakuchi menarik keras kedua pipi chubby [Name]. Tidak memperbolehkan gadis itu mengucapkan kata 'maaf' berkali-kali.
"Kau pikir kenapa aku tak risih bersamamu terus-menerus? Itu karena aku mengakuimu sebagai teman baikku, baka. Kau membuatku berpikir kalau kau hanya mempermainkanku--pura-pura menjadi temanku."
"Ma-afh," ucap [Name] dengan susah payah. Kali ini, ia akan membiarkan Futakuchi menyiksa pipinya. Anggap saja impas.
"Tidak perlu minta maaf. Aku tak butuh. Dan lagi, apa kau tahu kalau gadis yang berbicara padamu saat itu nekat mengejarku sampai stasiun hanya karena menginginkan kancing kedua seragamku? Harusnya kau bilang saja aku naksir Kazeya-senpai!"
"..."
"...apa sih? Kenapa kau melihatku seperti itu?"
Akhirnya sang pemuda berambut coklat melepaskan cubitan di pipinya. Netra coklat melirik canggung ke arah [Name] yang tiba-tiba diam menyeruput es tehnya dengan ekspresi menahan kesal. Padahal biasanya tak mau disalahkan.
Yah, mereka memang keras kepala. Tapi keduanya memiliki selera yang sama, karena itu mereka dekat.
"Aku akan membayar dulu. Kau duluan saja," kata [Name] sambil berjalan ke arah kasir.
Futakuchi termenung. Memikirkan kembali kata-kata yang diucapkannya. Walau sering berbicara tanpa filter, pemuda itu masih tahu caranya menghormati orang lain. Namun dipikir berapa kalipun, ia tak menemukan kesalahan apapun.
Tidak tahu saja dia, kalimat terakhir dari sang kapten voli mampu menghadirkan perasaan sesak dan kesal ingin menampol pada diri sang gadis bernetra kelabu.
K--Aii: kepada matematika minat, bertumbuk aja kita 😃
Helaaawww semuaaaa^^ maap aku masih ulangan akhir smt jadi yaaa gitu deh 😀 wkkwkwkw. Sampai ketemu di part selanjutnyaa~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro