Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian II

Aku tahu, malam ini mereka pasti sedang menikmati dinner sebelum melakukan kegiatan inti. Rasa ingin mengikuti dan mencuri dengar pembicaraan mereka sangat besar. Namun aku takut horny kembali jika mendengar suara berat itu. Sampai benar itu terjadi aku tak yakin bisa menuntaskannya sendiri. Aku sedikit menyesal tidak memaksa Jongin untuk ikut. Aku yakin dia akan sangat bersedia jika menyangkut hal seperti ini. Maksudku membantu menuntaskan hasrat.

Sebentar, ponselku bergetar.

Ah, panjang umur. “Menyesal tak ikut, Kim Jongin?”

“Bicara apa kau. Aku menelfon hanya ingin memberitahu jika minggu depan kau tak mengikuti kelas Sir Jumyeon katakan selamat tinggal untuk kuliahmu. Kau di drop-out.”

“Apa?” yang benar saja. “Aku baru dua kali tidak mengikuti—“

“Dan kau sudah lebih dari dua kali meninggalkan mata kuliah dosen lain. Mengecewakan.” Aku benci pembicaraan ini. “Aku akan menghubungi ayahmu.”

“Oh, jangan, kumohon!” karena jika Jongin melaporkan, sudah sangat dipastikan aku akan diisolasi ke tempat yang tak dapat dijangkau orang lain. Dammit! Aku tak mau itu terjadi. “Jonginie, please.”

“Berhenti melakukan hal bodoh dan aku tak akan melaporkanmu!"

Aku tak bisa. Melakukan, maksudku mengikuti Chanyeol sudah kulakukan sejak tiga tahun terakhir. Apa? Kauingin menyebutku gila? Sebut saja, aku tak peduli. “Kumohon…”

Kumendengar decakan dari sebrang sana. Aku pikir mungkin dia lelah menghadapi sikap keras kepalaku. “Baekhyun-a dengar, aku berbicara sebagai sahabatmu, bukan pengasuh yang ditunjuk Tuan Byun untuk menemani dirimu. Kumohon dengar baik-baik,” ada jeda di sana. Aku hanya diam mendengarkan jika tidak ingin lelaki tan itu mengamuk dan berakhir tak peduli padaku. Itu menakutkan, sungguh. “Sebenarnya apa yang kaulakukan? Apa kau tak ingin membuat ayahmu bangga dengan meraih prestasi di kampus? Apa kau tak pernah berpikir bagaimana serunya mengikuti organisasi dengan teman-teman yang lain? Kurasa bahkan kautak berpikir ke sana, benar?”

Aku mengiyakan dalam hati. Hal apa pun itu yang berhubungan dengan kampus tak sampai hati aku pikirkan.

“Kau terobsesi padanya.”

Tapi aku menyukainya.

“Jangan menjadi perusak rumah tangga orang lain, Byun Baekhyun. Kau jadi terlihat menyedihkan.”

Ingin rasanya aku menenggelamkan wajah di bantal dan menangis sepuas-puasnya. Semenyedihkan itukah aku? Perkataan Jongin sungguh telak mengenai hati. Aku sakit hati, sedikit. “Simpan sisa perkataanmu itu, bodoh.”

“Cepat kembali jika kau tidak menginginkan sesuatu yang lebih buruk lagi terjadi.”

“Akan kupikirkan.”

Kudengar satu tarikan napas kasar di sana. “Kau bajingan pendek sialan.”

Ya, setidaknya aku tak benar-benar sakit hati.

.

Berakhir di minimarket benar-benar tidak lucu. Bayangkan saja, aku yang ingin makan malam di restoran hotel harus mengubur dalam-dalam niatku karena—oh, astaga, aku kesal luar biasa pada seorang Park Chanyeol dengan segala kekayaannya sampai menyewa restoran ini hanya untuk dinner bersama wanita itu. Maaf saja, tapi aku tak sudi menyebut statusnya

“Sialan, aku lapar sekali.” Memangnya apa yang aku harapkan dari minimarket, huh? Sungguh, aku menyesal berangkat sendiri tanpa persiapan penuh.

“Ada yang bisa kubantu, Tuan?”

Aku menoleh dan mendapati—oh, astaga! “Jongin!” aku luar biasa senang. “Apa yang kaulakukan di sini, bodoh!” ingatkan aku jika dia benar-benar menolak ke Jeju, dan sekaran apa?

“Kau itu dungu atau bagaimana? Mana mungkin aku membiarkanmu pergi sendiri mengikuti Tua Bangka sialan itu.”

“Sudah kubilang berapa kali—“

“Kalau dia tidak seperti yang kaupikirkan.” Aku benci acara potong- memotong pembicaraan. “Aku bosan mendengarnya.”

Kedua mataku memutar malas. Memangnya aku tak bosan mendengarnya setiap saat berkata Chanyeol si tua bangka. Brengsek memang.

“Ah, kasihan sekali teman pendekku ini, kelaparan sendirian karena sang pujaan hati menyewa tempat makan satu malam hanya untuk dinner dengan sang istri. Menyakitkan.”

Andai dia bukan Kim Jongin, sudah kupastikan muka kusutnya hancur di tanganku. “Brengsek.”

“Kau menyedihkan.”

“Apa kau tak bisa mendukungku?”

Dia terbahak. Hei, memangnya apanya yang lucu. “Mana mungkin aku mendukung manusia yang akan merebut istri orang lain.” dasar brengsek. “Ah, kecuali jika aku sama gilanya denganmu.”

“Bedebah.” Kurasa tekanan darahku meninggi jika meladeni perkataannya. “Lebih baik kau mencari tempat makan untukku, Tuan Kim.”

“Kupikir kau tak butuh makan.”

Aku mendengus. Apa-apaan dia itu. Begini-begini aku masih manusia. Kudorong punggungnya supaya keluar dari minimarket. Tentu, aku pun ikut keluar. “Cepat, aku lapar.”

Dia terkekeh dan itu sama sekali tidak terlihat tampan. Aku mulai memasuki mobil entah milik siapa yang saat ini Jongin bawa. Mungkin dia merental atau mungkin membajak. Bisa saja, kan. Otak liciknya sangat berguna jika dia lebih sering memakainya, ketimbang memikirkan bagaimana caranya supaya aku berhenti mengikuti Park Chanyeol. Itu tidak akan terjadi, kautahu. Ngomong-ngomong aku ingin memakan sesuatu. “Kurasa ramyun enak.”

“Terserah saja.”

“Baiklah, kita meluncur.”

“Kau saja sana yang meluncur. Aku mah ingin naik mobil.”

“Sialan kau.” Lalu dia tertawa. Tolong ingatkan aku jika terselip lelucon di antara pembicaraan, karena aku sama sekali tidak merasakannya. “Kau gila.”

“Kau lebih gila karena—“

“Diam atau kubantai.” Manusia tan itu kembali terbahak. Heran, selera humornya rendah sekali.

“Ingin bertemu Park Chanyeol?”

Apa? Aku tidak salah dengar, kan? Apa tadi katanya, Park Chanyeol? Ah, bukan, ‘Ingin bertemu Park Chanyeol?’ aku tertawa, dia itu dungu atau bagaimana. Bahkan belum lama aku bertemu lelaki beristri itu—oh, ini sungguh menyebalkan jika aku harus menyebut kata istri. Terkutuklah kau, Kim Jongin!

“Mari kita makan di restoran yang sama dengannya.”

Aku tak bisa menahan tawaku untuk kedua kalinya. “Kau ini lucu sekali, Jong. Kautahu aku berakhir ke minimarket karena apa?” alisnya berkerut. Aku ragu jika dia benar-benar bodoh. Ah, atau mungkin dia memang tak tahu. Baik, aku akan menjelaskan. ”Restoran di hotelku disewa satu malam oleh Park Chanyeol dengan alasan dinner dengan seorang wanita.”

“Dia bukan sekadar wanita, dia istrinya, Baekhyun.”

Aku memutar kedua bola mata. Apa aku peduli untuk itu? Tentu tidak. “Dan kaubilang apa tadi? Ingin mengajaku bertemu Park Chanyeol? Bahkan aku ragu dia sudah selesai dinner.” Bahuku mengendik.

“Kau akan berterima kasih setelah ini, Baekhyunie.”

“Ya-ya terserah.”

Mobil Jongin—maksudku sewaan—melaju cepat ke arah berlawanan dari hotel. Selama perjalanan aku bosan setengah mati karena dia sama sekali tak mau kuajak bicara. Ketika kutanya, dia berkata, “Simpan saja ocehanmu untuk nanti. Dan aku menunggu ucapan terima kasih yang spesial darimu.” Menyebalkan.

“Kubunuh kau jika itu semua omong kosong.”

“Sama-sama.”

Brengsek.

.


Kautahu apa yang lebih buruk dari melihat Chanyeol berciuman dengn wanitanya? Biar kuberi tahu bahwa ditinggal seorang diri di dalam mobil lebih buruk dari itu. Aku memiliki sesuatu yang buruk akan itu. Kepalaku celingukan sudah seperti anak yang sedang mencari induk. Ya, aku mencari Kim Jongin. Ke mana si brengsek tan itu. “Sialan!” kubukan pintu mobil dan menutupnya dengan kasar. Lihat saja, ketemu aku kebiri manusia itu.

“Sudah menyumpah –serapahi diriku di dalam hati?”

“Argh, sialan!” aku kaget, sungguh. “Kenapa kau meninggalkanku?”

Kedua alisnya tertekuk aneh. “Aku hanya mencari udara segar sambil menunggumu bangun.”

Sudahlah, buang saja kata-kataku yang akan mengebiri lelaki ini, karena nyatanya aku tak ingin berdebat. Rasa kantuk masih mendominasi.

“Sudah siap?”

“Pastikan jika kau tak bicara omong kosong.”

Bahunya mengendik sok keren. Lihat, apa-apaan wajahnya itu. Kutebak dia ingin memasang wajah tampan, tapi terlihat begitu menjijikan di mataku.

“Cium aku maka kita akan masuk ke dalam.”

****

See u next time, luv

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro