Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. Menggenggam Janji

Hari ini Tejo ingin mengirim surat lamaran ke kantor ayahnya Zikri. Di mana kantor itu nantinya akan dipegang oleh Zikri sendiri, namun karena mereka---ia dan Zikri---sama-sama baru saja lulus, harus merangkak sedikit demi sedikit untuk mencapai puncak kejayaannya. Sama seperti Tejo.

Saat Zikri memberi tahunya kalau ada lowongan pekerjaan setelah wisuda kemarin, awalnya Tejo ingin mencari lowongan pekerjaan sendiri ke perusahaan lain. Namun, siapa sangka satu tanggung jawab besar kini sudah ia pikul? Lantas, rezeki tidak boleh ia tolak bukan?

Sekarang ada Risya, istrinya. Tidak mungkin ia menelantarkan Risya dengan kehidupan yang serba sederhana. Dirinya sudah berjanji kepada ibu gadis itu kalau ia akan membahagiakannya. Ya, meski ia tidak tahu kedepannya akan bagaimana, yang jelas ia akan berusaha untuk Risya.

Masalah ekonomi, bukanlah hal yang mudah dalam sebuah rumah tangga. Bagi Tejo, materi---apalagi kebutuhan  ekonomi---adalah salah satu hal penting dalam kehidupan sebuah pernikahan. Sungguh, ia tidak menyesal telah menikahi Risya padahal ia tidak memiliki apa-apa.

Memang, ada sedikit uang sisa kuliah yang setiap bulan bapaknya kirimkan, namun itu tidak akan cukup untuk kehidupan sehari-harinya dalam dua atau tiga bulan kedepan. Bahkan, saat ia kembali ke Jakarta pun, bapak dan Mas Faiz memberikannya uang dengan total 8 juta.

Malu? Iya. Sebagai laki-laki, dirinya belum pantas disebut sebagai seorang yang mandiri. Ia menolak uang itu, terlalu banyak dan dirinya masih memiliki tabungan---walau sedikit. Namun, bapak bersikeras kerja sama dengan Mas Faiz agar ia menerima uang itu yang kini sudah ada dalam tabungannya.

Jika terbangun malam hari, dirinya akan menatap Risya dengan diam. Mengusap kepalanya. Lantas membisikan kalimat-kalimat permintaan maaf karena gadis itu harus hidup dengannya yang belum memiliki apa-apa.

Meski dirinya tahu kalau Risya bukanlah gadis yang materialistis, atau yang mengutaman uang, tapi tetap saja dirinya ingin membahagiakan gadis itu dengan uangnya sendiri.

Huft, ia yakin, dirinya pasti bisa membahagiakan Risya. Mungkin tidak sekarang, tapi esok nanti.

Sekarang, setelah berpakaian rapi dan sarapan, lelaki itu mengecek kembali surat dan beberapa dokumen yang harus ia bawa dalam amplop cokelat besar. Risya bahkan tidak berkedip saat dirinya berpakaian rapi seperti sekarang. Ia hanya terkekeh pelan melihat wajah gadis itu.

"Kaget banget kayaknya lihat aku pakai pakaian rapi kayak gini."

Risya masih menatap Tejo dari atas sampai bawah. "Kenapa, Mas, gak bilang kalau hari ini mau ke sana?"

"Kelupaan, lho, aku. Maaf, deh."

Saat melihat semangat Tejo ingin melamar pekerjaan, membuat sudut hati Risya berdenyut. Dirinya seakan terlempar pada jurang rasa bersalah. Ia tahu, mungkin lelaki itu masih ingin hidup bebas. Masih ingin bermain sesukanya tanpa memikul beban tanggung jawab karena telah menikahinya. Ia menundukkan kepala saat rasa bersalah itu kembali menyelimuti hatinya.

Tejo memasukan amplop itu ke dalam tas yang akan ia bawa. Kemudian mendongak saat Risya tidak lagi bersuara. Ia mengerutkan alis saat melihat gadis itu nampak murung(?)

"Sya, kenapa?" tanyanya.

Kepala gadis itu mendongak dengan mata yang berembun. "Apa karena ada Risya, Mas, jadi bekerja?" lirihnya bertanya.

Tejo membulatkan matanya. "Ya enggaklah, Sya. Kamu itu ngomong apa, sih, ada-ada aja," sahutnya.

"Bukannya kalau gak ada Risya, Mas, jadi bisa hidup bebas? Melakukan apa yang mau Mas lakukan?"

"Aku gak mau membicarakan apa yang nggak penting." Lelaki itu membuang wajahnya. Menarik napasnya dalam.

"Itu penting, Mas."

"Sya!" Nadanya naik. Lelaki itu mengusap wajahnya. Ini pertama kali Risya memutar topik yang paling sensitif, yang seharusnya tidak dibicarakan saat ini juga. "Jangan sekarang kita membicarakan topik itu," ucapnya.

"Jangan nangis, Sya." Tejo mengusap mata Risya saat gadis itu menunduk dalam. Lantas memeluknya. Menepuk-nepuk punggungnya. "Nanti habis aku dari kantor, aku ajak kamu jalan-jalan, deh, tapi jangan nangis. Nanti aku gak fokus."

Apa yang sebenarnya kamu pikirkan, Sya?

...

Mereka akhirnya mengunjungi salah satu taman kota yang ramai pada sore hari. Baik Tejo atau Risya, masih sama-sama diam setelah duduk di salah satu bangku taman. Namun, ketika Tejo meraih tangan Risya dan menggenggamnya, serta menatap teduh sepasang mata milik gadis itu, keheningan seketika terpecah.

"Sya, jangan ngomong kayak pagi tadi, ya?" pintanya dengan lembut.

Risya menatap balik lelaki itu. "Bukannya itu emang kenyataannya, Mas?"

"Sya ...."

"Mas Jo ... Aku bukannya menyesal karena menikah sama, Mas, tapi aku jadi merasa serba salah. Mas Jo, pantas dapat yang lebih baik dari aku, tapi nyatanya, Mas, lebih memilih aku. Padahal Mas tahu kalau aku cuma orang asing, kan? Aku cuma merasa nggak pantas bersanding dengan Mas Jo."

Genggaman itu mengerat. Tejo sedikit meremasnya. Ia tidak tahu jika Risya akan berpikir sejauh itu. Dirinya tidak pernah mengira jika Risya---mungkin---tertekan dengan keadaan sekarang(?) Jika iya, lantas salah dirinyakah?

"Lalu, yang pantas dengan aku itu siapa, kalau bukan kamu?"

Pertanyaan itu membuat Risya tersentak kecil. Ia menunduk dalam. Tidak berani menjawab atau membalas tatapan lelaki itu yang kini menajam. Salahkah jika dirinya seperti ini kepada suaminya sendiri?

"Tuhan udah kasih garis takdir yang terbaik untuk aku, yaitu melalui pernikahan ini, Sya. Kalau memang aku merasa terbebani, dari sejak awal hubungan ini di mulai, aku nggak akan mau melangkah sampai sejauh ini."

"Sya ...."

Kedua bahu Risya dipegang. "Tatap aku." Perlahan, kepala gadis itu mendongak.

"Kalau yang kamu takutkan aku akan meninggalkan kamu, kamu salah. Kamu bisa pegang janji aku, Sya. Aku nggak akan meninggalkan kamu. Kamu percaya, kan, sama aku?"

"Laki-laki itu yang dipercaya dan digenggam janjinya. Jika janjinya aja nggak bisa digenggam, gimana sama perasaannya? Atau ... tanggungjawabnya?" Tejo menarik satu alisnya tinggi.

Mata Risya berembun. Awan abu-abu itu datang. Iris mata bulat itu siap meluncurkan setitik air ke pipi. Ini ... Menyesakkan dada.

Ketika ia takut kehilangan seseorang yang sudah berhasil masuk ke hidupnya, ia merasa amat sangat tidak pantas bersanding dengannya. Siapa dirinya ini? Dirinya hanya anak yatim piatu yang masih beruntung karena ada seorang laki-laki yang mau menerimanya dengan suka rela.

Akhirnya satu titik turun membasahi kedua pipinya. Diusapnya pipi itu dengan lembut. "Kamu takut aku ninggalin kamu karena aku akan punya perempuan lain?" tanya lelaki itu.

Diamnya perempuan itu berarti iya.

Tejo tersenyum kecil. Menepuk kepala Risya dua kali. "Iya, hm?"

"A-aku cuma takut, Mas, akan ninggalin aku karena merasa terbebani. Akhirnya, aku yang ditelantarkan, padahal aku gak mau kehilangan Mas Jo."

Kekehan itu terdengar. Dicubitnya pipi Risya dengan gemas. "Utututututu ... Cemburu?" godanya.

Risya mendelik sebal. Menghentakkan kakinya dengan kesal. Air matanya sudah kering tertiup angin lalu. Ia mencebikkan bibirnya ke bawah.

"Siapa yang cemburu?!"

"Tuh, kan, sewot, pasti cemburu. Ciyeee ...."

"Mas Jo!!!"

Bukannya mereda, tawanya malah semakin meledak. Bersama dengan warna jingga yang mulai menyorot dari ufuk barat, satu harapan kian semakin ia genggam erat. Berharap harapan-harapan yang ia genggam ini, tidak akan menyakitinya.

Aku akan percaya sama Mas Jo apa pun keadaannya.

...

Sukanya konflik orang ketiga atau konflik tentang pergulatan batin dan asumsi diri sendiri si tokoh itu?

Tanya doang, konflik yg aku buat gak akan goyah karena komenan kalian wwkwkwkk

Yuk, nabung buat PO novel AKRESHA. Sebentar lagi llhoooooooo

Makasih yg udah vote dan komen^^

Indramayu, 19 juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro