Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Perasaan Ganjil

Kamu rotan yang dijadikan bangku. Ingin membuatku terduduk diam merasakan kenyamanan. Bagai bara yang ada di dalam tungku, tidak pernah mati, seperti cintaku, kepadamu.
Cokelat Biru - Giorgino

Di antara banyaknya hal kebahagiaan yang pernah ia rasakan sebelumnya, ada beberapa hal yang sangat ia syukuri. Yaitu; mengikhlaskan. Baginya, mengikhlaskan adalah salah satu jalan untuk bahagia. Melepas apa yang tidak seharusnya digenggam dengan rasa sakit yang mendalam, atau memaksakan suatu hal untuk bertahan yang memang seharusnya pergi sejak awal.

Risya mungkin bukan gadis yang beruntung dalam urusan kebahagiaan duniawi, namun ia beruntung dalam urusan bersyukur. Dirinya jatuh berkali-kali, bangunpun berkali-kali. Menitikan air mata, terisak, tersedu pilu sendirian.

Bukankah itu cukup memprihatinkan untuk orang-orang yang mendengar cerita hidupnya?

Ia sudah kehilangan ayah. Cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, namun Tuhan sudah menggambil ayahnya sejak ia masih Sekolah Dasar. Lalu, sekarang, ibunya juga sudah meninggalkannya. Sakit, memang, namun Tuhan tidak mungkin memberikan sebuah luka tanpa ada obatnya.

Setelah ibunya sering sakit-sakitan, setelah lulus SMA, Risya memang belum berniat untuk lanjut ke pendidikan lebih tinggi. Ingin mengurus ibunya. Lagipula, uangnya tidak akan cukup untuk meneruskan pendidikannya.

Saat mengetahui jika ibunya memilih untuk menikahkan ia pada laki-laki yang sebelumnya tidak ia kenal sama sekali, dirinya tidak percaya. Bagaimana bisa ibunya mempercayai orang dengan mudah? Apalagi sampai menitipkan anak gadisnya pada orang lain.

Namun, karena itu permintaan terakhir dari ibunya, pantaskah ia menolak? Jawabannya tidak. Oleh karenanya, ia menerima. Menerima semuanya. Di mulai dari mengikhlaskan ibunya, sampai menerima pernikahan itu.

Setelah tadi malam, Risya jadi malu saat bertatap wajah dengan lelaki itu. Ya ampun, jika bisa ia ingin teriak dengan keras. Wajah jenaka itu selalu terngiang-ngiang dalam pikirannya.

Pagi ini, setelah sarapan pagi, mereka berdua masih berada di dalam kos. Tejo merebahkan dirinya di atas tikar dengan alas kepala berupa bantal. Di sampingnya Risya menyandarkan tubuhnya di tembok. Mereka mengobrol beberapa kali, kemudian hening, lalu mengobrol kembali.

"Ca?"

Risya diam saja. Tidak peka.

"Ica?"

Oke, akhirnya Risya menunduk untuk menatap wajah itu. "Ica siapa?" tanyanya tidak suka.

Lelaki itu mendongak. Ia kemudian meraih tangan Risya. Menggenggamnya. "Kamu, Ica. Panggilan dari aku."

Terdengar manis, tapi menggelikan!

Bibir Tejo berkedut menahan senyum saat melihat pipi gadis itu memerah. Karena sudah kepalang tanggung, ia mengecup punggung tangannya saja. Sambil nyelam, nyari harta karun! Hahaha. Jangan dilewatkan. Ya, tidak?

"A-apaan, sih!" Risya tergagap. Berusaha menarik tangannya dari genggaman tangan kekar itu.

Yang menggenggam tangannya hanya asyik memandangi Risya. Melebarkan senyum di wajahnya hingga matanya sedikit menyipit. Melihat gadis itu salah tingkah, ia menjadi gemas.

"Bolehkan, aku panggil Ica?" Masih gencar menggoda rupanya.

"Y-ya, terserah!"

Karena kaki Risya ada di samping kepalanya, Tejo memeluk kakinya. "Sya, boleh ngomong sesuatu gak?"

Astaghfirullah, sabar, Sya, sabar. Jangan jantungan.

"Daritadi juga udah ngomong, kan?"

"Kali ini serius."

"Apa?"

"Elusin rambutku dong."

Bukannya mengelus, Risya malah menjambaknya dengan gemas.

...

Ketika malam hari, Risya masih meringkuk di atas kasur. Memegangi perutnya yang sakit dan keram. Ah ... Jadi satu pokoknya. Perutnya sakit semenjak siang tadi, dan sampai sekarang belum mereda.

Setelah menyusun pakaian yang sudah dilipat, Tejo menghampiri Risya yang memejamkan matanya. Gadis itu masih meringis. Sungguh, ia tidak tega melihatnya. Jadi ... Seperti ini ya melihat perempuan jika sedang kesakitan karena tamu bulanan?

Jika bisa, Risya jangan kedatangan tamu, tapi nanti tidak bisa hamil dong? Ah, Tejo menggaruk pelipisnya bingung. Ia mengelus lengan Risya. "Sya ...."

Risya hanya berdehem pelan sebagai jawaban. Tejo beringsut lebih dekat, menundukan tubuhnya. "Masih sakit banget? Aku beliin obat, mau? Atau apa gitu?" bisiknya.

Ini pertama kali ia menghadapi perempuan kesakitan karena tamu bulanan. Hei, ya iyalah pertama kali, kan dirinya jomblo free sedari dulu. Oke, abaikan.

Dirinya mana paham masalah perempuan yang satu ini. Tahunya cuma mood perempuan memang aneh jika sedang masa ini. Lantas, sekarang dirinya harus apa?

"Mas, boleh minta tolong?" Akhirnya Risya membuka matanya. Melirih meminta bantuan.

"Boleh, apa?"

"Masukin air hangat ke botol kaca. Itu aja."

"Ha?"

Risya meringis, lagi. Tejo langsung meneguk ludah. "Ah ... I-iya, sebentar aku ke ibu kos dulu." Meninggalkan satu kecupan di pipi, ia beranjak keluar kamar.

Saat itu juga Risya melupakan rasa nyeri yang menghantam perutnya. Kecupan itu, ampuh.

Tejo mengetuk pintu rumah Pak Rus. Tidak lama kemudian pintu itu terbuka menampilkan ibu kos di sana. "Lho, kenapa, Jo? Tumben," ucap ibu kos.

"Bu, ada botol kaca, gak? Sama air panas, Bu."

"Kamu kenapa, sih?" Ibu kos keheranan. Pasalnya Tejo tidak sesantai—bahkan tidak nyeleneh—seperti biasanya.

"Itu, buat Risya, Bu."

Lantas ibu kos menyuruhnya masuk tanpa banyak tanya lagi. Menyuruh anak kosnya itu menunggu di ruang tamu, sementara dirinya ke dapur.

Tejo mengetuk sendal di lantai dengab tidak sabar menunggu ibu kos. "Bu, dipercepat bisa gak?" gumamnya pada angin lalu.

Harapannya terkabul, ibu kos datang dengan satu botol kaca yang sudah diisi air hangat. Memberikannya pada Tejo. "Nih. Kalau besok sakitnya belum reda, ke sini lagi. Nanti ibu bikinin air jahe."

Tejo menerima botol itu. "Makasih, Bu, maaf ngerepotin."

"Enggak kok. Ya udah, sana."

Tejo keluar dari rumah ibu kos. Kembali ke kamar kosnya. Saat membuka pintu, Risya masih meringkuk. Ia menghampiri gadis itu setelah menutup pintu.

"Sya, ini udah, mau diapain?"

"Itu buat kompres."

Tejo duduk bersila di hadapan perut Risya. "Di perutnya?" tanyanya memandangi perut Risya.

"Pinggang. Pinggang aku sakit banget, Mas."

Tejo terdiam beberapa saat. Jadi, dirinya yang mengompreskan ke pinggang gadis itu? Memegang selain tangan dan kecup pipi saja belum pernah, ini masa langsung ke pinggang? Ah, iya, kecuali tadi malam ia memeluk gadis itu. Harus banget apa? Tapi, demi Risya, kan?

"Aku yang kompresin?"

Retoris sekali. Mana bisa Risya mengompresnya sendiri, Johan!

"Risya minta tolong, Mas, kalau aku bisa sendiri, aku gak akan minta tolong."

Kan sudah dibilang, moodnya naik turun.

Mungkin Risya sedikit tersinggung karena ucapan Tejo barusan. Seolah-olah kalau lelaki itu tidak mau mengompreskan pinggangnya. Ia mengambil botol itu. "Sini," katanya.

Tejo menjauhkan botolnya. "Enggak!" tolaknya dengan keras.

"Kan, tadi Mas gak mau bantuin? Biar Risya aja, gak papa," lirih gadis itu. Mendadak tenggorokannya tercekat. Ia jadi ingin menangis. Hormon datang bulan memang dominan mempengaruhi daya kebaperannya.

"Enggak gitu, Ica," kata Tejo dengan lembut.

Risya mengusap matanya yang berair. Terisak kecil. Hal itu membuat Tejo terkejut. "Sya ... Kok nangis?" Lelaki itu merenung. Dirinya salah bicarakah?

"Sya, aku gak bermaksud lho, serius. Maaf, ya, sini aku kompresin. Tapi, kamu jangan nangis." Lelaki itu berusaha membujuk Risya.

Risya mengusap air matanya. Menatap Tejo yang menatapnya dalam dan penuh kekhawatiran. Apa? Khawatir?

"Coba, kamu geseran tidurannya."

Risya bergeser. Tubuhnya menempel ke tembok, dan dengan gampangnya, Tejo mengisi ruang kosong di tempat tidur yang kecil itu. Ia tidak menyangka jika lelaki itu kini malah memeluknya.

"Sini, tiduran di dada aku biar aku gampang kompres pinggangnya." Lelaki itu mengelus punggung Risya sebelum akhirnya turun ke pinggang. "Di sini kan?" tanyanya memastikan.

Risya mengangguk pelan. Perlahan ia berusaha nyaman dengan posisi ini. Setengah tubuhnya menindih tubuh lelaki itu, posisi intim untuk yang pertama kalinya. Ia bisa mendengar detak jantung lelaki itu yang berdetum cepat, sama seperti detak jantungnya. Ia menyandarkan pipinya di dada itu.

Satu yang Risya lupakan, Tejo hanyalah laki-laki biasa yang ... Argh! Asdfghjkl! Hanya laki-laki yang akan mengerti.

Dengan telaten, Tejo mengompres pinggang Risya sambil menahan degup jantungnya yang menggila. Ia menggulirkan botol itu di area pinggangnya. Tangan satunya yang bebas pengelus kepala Risya. Hanya ada hening yang menemani mereka berdua. Sampai akhirnya, Risya mengucapkan sederet kalimat sebelum akhirnya menyelam ke alam mimpi.

"Mas?"

"Ya?"

"Jangan tinggalin Risya. Risya sayang Mas Jo. Jangan pernah tinggalin Risya apa pun keadaannya."

Dan lelaki itu terdiam beberapa saat. Kemudian mengecup kepala gadis itu dengan sayang. "Nggak akan, Sya," jawabnya.

Aku nggak akan meninggalkan kamu, Sya, nggak akan pernah.

...

Demi apa nung baper ngetik part ini😭

Votenya jangan lupa dan komennya juga ya, yg banyakkkkkkk

Sepi banget, kayak hutan pinus tau gak!

JANGAN LUPA JUGA NABUNG BUAT BELI NOVEL AKRESHA!!

FOLLOW IG @ENUNGG20 DAN @REGUPUBLISHER. DOAKAN AJA SEMOGA I FOUND THE LOVE KELAK NANTI NYUSUL NAIK CETAK. AAMIIN

INDRAMAYU, 17 JULY 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro