Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Rasa

Mereka mengitari supermarket di siang hari ini. Sejak pagi, mereka hanya bersantai di dalam kontrakan saja. Berdua. Menghitung berapa banyak cicak yang numpang lewat di dinding kontrakan. Atau, memperhatikan anak kecil yang berkeliaran di depan kontrakannya.

Tadinya memang ingin berangkat ke supermarket pagi-pagi, namun Tejo menolak dengan keras. Beralasan malas gerak. Padahal, sih, kalau pagi enaknya memang berduaan dengan Risya di kontrakan. Hih! Dasar laki-laki.

Sekarang, Risya tengah memilih jenis perlengkapan untuk dapur. Di belakangnya, Tejo menumpu lengan di atas dorongan troli. Memperhatikan Risya yang sesekali menunjukkan bentuk piring, sendok, mangkuk, gelas dan baskom, yang berbeda-beda warna. Mereka baru setengah jam ada di supermarket, tapi Tejo sudah merasa sedikit bosan. Catat, sedikit.

"Beli yang ada gambar bunganya, Sya, lucu, tuh," ucap Tejo.

Risya memperhatikan dua jenis piring yang ada di kedua tangannya. Yang kiri ada gambar bunganya, dan yang kanan tidak ada, polos. Ia membandingkan kedua piring itu. Meneliti lebih dalam lagi.

"Kalau yang ada gambar bunganya, nanti gampang rusak, ngelupas. Kualitasnya yang ini kurang bagus, deh. Mending, beli yang polos aja ya, Mas?" Kepala gadis itu menoleh.

"Oh, gitu? Ya udah, hehehe ...."

Lalu beralih pada yang lain. Kali ini pada rantang makanan. Tejo bahkan ikut memilih. "Sya, nanti tiap hari aku bawa makan dari rumah, ya, buat makan siangnya? Kamu yang masak!" ujarnya dengan semangat. Tangannya memegang rantang plastik yang memanjakan matanya.

Risya terdiam beberapa saat. Agak keheranan karena suaminya itu begitu semangat, padahal hanya perihal rantang makanan saja. "Aku yang masak?" tanyanya memastikan.

Mengalihkan tatapan dari rantang, lelaki itu menekuk alis. "Jangan bilang kamu gak bisa masak?" todongnya. "Ya, kalau gak bisa masak juga nggak papa, sih. Masak bareng lebih romantis, ya gak?" lanjutnya.

Risya memilih untuk mencubit lengannya. Kurang ajar! Untung suami. Untung lelaki itu satu-satunya orang yang masih mau bertahan dengan dirinya. Kalau tidak, sudah ia tinggalkan!

Tejo mengaduh sambil terkekeh. "Pasti baper." Ia masih gencar menggoda Risya rupanya.

"Aku bisa masak, tapi nggak tahu mas bakal suka atau nggaknya."

Mereka beralih pada alat memasak. Risya memperhatikan beberapa wajan, panci dan sebagainya. Melihat harganya juga. Memilih harga yang standar agar tidak menguras dompet karena kebutuhan mereka masih banyak lagi.

"Sya."

Risya menoleh. Saat menatap Tejo, ia was-was ketika lelaki itu memegang panci yang posisinya di tukar--pantat panci berada di atas. Lelaki itu malah tersenyum lebar.

"Kalau saya bilang maju, maju ya. Kalau saya bilang mundur-mudur. Maju, mundur. Maju, mundur. Mundur, mundur. Maju, mundur, muterrrr! Ahay!"

Memukul pantat lanci seolah-olah itu adalah kendang untuk dangdutan.

Ya ampun, Risya ingin pingsan melihat kelakuan absurd lelaki itu.

...

Ketika malam hari, semua barang sudah tersusun rapi di tempatnya. Tempat tidur baru, membuat Tejo kurang nyaman. Masalahnya, ia biasa tidur di kasur lantai. Nah, sekarang, berbeda.

Bunyi telepon masuk ke ponsel Tejo. Nama Ibu terpampang di sana. Dengan cepat, ia menggeser tombol hijau. Telepon itu tersambung sesaat kemudian.

"Halo, assalamu'alaikum, Bu."

"Wa'alaikumsallam, Mas. Adek mana?"

Lha? Tidak salah? Yang anaknya Tejo, kenapa yang dicari Risya?

"Bu, sapa dulu anaknya, gimana kabarnya, ini kok langsung nyerobot nanyain Risya," sahut Tejo.

"Adek, kan, anak ibu! Kalau kamu mah, ibu udah bosen!"

Risya yang duduk di samping Tejo itu diam menyimak karena lelaki itu mengeraskan volume suaranya. Jadi, ia bisa mendengar dengan jelas suara ibu di seberang sana.

"Assalamu'alaikum, Ibu."

"Wa'alaikumsallam, Adek. Gimana? Sehat? Kabarnya baik, kan? Masmu gak nakal, kan? Kamu diurus dengan baik sama dia, kan?" Ibu mencecar Risya dengan pertanyaan yang beruntun.

Tejo menyahuti, "Gas terosss!" serunya. Langsung mendapat cubitan di lengannya dari Risya.

"Gak boleh gitu," ucap Risya tanpa suara.

"Aku baik, Bu, sehat alhamdulillah, jangan khawatir. Mas Jo, jagain aku kok di sini. Ibu apa kabar?"

"Syukur, deh. Alhamdulillah, ibu juga sehat di sini. Udah makan, Dek?"

"Udah, Bu."

"Bu! Aku gak ditanyain?!" rajuk Tejo. Masa posisinya tergusur dari hati Ibunya?

"Kan, tadi adek udah jawab kalau dia baik-baik aja. Kalau adek baik-baik aja, itu tandanya kamu juga baik-bail aja, Mas! Kalau kamu gak baik-baik aja, gimana sama adek, hah?!" beber Ibu. Di seberang sana suara bapak terdengar. "Kecilin, ibu, suaranya."

"Pilih kasih, masa Risya aja yang ditanyain?"

Ya ampun, seperti anak SD saja!

Risya geleng-geleng kepala. Lalu suara ibu kembali terdengar. "Mas, tadi kamu manggil adek apa? Risya? Cuma nama?" tanya Ibu.

Kepala Tejo mengangguk meski ibu tidak bisa melihat. "Iya, Risya, terus siapa? Masa iya aku sebut nama perempuan lain, udah dicincang aku sama ibu!" lontarnya.

"Mas! Kan, waktu itu ibu udah bilang, panggil Risya itu adek. A-dek! Kamu tuh kayak sama temen manggilnya cuma nama! Pokoknya, ibu gak mau tahu, kamu harus manggil Risya dengan sebutan adek! Kalau masih melanggar, adek ibu suruh balik ke Tegal!" tuntut Ibu. Lalu panggilan telepon itu diputus sepihak.

Tejo menatap layar ponselnya dengan mata yang membulat. "Yah, yah ... Bu! Kenapa dimatiin sih, Ibu!" gerutunya sambil menghempaskan ponsel di atas tempat tidur. "Ngomong juga belum selesai, udah dimatiin. Gak ngucap salam lagi!" lanjutnya.

"Wa'alaikumsallam. Gitu, kan?" kata Risya.

Tejo kini menatap Risya. Masih memasang wajah kesal. "Ibu pilih kasih!" desisnya.

Risya menaruh ponsel lelaki itu dengan benar di samping tempat tidur. Ia duduk bersila menghadap Tejo. "Mas, gak suka kalau ibu lebih perhatian sama aku daripada sama Mas Jo?" tanyanya.

"Kok, tanya gitu?"

"Bukannya, seharusnya mas Jo senang karena ibu sayang sama aku?"

"Sya? Kok ..."

Risya menggenggam sebelah tangannya. "Apa salah, kalau ibu menganggap aku lebih dari seorang menantunya?" lirihnya.

"Nggak gitu, Sya."

Kini mereka duduk berhadapan. Risya hanya memikirkan perkataan lelaki itu saja. Jika ibu lebih menyayanginya daripada Tejo, apakah lelaki itu akan marah? Atau ... Merasa tersisihkan?

"Ibu, kan, sayang Mas Jo. Tapi, sekarang ada aku, wajar kan kalau ibu juga sayang aku? Terus, kenapa Mas Jo merasa ibu pilih kasih?"

Tejo menangkup wajah Risya dengan kedua tangannya yang kekar itu. Ia tatap mata bulat kecil milik gadis itu dengan dalam. Menyelami sebuah perasaan yang ia rasakan kini perlahan ada merayap dalam dadanya. Tatapan itu ... Tatapan yang teduh. Sanggupkah dirinya tidak tenggelam dalam tatapan itu?

"Nggak gitu, maksudku. Aku senang, dong, kalau kamu disayang sama ibu. Bukan cuma itu, semua keluargaku juga aku harap sayang sama kamu, Sya. Tadi, aku cuma becanda, kok. Kamu jangan terlalu kebawa serius!" jelasnya.

"Mas, nggak sadar kalau candaan sekecil apapun itu bisa menyakiti perasaan seseorang secara nggak langsung?"

Tatapannya meredup. Tejo menurunkan tangannya. "Aku ... Salah ya, Sya?" tanyanya lirih.

Risya menggeleng. "Enggak, kok, cuma ... Gini, Mas, aku udah nggak punya siapa-siapa lagi selain Mas Jo dan keluarga mas di kampung. Aku bersyukur disayang kalian semua. Tapi, kalau ada yang nggak suka aku diberi kasih sayang kayak gini, apa aku jadi penghalang?"

Risya menatap wajah lelaki itu. Ia tidak menangis, sungguh. Malah, sekarang mata lelaki itu yang berembun. Menangis kah? Ia menangkup wajah lelaki itu. Jari lentiknya mengusap rahang kokoh itu dengan lembut. Ini ... Kali pertama ia berani mengusap wajahnya. Menelusuri seluruh wajah dengan jarinya sendiri.

"Sya ...."

"Risya, sayang sama Mas Jo. Risya berharap banyak atas pernikahan kita, Mas."

Meskipun pernikahan tanpa tujuan yang jelas, lanjutnya dalam hati.

Dengan segera, lelaki itu memeluknya. Menyembunyikan wajahnya dalam ceruk leher Risya. Mendekap hangat perasaan yang kini menjalar dalam dada.

Namun, satu yang tertinggal.

Ucapan rasa sayang itu tidak menemukan jawaban.

Risya ... kini menakuti satu hal.

Lelaki itu ... tidak akan menyayanginya.

...
Udah di part 15, nih! Gimana perasaannya?

Makin aneh gak sih woiiii

Ya ampun, nung cuma mood nulis di lapak ini doang :"(

Follow ig enungg20, yup

Makasih untuk yg baca-vote-komen! Ditunggu hihihi

Indramayu, 03 agustus 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro