7. Membayar Janji
Jika pada akhirnya aku menjatuhkan hati pada seseorang, kuharap agar itu bukan hanya jadi perasaan sepihak. Namun, jika itu tetap saja berakhir sepihak, kuharap itu hanya akan menyakitiku saja. Tidak untuk membebanimu.
"Jangan senyum-senyum mulu, ih," pekik Yujin begitu saja, membuat Zeno spontan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.
"Kenapa?" lirih Zeno penasaran, membuat Yujin agak gelagapan mencari-cari alasan.
"Yah, senyum lo nyebelin aja kelihatannya."
"Emang senyum gue sejelek itu yah? Pas gue ngaca, manis kok senyum gue," celetuk Zeno jujur.
"Enggak. Itu menurut lo. Senyum lo tuh enggak enak banget buat dilihat. Makanya enggak usah senyum-senyum lagi, apalagi di depan gue."
"Enggak mau, ah. Senyum itu juga 'kan ibadah," balas Zeno cepat, membuat Yujin memutar bola matanya, malas.
"Serah lo deh." Ia melangkah pergi begitu saja, membuat Zeno cepat-cepat mengekor menyejajarkan langkahnya kembali.
Melihat tiga tas besar yang tampak kesusahan dibawa Yujin, membuat Zeno mengernyit dalam, menatapnya. "Tas siapa tuh lo bawain?"
"Bukan urusan lo," sahut Yujin tanpa menoleh. Namun kelewat cepat, tangan Zeno tiba-tiba merampas tiga tas itu dari genggamannya tanpa aba-aba, membuat ia hanya refleks menoleh.
"Biarin gue bantuin lo yah! Kita 'kan sekarang udah jadi temen." Zeno tersenyum lagi, membuat matanya lagi-lagi ikut membentuk senyum. Sungguh perpaduan yang menggemaskan.
Yujin menggeleng kuat, mengenyahkan cepat pemikirannya itu. "Ya udah. Bagus deh kalau lo mau bantuin gue, itung-itung biar lo ada gunanya juga."
"YUJIN! GUE DI SINI!" jerit suara lelaki dari belakang, membuat Yujin seketika berbalik ke arah sumber suara. "GUE MAU NAGIH JANJI LO NIH!"
Melihat tangan Richan yang kini melambai memanggil-manggilnya, begitu cepat mata Yujin beralih melirik Zeno harap-harap cemas. "Gue harus cabut duluan nih. Boleh enggak gue minta tolong bawain tas-tas ini ke lapangan basket? Tolong yah!" pintanya menyatukan kedua telapak tangannya, memohon.
"Ke lapangan basket? Emang tas-tas ini punya siapa sih?"
"Itu punya Kak Winmin sama temen-temennya."
"Terus kenapa lo yang harus bawain? Kok lo mau aja sih disuruh-suruh ama mereka?" geram Zeno, suaranya mendadak meninggi.
"Yah, lo enggak bakal ngerti sih."
"Ya udah, buat gue ngerti," sahut Zeno cepat. "Gue sekarang temen lo. Gue enggak bakal ngebiarin lo gitu aja nanggung beban lo sendiri," lanjutnya lagi dengan sorot sungguh-sungguh, sementara Yujin hanya melongo begitu saja seraya mengerjap-ngerjap pelan.
Kenapa sih nih orang?
"Oke, kalau lo emang beneran mau ngurangin beban gue, tolong kabulin aja permintaan gue tadi yah!"
"Yah, bukan gitu juga caranya. Emang lo mau terus-terusan dijadiin budak sama mereka?"
Yujin berdecak kesal, mulai malas meladeni Zeno. "Ribet banget sih lo jadi orang. Gue lagi buru-buru nih sekarang. Intinya, kalau lo emang beneran temen gue, lakuin permintaan gue tadi aja yah! Makasih!" pamitnya, menepuk pundak Zeno dua kali, sebelum akhirnya ia benar-benar melangkah pergi menghampiri Richan.
Zeno mendengus tak percaya menatap kepergian Yujin dan tas di tangannya itu bergantian. Sungguh, ia ingin membantu, tapi bukan bantuan seperti ini yang ditawarkannya. Jika seperti ini, sama saja ia yang menggantikan posisi Yujin buat jadi babu lelaki sialan itu. Ia yang menatap tiga tas di tangannya tak terima, tiba-tiba melangkah pergi membawa tas-tas itu setengah hati.
Tiga tas itu dilemparnya kasar begitu saja. Matanya beralih menatap slogan pada tong besar tepat di mana tas-tas itu berakhir. Buanglah sampah pada tempatnya.
Ia menyeringai miring. Ia rasa apa yang dilakukannya memang sudah tepat. Sampah-sampah itu memang seharusnya ada di sana. Rasain tuh! Siapa suruh berani macem-macem ama temen gue.
***
Yujin kini hanya diam menatap lalu-lalang jalanan, membiarkan Richan membawanya dengan kecepatan sedang entah ke mana. Dalam diamnya, otak Yujin terus bekerja mencari topik obrolan yang pas dengan lelaki itu, namun hasilnya tetap saja nihil. Ia belum mengenal betul laki-laki itu, entah apa yang akan bisa mereka bicarakan nantinya.
Richan tiba-tiba menoleh sekilas. "Ngerasa canggung yah?" tanyanya, membuat mata Yujin membulat begitu saja, takjub pada Richan yang seakan mampu membaca pikirannya saat ini.
"Hmmm, dikit," lirih Yujin jujur.
"Gue juga nih. Maaf yah, gue biasanya enggak segugup ini kok kalau sama orang lain, enggak tahu juga kenapa sama lo gue tiba-tiba jadi segrogi ini." Richan pun tak kalah jujur, membuat Yujin mendadak agak risi.
Apaan sih nih orang!
"Ngomong-ngomong kita mau ke mana nih?" tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.
"Lo maunya kita ke mana?"
"Terserah lo aja deh!" jawaban andalan perempuan dan Yujin memilih untuk menggunakan jawaban aman itu.
"Kalau gitu kita ke restoran mahal aja yah, mumpung lo yang traktir, 'kan?" sahut Richan enteng, membuat sorot Yujin menajam seketika.
Nih orang gak tahu malu juga ternyata.
"Eh, gue punya rekomendasi dekat-dekat sini. Biarpun harganya sesuai kantong anak sekolahan, tapi kualitas tetap oke kok. Gimana?"
"Ya udah itu aja. Tunjukin gue jalannya yah."
"Siap," sahut Yujin cepat sembari bernapas lega. Untung aja dia mau, selamat duit gue.
Tak banyak basa-basi, Richan hanya mengarahkan laju motornya sesuai petunjuk dari Yujin. Hingga akhirnya sampai di tempat tujuan, ia pun menepikan roda duanya dengan hati-hati.
Keduanya yang baru memasuki bingkai pintu kafe, seketika disambut aroma kopi menenangkan di sepenjuru ruangan. Tanpa sadar, Richan menghirup napas dalam-dalam seraya memejamkan mata menikmati aroma itu. Sementara seulas senyum Yujin mengembang begitu saja, mengingat kembali bagaimana beruntungnya ia saat kali pertama diajak Winmin ke sini.
"Keren juga yah rekomendasi dari lo. Kayaknya mulai sekarang gue bakal sering-sering ke sini deh. Tapi harus ditemenin lo yah!"
Yujin menoleh cepat. "Kenapa harus gue?"
"Yah, 'kan biar lo yang traktir." Richan terkekeh jail, namun hanya dibalas tatapan datar oleh Yujin.
Nih orang dari tadi minta ditraktir mulu deh perasaan. Nyesel gue kenal nih orang.
Richan yang menyadari raut kusut yang tertahan di wajah Yujin, cepat-cepat meluruskan. "Bercanda kok, bercanda. Tegang amat sih jadi orang," ledeknya menyeringai. Sementara Yujin hanya diam, malas menanggapi.
Seorang waiter tiba-tiba muncul di antara keduanya, menyodorkan daftar menu seraya mengenggam alat tulis, siap mencatat. "Mau pesen apa?"
"Ini beneran lo yang traktir, 'kan?" Richan memastikan lagi sebelum memesan. Sementara Yujin hanya mengangguk pasrah. Orang ini terus saja mengungkit masalah traktiran. Pokoknya setelah ini, ia takkan lagi mau berurusan dengan lelaki ini.
"Oke deh. Di sini minuman yang paling mahal apa yah, Mbak?" tanya Richan enteng, membuat Yujin membelalak spontan.
"Ada ice caramel latte, harganya tiga puluh ribu."
"Ya udah. Aku pesen yang paling murah aja. Kalau makanan yang paling mahal di sini apa, Mbak?"
"Ada chicken bricheese, harganya tiga puluh ribu juga."
"Oke, Mbak. Aku pesen minuman aja."
Yujin dibuat melongo begitu saja melihat tingkah tak tertebak lelaki di hadapannya ini. Ya ampun, nih orang bikin malu-maluin juga ternyata.
"Kalau Mbak pesan apa?" Kali ini pandangan pelayan itu beralih menatap Yujin.
"Samain aja sama dia."
Begitu pelayan itu berlalu meninggalkan mereka, Richan mengulum senyum seraya menatap Yujin lurus-lurus. "Tenang aja, pesanan gue enggak aneh-aneh 'kan? Biarpun gue enggak biasa ama yang murah-murah. Tapi gue ngerti kok ama kapasitas kantong lo."
Dih, udah doyan gratisan, songong pula. Yujin mendongkol dengan sorot sinis, sementara yang ditatap malah menatap lekat balik.
"Kenapa sih lo banyak diem dari tadi. Sariawan lo?"
"Enak aja. Lo aja tuh yang ngoceh mulu dari tadi," protes Yujin cepat.
"Yah, mulut 'kan diciptain emang buat ngoceh. Bener 'kan, Yujin?"
Seketika kening Yujin mengernyit dalam. "Loh? Lo inget nama gue?"
"Ya iyalah, jangan bilang kalau lo yang malah enggak inget sama nama gue!" Raut Richan mendadak berubah jadi serius.
"Harus banget yah gue inget nama lo? Emang lo siapa?" Yujin mendengus tertawa dengan nada remeh, membuat Richan mendadak kehabisan kata-kata sejenak.
"Lo beneran enggak kenal siapa gue? Gue Richan. R-I-C-H-A-N. Gue ketua OSIS lo! Bisa-bisanya lo gak tahu siapa gue!" geram Richan merasa terhina. "Selain ketua OSIS, gue juga selalu dapet peringkat pertama, mau itu di sekolah ataupun olimpiade. Pemenang olimpiade matematika nasional dua tahun berturut-turut, itu juga gue. Bukannya sombong yah, gue cuma bicarain fakta," jelasnya menyilangkan dua tangannya seraya mengangkat dagu.
Mendadak Yujin terkesiap, tersadar akan sesuatu. Tiba-tiba perkataan Winmin yang telah lalu, terngiang jelas kembali di ingatannya.
"Tapi, selama di SMA ini, ada satu orang jenius yang bener-bener enggak bisa gue kalahin meski gue udah ngusahain penuh. Dia orang pertama yang ngegeser peringkat pertama gue."
"Jadi, orang yang selama ini dimaksud kak Winmin itu, lo?" Setengah sadar, kalimat itu meluncul begitu saja dari mulut Yujin, membuat mata Richan tiba-tiba perlahan menyipit penasaran.
"Winmin? Emang apa hubungannya dia sama lo?"
Ya ampun, akhirnya bisa update juga. Maaf yah kalau update-nya serasa berabad-abad lamanya hahaha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro