4. Terlambat
Kau sudah mengetahui perasaanku. Namun, mengapa kau terus saja menyisakan tanya tanpa berniat menjawabnya?
Lelaki hoodie hitam itu cepat-cepat pergi begitu saja meninggalkannya. Apa yang pernah terjadi, terulang lagi. Lelaki hoodie hitam itu terus saja bergegas pergi selepas ia usai menolongnya. Ada apa dengan lelaki itu? Tak mau tinggal dalam rasa penasaran. Lagi-lagi, Yujin memutuskan mengejar lelaki itu. Meninggalkan baksonya yang masih setengah tersisa, juga meninggalkan orang-orang yang kini sibuk menebak-nebak, apa hubungan antara ia dan si lelaki hoodie hitam.
Yujin tak mau ambil pusing. Ia terus mempercepat langkahnya, meski pergerakan laki-laki itu tetap saja lebih cepat darinya. "WOY! HOODIE HITAM!" jeritnya spontan begitu ia hampir saja kehilangan jejak lelaki itu.
Bukannya berhenti, lelaki itu malah kian melangkah tergesa-gesa, membuat Yujin malah semakin tertinggal. Yujin memutuskan berlari, tak ingin menyerah begitu saja.
"HOODIE HITAM! TUNGGUIN DONG!" jeritnya lagi dengan napas yang mulai terengah-engah.
Tanpa diduga, lelaki itu tiba-tiba berhenti, membuat langkah Yujin ikut terhenti seketika. Yujin memperhatikan sekitar sejenak, mendadak tersadar jika di tempat ini pula ia sempat menemukan lelaki hoodie hitam itu sebelumnya. Tempat yang jarang dilalui, juga terbilang cukup jauh dari keramaian sekolah. Di sinilah mereka sekarang, tepat di samping gedung sekolah yang sudah lama tak terpakai.
"Ngapain ikutin gue?" ketus Zeno dingin, tanpa menoleh.
"Gue cuma pengen nyampain rasa terima kasih gue dengan bener. Itu doang kok," sahut Yujin mantap, membuat Zeno malah menghela napas kasar, menahan muak.
"Harus berapa kali gue bilang, gue enggak butuh makasih dari lo."
"Sekali ini aja! Tolong dengerin gue sebentar!" Yujin mengembuskan napas pelan sebelum melanjutkan. "Gue gak tahu lo siapa, tapi gue bener-bener bersyukur karena lo udah muncul di kehidupan gue. Mungkin, dengan makasih aja enggak bakal cukup. Karena itu, mulai sekarang lo bisa minta tolong apa aja ke gue dan gue pasti bakal lakuin itu selama gue sanggup."
"Oke. Tolong jangan muncul lagi di kehidupan gue!" pinta Zeno cepat, tanpa pikir panjang. "Buat ini jadi terakhir kalinya gue kasihan sama lo!"
Yujin mendengus tertawa, tak bisa berkata-kata. Matanya hanya menyipit, menahan kesal menatap punggung Zeno yang kian menjauh dari tempatnya berpijak. "Itu orang kenapa sih?"
***
Terlambat. Yujin sial betul karena harus berakhir di tengah lapangan seperti ini. Menghormat bendera di bawah terang mentari yang menyorot tepat ke arahnya, hancur sudah perawatannya selama sebulan terakhir ini. Yujin mengembuskan napas panjang. Terlambat seperti ini, memang sudah bukan sesuatu yang asing lagi baginya. Beberapa kali ia terlambat, tapi ia terus saja beruntung dengan berhasil meloloskan diri tanpa ketahuan. Baru kali ini ia dapatkan karma dari apa yang harusnya sejak dulu didapatkannya.
Yujin menyeka sejenak keringatnya yang sudah mengalir deras. Sialnya lagi, mengapa ia harus lupa membawa topinya di saat seperti ini. Tepat kala ia mengeluh seperti itu, tiba-tiba sebuah topi seketika terpasang pas begitu saja di kepalanya. Yujin menoleh cepat, matanya mendadak membelalak sempura.
"Kak Winmin!"
Winmin tersenyum kecil. "Gue enggak tega perhatiin lo dari tadi kayak gini. Makanya gue ke sini."
Yujin menuduk dalam, antara senang dan malu. Mengapa Winmin harus menemuinya di saat ia dihukum seperti ini. "Makasih yah, Kak. Gue malu banget harus dihukum karena telat kayak gini."
"Ya udah. Biar lo enggak malu, gue bakal temenin lo di sini deh sampai hukuman lo selesai," tawar Winmin menatap Yujin lurus-lurus.
"Ya ampun Kak, enggak usah," tolaknya halus, padahal sebetulnya begitu ingin.
"Kalau kali ini gue maksa, enggak apa-apa, 'kan?"
Kedua sudut bibir Yujin seketika merekah sempurna sebagai jawaban. Sejak kapan Winmin bisa semanis ini? Keberuntungannya ini seakan terasa seperti mimpi saja.
"KAK YUJIN, BANGUN KAK! BURUAN BANGUN, IH! INI UDAH TELAT BANGET LOH KAK."
Tunggu! Apa tadi memang benar hanya mimpi?
"Ayo bangun Kak! Kakak mimpi apa sih sampai senyum-senyum gak jelas gitu?"
Kedua mata Yujin yang tadinya terpejam pulas, kini seketika membelalak penuh. "Jadi gue beneran cuma mimpi?" pekiknya tiba-tiba, membuat Yuni terlonjak spontan. "Kenapa lo harus bangunin gue sih!"
Yuni mendengus tertawa menatap kakaknya itu tak percaya. "Ini udah mau jam tujuh Kak, kalau Kakak enggak mau dibangunin, ya udah. Lanjut aja tidurnya Kak!"
Cepat-cepat Yujin memeriksa jam di ponsenya, memastikan. Memang betul, ia sudah benar-benar terlambat sekarang. Pantas saja adiknya itu sudah berseragam lengkap saat ini.
"Kenapa baru bangunin gue sekarang sih?" geram Yujin lagi sembari bergegas menuju kamar mandi, sudah tak ada waktu bahkan untuk sekadar mengomel saja.
***
Yujin menghela napas gusar. Belum habis kesalnya mengingat adiknya yang tak ada akhlak itu meninggalkannya begitu saja membiarkannya terlambat sendiri. Yujin harus lagi-lagi harus menahan kesal begitu menatap tembok besar yang berada di belakang sekolahnya, juga pohon besar yang menjulang tinggi tepat di depan tembok itu. Pohon dan tembok itu merupakan jalan satu-satunya yang harus dilalui jika sudah terlambat tanpa ingin diketahui.
Kebetulan ia juga tengah berada di posisi itu, mau tidak mau, ia juga harus melaluinya. Dengan hati-hati, ia mulai memanjat pohon itu dengan keberanian spontan yang hanya muncul di saat-saat terdesak seperti sekarang ini. Dahan demi dahan terlewatinya hingga hampir mencapai puncak tembok tersebut. Namun, tiba-tiba jerit lantang yang tertuju ke arahnya, mendadak mengejutkannya seketika.
"HEI! SIAPA DI SANA? TERLAMBAT YAH KAMU?"
Yujin yang kelewat panik cepat-cepat berusaha meraih puncak tembok itu, kemudian lekas melompat begitu saja tanpa pikir panjang lagi. Matanya seketika membulat sempurna begitu menemukan punggung lelaki yang akan menghalangi tempat pendaratannya. "AWAAAS!"
BRUUUGH
Terlambat sudah. Bisa ditebak, ia mendarat tepat di belakang punggung lelaki itu, membuat lelaki yang belum menampakkan wajahnya itu hanya bisa meringis kesakitan di tempat seraya mengusap punggungnya yang kini serasa mengalami keretakan tulang.
Yujin yang menyadari itu, buru-buru bangun dari tempatnya sembari menunduk dalam, benar-benar merasa bersalah. "Gue minta maaf yah! Gue beneran enggak ngeliat lo tadi."
Dengan sisa-sisa tenaganya, lelaki itu akhirnya bangkit juga. Yujin yang sejak tadi tak berani menatap lelaki itu, kini memberanikan diri mendongak perlahan, melihat siapa yang sudah ikut jadi korban kesialannya itu. Ia mengerjap-ngerjap cepat begitu menangkap langsung wajah lelaki itu. "Hoodie hitam?"
Zeno melirik Yujin begitu sekilas. "Lo?" geramnya, cepat-cepat menarik ujung hoodie-nya kian menenggelamkan wajahnya lagi. "Kenapa sih lo terus-terusan gangguin hidup gue?"
"Yah, ini 'kan juga bukan mau gue," balas Yujin tak kalah geram.
"EH, KALIAN DI SANA JANGAN LARI YAH KALIAN!" Teriakan itu muncul begitu saja dari belakang tembok. Sepertinya, itu adalah guru yang menangkap basah Yujin tadi.
"Ayo pergi sekarang!" panik Yujin seketika menarik pergelangan tangan Zeno begitu saja, memaksanya ikut bergegas lari di belakangnya. Sementara Zeno kali ini hanya mengikut seraya terus saja menatap lamat-lamat tangannya yang ditarik seakan kehilangan setengah kesadaran.
Baru kali ini. Ini kali pertamanya berinteraksi sedekat ini dengan seseorang, namun bukannya merasa cemas, ia justru merasa aman berada di dekat wanita itu. Mata Zeno kini beralih menatap penuh Yujin dari belakang. Kenapa wanita ini selalu mendatangkan hal tak terduga pada dirinya?
***
Seperti pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat akhirnya terjatuh juga. Merekapun sama. Sepandai-pandainya mereka kabur, pada akhirnya mereka tertangkap juga. Dan di sinilah Yujin dan Zeno berakhir, menghormat bendera tepat di tengah lapangan saat sedang terik-teriknya.
Deja Vu. Yujin tiba-tiba saja tersadar akan hal itu. Sepertinya sebagian dari mimpinya baru saja benar-benar terjadi saat ini. Pertama, terlambat. Kedua, di hukum hormat bendera di tengah lapangan. Namun, mengapa tepat di poin pentingnya malah tak sesuai dengan apa yang dimimpikannya? Harusnya Winmin yang ada di sampingnya sekarang, bukannya malah si ketus hoodie hitam ini. Yujin mendengus kasar begitu saja, menatap Zeno malas. Mimpi memang selalu lebih indah dari kenyataan.
"Ngapain lo liatin gue gitu? Enggak usah liat-liat gue!" pinta Zeno dengan nada datarnya tanpa menoleh. Dari ekor matanya ia dapat menangkap bagaimana Yujin kini menatapnya.
"Yeee. Gue juga ngeliatin lo kesel kali. Mana mau gue ngeliatin lo mulu," sungut Yujin tak terima.
"Ya udah, bagus."
"Ish!" Yujin lagi-lagi menatap Zeno kesal. Ia pun tak ingin lagi angkat bicara, malas berurusan dengan lelaki itu.
Hening menyelimuti mereka cukup lama. Paparan mataharipun kian menyengat menjadi-jadi. Diam-diam ujung mata Zeno melirik Yujin ragu-ragu yang terus saja menghela napas panjang tanpa sadar. Yujin kini menyeka bulir keringat yang mengalir deras dari pelipisnya.
Terik matahari memang berada tepat di samping Yujin, membuat ia lebih terhantam panas daripada tempat Zeno berdiri. Zeno yang menyadari itu, memutar bola matanya malas. Mengapa ia terus saja peduli pada wanita itu?
Tiba-tiba saja, Zeno mengambil tempat di samping Yujin tanpa kata-kata, membuat Yujin terkesiap di tempatnya begitu saja memperhatikan betul bagaimana lelaki hoodie hitam itu kini menyibukkan diri mengatur posisi berdirinya hanya untuk mengadang sinar matahari yang menuju ke arah Yujin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro