12. Berbagi Rahasia
Jika memang begitu jauh, jangan mendatangkan harap seolah kau begitu dekat. Aku terlalu mudah dalam menyalahartikan sesuatu.
"Ya udah, biarpun cuma kebetulan. Gue tetap makasih sama lo yah karena udah repot-repot ikut campur masalah gue." Yujin mengembangkan senyum tipis menatap Richan lurus-lurus.
"Lo sih cari masalah mulu. Untung lo punya temen kayak gue." Richan menyombongkan diri sembari menyilangkan dua tangannya, membuat Yujin spontan memutar bola matanya malas.
"Iya deh, iya."
"Lagian lo kenapa nangis sampe mata lo bengkak gitu sih? Padahal sebelumnya lo kan udah keren banget tuh berani ngelawan dia."
"Lo ngeliat waktu gue ribut ama kak Liya sebelumnya?"
"Iya dong. Sebagai ketua OSIS, di mana ada keributan, di situ gue harus ada."
"Terus lo tahu ada keributan, tapi lo cuma nonton aja gitu?" timpal Yujin ketus, membuat Rihan malah terkekeh begitu saja.
"Bukannya gitu. Gue ke sana niat awalnya mau lerai kalian kok. Cuma pas gue lihat lo bisa ngatasin itu sendiri, jadi yah gue tinggal mantau aja."
"Halah, alesan!"
Yujin melangkah ringan melalui Rihan cepat. Namun, begitu cepat pula orang-orang yang berada di sekitar koridor seketika memusatkan perhatian padanya dengan sorot penasaran. Yujin tiba-tiba tersadar, mungkin karena matanya yang bengkak, jelas tampak usai menguras air mata.
Cepat-cepat Yujin menunduk dalam, tetapi seketika kembali mengangkat wajahnya begitu sebuah tangan besar tiba-tiba menariknya begitu saja menjauh dari sana. Yujin yang meskipun hanya mampu menatap punggung lelaki itu dari belakang, tetapi ia langsung bisa mengenali lelaki itu. Lagi-lagi si ketua OSIS.
"Ngapain sih lo narik-narik gue!" gerutu Yujin, berusaha membebaskan pergelangan tangannya. Namun, cengkeraman lelaki itu malah semakin kuat saja.
"Nggak usah bawel deh! Mending lo tetap nunduk aja daripada muka jelek lo itu tambah narik perhatian orang-orang."
Yujin mendengus kesal, ingin sekali ia menggurutu tak terima, tetapi apa yang dikatakan Richan tadi, ia rasa ada benarnya juga. Wajah usai menangisnya ini, tentu saja tak sedap dipandang. Karena itu, ia hanya kembali menunduk sembari mengkuti langkah ke mana Richan membawanya.
Di sinilah mereka sekarang, berada di rooftop sekolah. Yujin yang baru kali pertama menginjakkan kaki di sana, terus saja menatap sekeliling dengan sorot terpukau. Ternyata, sekolahnya masih memiliki tempat yang indah dan tenang sekaligus yang tersembunyi di sini.
"Emang boleh yah kita ke sini?"
"Ya nggak boleh sih. Cuma, karena lo ke sininya bareng anak kepala sekolah, jadi yah, boleh-boleh aja." Richan menyilangkan kedua tangan seraya tersenyum angkuh.
"Dih, sombongnya!" cibir Yujin yang seketika mendapat sorot tajam dari Richan.
"Bukannya bilang makasih, malah ngatain orang. Lo harusnya ngerasa beruntung tahu udah gue bawa ke sini biar nggak ada yang bisa ngeliatin muka jelek lo sekarang ini."
"Tuh, 'kan! Gimana orang mau bilang makasih, kalau lo juga ngomongnya kayak gitu," timpal Yujin ketus.
"Gue kan ngomongnya sesuai kenyataan. Muka abis nangis lo ini emang nggak enak banget tahu dilihatnya. Makanya, lain kali nggak usah nangis lagi!"
Senyum Yujin terbit begitu saja, menatap Richan penuh arti. "Makasih yah karena nggak mau lihat gue nangis lagi," guraunya, membuat Richan memutar bola matanya cepat.
"Lebih tepatnya, gue nggak mau lagi lihat muka jelek lo sekarang ini."
"Iya deh, iya," dengus Yujin sebal, ingin membalas ledekan Richan, tetapi Richan hampir tak punya celah untuk dicela.
"Ya udah, lo tunggu di sini dulu yah! Gue mau ke bawah dulu bentar!"
"Eh!" Yujin spontan menahan pergelangan tangan Richan cepat. "Kok lo malah ninggalin gue sendirian di sini sih?"
"Bentar aja kok, mau beli minum doang."
"Ya udah, beliin gue sekalian yah!" pinta Yujin dengan sorot berbinar, sementara Richan hanya mendengus kasar sebagai jawaban.
"Beliin gue yang rasa cokelat!" timpal Yujin lagi, meskipun Richan sudah jauh meninggalkannya begitu saja.
Yujin menghela napas sembari melangkah mendekati tepi rooftop. Matanya memejam perlahan bersamaan dengan napasnya yang terhirup dalam-dalam. Menenangkan. Seketika segala beban pikirnya mendadak lesap begitu saja. Senyumnya mengembang tipis. Lain kali ia harus ke sini lagi. Ia mengedarkan pandangan menatap sekitar, memastikan. Tiba-tiba terlintas di benaknya untuk melakukan sesuatu.
Yujin berdeham pelan. "HEH LIYA! LO PIKIR GUE TAKUT SAMA LO? PENGECUT LO! BERANINYA CUMA BAWA TEMEN. TAKUT KAN LO NGADEPIN GUE SENDIRI? CIH!" gerutunya berteriak sendiri. Senyumnya mengembang penuh seketika. Rupanya menyenangkan juga meluapkan kekesalan seperti ini.
Ia berdeham sekali lagi. "KAK WINMIN, SEBENERNYA LO SUKA SAMA GUE NGGAK SIH? LO UDAH TAHU PERASAAN GUE, 'KAN? TAPI KENAPA LO NGGAK NGASIH GUE KEJELASAN JUGA? GUE SENENG KARENA LO UDAH TAMBAH BAIK SAMA GUE, TAPI KALAU LO CUMA BAIK SAMA GUE TANPA ALESAN. TOLONG JANGAN TERLALU BAIK SAMA GUE! GUE TERLALU GAMPANG SALAH PAHAM SAMA KEBAIKAN LO."
Yujin yang baru saja berbalik, seketika terkesiap begitu menemukan Richan yang sudah kembali tak jauh di belakangnya tanpa sepengetahuannya. Ia menelan ludah, panik. "Lo denger yang gue bilang tadi?" tanyanya takut-takut.
"Lo teriak-teriak kayak tadi, terus kalau gue jawab nggak denger, emang lo percaya?" sahut Richan enteng, membuat Yujin hanya bisa merutuki diri sendiri. "Gue nggak maksud buat nguping yah. Lo yang teriak-teriak sendiri tadi. Jadi, jangan salahin kalau gue yang punya telinga bisa denger."
"Iya, iya, nggak usah bahas itu lagi!" ketus Yujin, ingin cepat-cepat menghilang dari sana begitu saja. "Gue balik ke kelas duluan yah!"
"Eh, tunggu dulu! Nih, minuman cokelat pesanan lo!" Richan menyodorkan tepat di depan Yujin. Namun, Yujin sudah terlalu malu saat ini untuk menerimanya.
"Gue bercanda doang kok tadi. Gue pikir, mana mungkin lo mau beliin gue juga. Jadi yah, ambil aja! Gue mau balik ke kelas sekarang." Yujin baru saja cepat-cepat ingin pergi, tetapi Richan tak kalah cepat mengadang langkahnya seketika.
"Mana bisa lo mau balik ke kelas dengan mata sebengkak itu. Pake ini dulu!" Dengan gesit Richan membungkus beberapa kotak es batu pada sapu tangannya yang belum terpakai. "Nih, tempel es batu ini di mata lo!"
Yujin mengernyit dalam. "Buat apa nih?"
"Es batu ini tuh bisa nyempitin pembuluh darah di sekitar mata biar mata lo nggak bengkak lagi."
"Kok lo tiba-tiba dapet es batu kayak gini? Apa lo tadi ke bawah emang mau ambilin gue es batu, tapi pake alesan pergi beli minum?"
Richan mendengus tertawa, menatap Yujin lurus-lurus. "Kebanyakan nonton sinetron lo! Pake aja tuh es batunya cepet biar mata gue nggak sakit ngeliat lo lagi."
"Iya, iya. Bawel!" Dengan raut kusut, Yujin akhirnya menekan es batu yang dibungkus kain itu di kedua matanya secara perlahan.
Dan benar. Sekitar lima belas menit ia mengikuti saran Richan, hal itu benar berhasil. Mata bengkaknya tadi terasa mulai mengempis begitu saja, membuat ia seketika menatap Richan takjub, masih tak percaya hal seperti tadi ternyata benar bekerja.
"Wah, mata gue udah baikan. Beneran pinter yah lo ternyata," pujinya, membuat Richan tiba-tiba mengangkat wajahnya seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, sombong.
"Gitu aja kecil kok. Sebenernya ada cara lebih cepat dan gampang kalau mau atasin mata bengkak kayak tadi."
"Gimana tuh? Gimana caranya?"
"Mata lo bisa juling nggak? Kalau bisa, lo cukup juling aja terus tahan selama sepuluh detik. Lebih gampang, 'kan?"
"Yah, gue bisa juling sih, tapi emang bener kalau itu bisa ampuh?"
"Benerlah, pake es batu aja tadi berhasil, 'kan?" ucap Richan sungguh-sungguh, membuat Yujin kian penasaran dibuatnya.
"Ya udah, gue coba yah!" Kedua bola mata hitam Yujin pelan-pelan menyatu. Ia pun mulai berhitung mengikuti instruksi untuk menahan matanya tetap seperti itu selama sepuluh detik.
"..., tujuh, delapan, sembilan—"
Cekrek
Tawa Richan meledak seketika bersamaan dengan bunyi potret di ponselnya. Yujin seketika tersadar mendapati Richan yang kini menatapnya seolah ia benar-benar bodoh bisa percaya begitu saja pada hal tak masuk akal seperti tadi. Yujin mendengus sebal. Bagaimana bisa ia dibohongi semudah itu.
"Liat nih muka lo!" Richan menunjukkan hasil foto yang diabadikannya barusan, menampilkan raut Yujin yang tampak begitu fokus membuat matanya juling. "Polos banget yah lo ternyata," ledeknya, masih terkikik tak bersalah.
"Hapus nggak tuh!" geram Yujin dengan sorot tajam.
"Iya, iya. Gue hapus. Buat apa juga gue simpen foto yang ngerusak mata gini."
"Ish, nyebelin lo!" Yujin membuang muka seraya terdiam cukup lama. "Ngomong-ngomong rahasia gue yang lo denger tadi, tolong jangan bilang siapa-siapa yah!" pintanya melirik Richan takut-takut. Winmin dan Richan sekelas. Bisa bahaya kalau Richan tidak dapat menjaga rahasianya.
"Tenang aja! Sekarang kan kita udah jadi temen. Lo nggak perlu takut bagi rahasia lo ke gue. Udah tugas gue buat nyimpen rapat-rapat rahasia lo."
Yujin menatap Richan lurus-lurus. Entahlah, apa lelaki itu bisa dipercaya atau tidak, tetapi tak ada pilihan lain saat ini selain berusaha mempercayainya. "Janji yah!"
"Iya, janji kok. Ngomong-ngomong karena gue udah tahu rahasia lo. Gue juga bakal kasih tahu satu rahasia gue. Gue belum pernah ngasih tahu siapa pun tentang rahasia ini karena gue yakin mereka nggak bakal percaya, makanya kali ini lo harus percaya sama gue yah!"
"Emang rahasia apaan?"
Richan tiba-tiba mendekatkan diri ke telinga Yujin. "Sebenernya gue bisa denger degup jantung orang lain hanya dengan natap matanya aja."
Yujin tertawa hambar seketika. Sepertinya Richan benar-benar tak dapat dipercaya. "Lo ngeliat gue sebego itu yah? Bisa-bisanya lo mau bohongin gue dua kali."
"Kali ini gue serius." Sorot mata Richan menatapnya lurus, tampak jujur. "Gini aja deh, gue buktiin aja sama lo. Gue bisa tahu kalau jantung lo lagi berdetak normal atau cepat. Coba sekarang lo natap gue!"
Yujin mendengus malas, sebelum akhirnya menatap Richan penuh. Melihat itu, Richan seketika mengembangkan kedua sudut bibirnya, memperlihatkan lengkung termanisnya. Ia berusaha mempertahankan senyum terbaiknya itu selama beberapa detik, sampai akhirnya perlahan luntur.
"Kok detak jantung lo biasa aja sih? Biasanya cewek-cewek lain kalau gue senyumin kayak gitu, langsung deg-degan deh."
"Itu sih lo yang kepedean!" timpal Yujin dengan raut datar.
"Kalau gitu kita coba cara lain aja deh. Gimana kalau gini?" Richan tiba-tiba menggenggam kedua tangan Yujin cepat, membuat degup jantung Yujin spontan berdetak di luar dari biasanya saking terkejutnya.
"Apaan sih lo pegang-pegang!" geramnya, seketika menepis kasar tangan Richan. Namun, senyum Richan malah mengembang penuh.
"Gue bisa denger jelas. Lo deg-degan 'kan barusan?"
"Sembarangan aja! Detak jantung gue normal kok kayak biasanya," bantah Yujin, berpura-pura, tak ingin mengakui. Bagaimana degup jantungnya bisa berdegup normal, jika ia yang jarang kontak fisik dengan laki-laki malah mendadak digenggam seperti tadi. Jelas, jantungnya akan bereaksi.
"Akuin aja kali kalau gue emang bener dan lo emang deg-degan! Sekarang lo percaya 'kan sama kekuatan gue?" Richan tersenyum percaya diri. "Ini bukan sekadar tebakan. Gue emang bisa denger detak jantung lo. "
"Terserah lo aja deh. Gue mau balik ke sekarang, udah mau bel masuk." Tanpa menunggu persetujuan Richan, Yujin yang jelas tampak salah tingkah bergegas menjauh mempercepat langkahnya seketika. Sementara Richan yang menatap kepergian Yujin, tiba-tiba mengembangkan senyum tipis begitu saja.
Akhirnya update juga. Part kali ini spesial bersama Richan hihi. Maaf yah lama update, soalnya biasalah mahasiswa akhir wkwk. Semoga tetap suka sama cerita ini yah. Makasih yang udah baca ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro