11. Balas Dendam
Kau terlalu tak tergapai, namun aku tetap saja ingin menggapaimu. Jika ini hanya akan berakhir sia-sia, biarkan saja aku tetap mencobanya.
Yujin cepat-cepat bangkit bergegas keluar begitu saja, tak bisa terus membiarkan degup jantungnya menggila di luar kendali. Ia tak bisa terus-terusan di sana. Bukan hanya sekali, sudah dua kali Zeno berhasil membuat jantungnya berdegup tak terkendali seperti saat ini.
"Yujin, lo mau ke mana?" panggil Zeno mengernyit dalam, tak mengerti mengapa Yujin tiba-tiba saja pergi tanpa mengatakan apapun. "Yang gue omongin tadi, itu cuma bercanda doang kok," jeritnya lagi, tetapi Yujin sudah menghilang begitu saja dari pandangannya.
Ini nggak boleh dibiarin. Gue suka Winmin. Gue bucin Winmin, rapal Yujin dalam hati, berusaha mengendalikan perasaannya agar tak mudah berpaling.
"Pulang sekolah bentar, anak basket beneran mau tanding lagi?" Informasi yang tiba-tiba muncul dari percakapan orang yang melaluinya, membuat perhatian Yujin teralih seketika.
"Iya dong! Pokoknya pulang bentar kita harus nonton yah!"
Potongan percakapan itu mendadak mendatangkan lengkung sempurna di bibir Yujin. "Pokoknya gue juga harus ke sana buat nyemangatin Kak Winmin!" rapalnya mantap.
***
Yujin kini berada di barisan terdepan. Meskipun bukan lagi sebagai cheerleader, tetapi semangatnya memberi Winmin dukungan penuh, tetap saja tak kalah dari para pemandu sorak itu.
Kedua mata Yujin tak lepas menatap Winmin antusias. Namun, bukan hanya dirinya, hampir semua wanita di sana juga menatap Winmin fokus, sama kagumnya. Bagaimana tidak, bola demi bola yang dilempar Winmin ke ring lawan, bisa dengan entengnya lolos berturut-turut begitu saja tanpa meleset sama sama sekali. Belum lagi, peluh keringat yang mulai membasahi wajah Winmin, anehnya malah membuat kadar ketampanannya meningkat drastis, hingga mendatangkan banyak decak kagum dari sebagian besar yang ada di sana.
Pertandingan sudah berakhir saja tanpa terasa. Skor telak jelas dimenangkan tim Dreamies School. Hiruk-pikuk lapangan seketika dipenuhi sorak-sorai girang kaum hawa yang meneriakkan nama Winmin penuh antusias. Namun, di antara orang-orang itu, mata Winmin hanya terpaku pada seseorang yang juga ikut meramaikan sorak antusias itu.
Tanpa pikir panjang, Winmin tiba-tiba berjalan mendekat, menghampiri orang itu dengan seulas senyum tipis. Jerit-jerit tadi perlahan mulai menghilang samar-samar begitu Winmin kini menghentikan langkahnya tepat di depan Yujin. Sementara Yujin hanya mampu seketika tersenyum kikuk menerima tatapan tak suka dari para penggemar Winmin yang memenuhi sekelilingnya.
"Makasih yah udah mau dateng nonton gue," ujar Winmin menatap Yujin penuh dengan seulas senyum sekali lagi.
"Nggak usah makasih kali Kak. Gue yang harusnya makasih karena Kak Win tadi udah ngelakuin yang terbaik buat sekolah kita." Yujin tiba-tiba menyodorkan sebuah handuk kecil putih ke hadapan Winmin. "Ini buat ngebersihin keringat Kakak. Gue kasih ini karena Kak Win udah kerja keras hari ini."
Winmin meraih handuk kecil itu begitu saja. Ia yang baru hendak mengenakan itu, seketika urung begitu melihat peluh keringat yang tak kalah mengalir derasnya dari pelipis Yujin. "Daripada gue, kayaknya lo lebih ngebutuhin ini deh."
Tanpa diminta, Winmin seketika membersihkan bulir-bulir keringat di pelipis Yujin penuh hati-hati dengan handuk kecil tadi. Hal itu sontak berhasil membuat mereka mendadak jadi pusat perhatian yang menarik ditonton. Bagaimana tidak? Winmin-lelaki populer Dreamies School yang begitu jarang dikabarkan dekat dengan wanita, kini malah terang-terangan menunjukkan perhatiannya kepada Yujin.
Napas Yujin terhenti sejenak, tak percaya mendapat perhatian mendadak ini. Terlebih lagi, wajah Winmin kini hanya menyisakan beberapa senti saja darinya, membuat ini serasa benar seperti mimpi saja.
Yujin seketika mencubit keras pipinya sendiri begitu saja. "Aww, kok sakit sih? Jadi gue beneran nggak lagi mimpi nih?"
Winmin mengulum senyum tipis seraya mengacak-acak puncak kepala Yujin gemas. "Kenapa harus ngira ini mimpi sih? Apa lo ngerasa nggak mungkin benget yah kalau gue baik sama lo kayak gini?" keluhnya pura-pura kesal.
"Yah, enggaklah Kak," sahut Yujin kelewat cepat. "Gue nggak nyangka aja hari beruntung gini bisa beneran datang di hidup gue," ujarnya mengembangkan senyumnya penuh, tak peduli beberapa orang kini tampak terang-terangan menatapnya kesal.
Seperti Liya saat ini. Ia melempar kasar botol minumannya begitu saja tak bisa lagi menyembunyikan kekesalannya. "Dia bener-bener udah kelewatan!" geramnya benar-benar memuncak sembari bergegas menjauh cepat dari sana, tak tahan melihat pemandangan itu.
***
"Gila! Nggak nyangka gue kalau hubungan Winmin sama tuh cewek udah sedeket itu," ujar salah satu teman Liya memanas-manasi.
"Hooh. Jujur gue iri banget sih ama tuh Yujin. Winmin yang kelihatannya kaku ternyata bisa semanis itu juga yah sama cewek. Ya ampun, pengen banget gue gantiin posisi Yujin tadi," temannnya yang lain menyahuti cepat, membuat langkah Liya mendadak terhenti.
"BISA DIEM GAK SIH KALIAN!" geramnya pecah seketika, setelah berusaha menahannya sejak tadi. "Kalian ngertiin gue dong, jangan malah nambah-nambah beban gue! Iya. Gue tahu dia nggak bisa dianggap enteng. Gue juga udah coba ngadepin dia sendiri, tapi malah gagal. Karena itu gue butuh kalian. Kita harus sama-sama ngasih dia pelajaran berat, biar dia beneran kapok buat deket-deket Winmin lagi."
Teman Liya menepuk pundak Liya menenangkan. "Tenang aja, kita pasti bantuin lo kok. Tapi sebelum itu, temenin gue ke toilet dulu yah, gue udah kebelet dari tadi nih sebenernya," pintanya menunjukkan cengiran tak bersalahnya.
Liya memutar bola matanya malas. "Ngerepotin banget sih lo!"
Ketiganya yang baru selangkah memasuki kamar kecil, tiba-tiba kompak terkesiap begitu saja. Benar-benar kebetulan yang tak terbayangkan sebelumnya, mereka mendadak berpapasan dengan seseorang yang sejak tadi jadi topik pembahasan utama mereka. Ya, siapa lagi kalau bukan Yujin.
Yujin membelalak ikut terkejut, firasat buruk seketika menyelimutinya begitu saja. "Permisi, gue mau lewat!" pintanya ingin cepat-cepat pergi dari sana, tetapi ketiganya mendadak mengadang langkah Yujin jauh lebih cepat.
"Mau ke mana lo, hah?" Liya menyeringai puas begitu mendapati sorot cemas dari mata Yujin. "Nggak usah buru-buru gitu dong, kita cuma mau bicara baik-baik doang kok sama lo," ujarnya begitu tenang, namun diiringi sorot mengintimidasi sekaligus.
Liya menggerakkan dagunya, memberi perintah pada kedua temannya tanpa berkata-kata. Namun anehnya, kedua temannya malah mengangguk cepat, seketika dapat mengartikan itu.
"Woy! Kalian semua yang ada di sini, keluar sekarang!" perintahnya dengan nada mengancam, membuat beberapa orang yang masih tertinggal di sana cepat-cepat keluar tanpa membantah, meski dengan raut tak terima.
Begitu semua sudah benar-benar menghilang dari sana, salah satu teman Liya bergegas mengambil tugas menjaga di luar toilet, berjaga-jaga di sana. Yujin yang mengamati semua itu, seketika menelan ludahnya susah payah, sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Pastinya sesuatu yang buruk.
"Apa sih mau kalian sebenernya?" tanya Yujin lantang, berusaha menutupi raut cemasnya.
"Nggak usah pura-pura bego deh lo!" Liya mendorong kepala Yujin begitu saja dengan satu telunjuknya. "Lo tahu betul kan apa yang gue mau? Nggak usah sok polos gini deh lo!"
"Jadi Kakak bertindak sampai sejauh ini hanya buat maksa gue ngejauh dari Kak Winmin? Apa Kakak bener-bener takut kesaing sama orang kayak gue?" balas Yujin menyeringai remeh, membuat tangan Liya seketika melayang begitu saja hendak menamparnya, namun berhasil ditahan cepat oleh Yujin.
"Berani-beraninya lo yah!" pekik Liya, membuat temannya bergerak cepat menahan kedua tangan Yujin ke belakang seketika.
Plak
Tanpa aba-aba, tamparan kasar menyambut pipi Yujin begitu saja. Sedang Yujin hanya mampu memejam menahan sakit tanpa bisa melakukan perlawanan, sebab cengkraman di tangannya sudah kelewat kuat untuk dibebaskan.
"Itu buat lo karena udah berani nantangin gue!"
Plak
"Itu buat lo karena udah lancang ngelewatin batas lo!"
Plak
"Itu buat lo lagi karena udah gak tahu diri pengen ngerebut Winmin dari gue."
Teman Liya yang bertugas menjaga toilet tadi tiba-tiba menerobos masuk dengan raut panik. "Kita harus pergi dari sini sekarang! Richan ada di sini, dia bener-bener maksa pengen meriksa apa yang ada di dalem. Kayaknya ada orang yang udah laporin kita deh."
"Tuh orang kenapa sibuk banget sih?" geram Liya, menghela napas kasar.
"Kita pergi aja dulu! Kalau berurusan ama Richan, kita bisa kena masalah serius nanti. Ayo!" sahut temannya yang lain seraya melangkah lebih dulu, membuat yang lainnya memutuskan mengikut, keluar dari sana.
"Awas lo kalau berani bilang-bilang soal ini!" ancam Liya sebelum benar-benar meninggalkan Yujin.
Begitu ketiganya keluar, Richan cepat-cepat masuk ke dalam begitu saja dengan sorot penuh cemas. Terlebih kala mendapati Yujin yang hanya bergeming di tempat seraya menunduk dalam.
"Lo ... nggak apa-apa?" tanya Richan takut-takut, tak mengerti harus berbuat apa di situasi seperti sekarang ini.
Yujin tak menjawab, hanya bergegas memasuki salah satu bilik kamar mandi tanpa mengatakan apapun. Isak tangis yang tertahan samar-samar terdengar begitu saja di tengah senyap ruangan itu. Richan memutuskan lekas keluar dari sana, paham betul Yujin butuh waktu untuk sendiri saat ini.
Baru saja Richan melewat bingkai pintu, dua orang wanita tiba-tiba muncul ingin masuk ke toilet. Kedua tangan Richan membentang spontan, mencegah mereka masuk. "Eh, maaf yah. Toilet di dalam lagi ada perbaikan, jadi gak bisa masuk dulu."
Tanpa ada kecurigaan sama sekali, kedua hanya mengangguk singkat kemudian berlalu begitu saja. Richan seketika bernapas lega, merasa agak gugup sudah berbohong tiba-tiba seperti tadi. Ia akhirnya memutuskan untuk tetap berjaga di depan toilet agar Yujin bisa bebas menumpahkan seluruh isaknya tanpa ada yang menggangu.
Menit demi menit berselang cukup mendatangkan jenuh pada Richan yang kini berjongkok di tempatnya. Pundaknya tiba-tiba ditepuk pelan, membuat Richan seketika berdiri cepat.
"Ngapain lo masih di sini?" tanya Yujin datar dengan mata yang masih memerah.
"Masa abis ngeliat lo nangis kayak tadi, gue malah ninggalin lo gitu aja sih. Mungkin karena gue ketua OSIS yah, jadi gue punya rasa tanggung jawab lebih kayak gini sama orang-orang." Richan mengulum senyum, geli sendiri memuji dirinya.
"Terus, bagaimana lo bisa tiba-tiba muncul buat nolongin gue tadi?"
"Oh, itu. Gue cuma kebetulan lewat doang kok. Terus gue ngeliat gerak-gerik aneh ama yang jagain pintu tadi. Jadi gue langsung interogasi dia deh. Eh, tahu-tahunya beneran ada sesuatu," bohong Richan cepat, sembari kembali mengingat begitu saja bagaimana kejadian yang sebetulnya terjadi tadi.
Dua wanita berjalan melaluinya diiringi bisik-bisik sinis yang masih terdengar sampai ke telinga Richan. "Wah, Yujin pasti dilabrak abis-abisan tuh sama Liya."
"Hooh, penasaran banget sih gue sebenernya pen nonton, tapi-"
"Kalian ngomongin siapa tadi?" potong Richan cepat, seketika mengejutkan dua wanita itu.
"Eh, itu ...."
"Kalian beneran ngomongin Yujin, kan? Kenapa dia? Di mana dia sekarang?" tanya Richan beruntun dengan raut cemas betul.
"Dia ... dia ditahan ama Kak Liya dan temen-temennya di toilet Kak."
Tanpa buang-buang waktu lagi, Richan seketika buru-buru berlari tak terkendali, meninggalkan dua wanita tadi yang sontak bergeming di tempat begitu saja.
"Kak Richan ama si Yujin ada hubungan apa yah?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro