Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

empat [d]

03/10/2023
Hanya sampai part ini saya publish di Wattpad dan akan saya hapus lagi. Sisanya silakan baca di Karya Karsa

Selengkapnya sampai nanti tamat bisa dibaca di Karya Karsa
Silakan klik tautannya di bio profil atau wall akun ini

Terima kasih 💜

Setelah acara tiup lilin, Farid ikut berbaur dengan para tamu yang merupakan bagian dari teman-teman Sisil. Sekadar menyapa dan berbasa-basi sebentar. Tak banyak yang istrinya itu undang. Hanya sekitar dua puluh orang yang termasuk dalam circle terdekat saja. Menjadi sebuah perayaan kecil, tapi cukup berkesan untuk Sisil.

Bunga aster dan hydrangea mendominasi area ruang tengah, yang berlanjut hingga bagian kolam renang. Lampu-lampu hias ditata apik, membuat sekitar kolam renang menjadi benderang. Bahkan Farid sengaja meminta kepada pihak dekorasi untuk menambahkan lilin hias di permukaan air. Lilin-lilin itu ditata membentuk nama sang istri. Terapung dan berpendar di dalam bola kaca transparan.

Farid melihat Keenan berdiri sendirian di pojok ruangan. Ia lantas memisahkan diri dari Sisil yang sedang bercengkrama dengan anggota keluarga lainnya.

"Camila belum ada kabar?" tanya Farid. Ia tahu temannya itu gelisah karena Camila sejak tadi belum datang juga.

Keenan hanya menggeleng, lalu memperhatikan kembali layar ponselnya. Hal yang sama sebenarnya sedang dirasakan oleh Farid. Berharap banyak kedatangan Nadia. Rasanya mustahil kalau Sisil sampai tidak mengundang Nadia. Mereka berdua berteman baik, jadi semestinya Nadia hadir sekarang.

"Nadia apa kabarnya?" Farid berusaha bersikap sebiasa mungkin saat melempar pertanyaan itu.

"Baik." Keenan menyandarkan tubuhnya pada tepian meja lalu menambahkan, "Dia mau pergi ke Sidney."

"Liburan?"

Keenan menggeleng. "Bukan. Dia mau menetap lama di sana."

Punggung Farid seketika menegak. Menatap penuh tanda tanya pada Keenan yang masih belum menyadari perubahan sikap dirinya.

"Kenapa? Kok, bisa?"

"Gue juga nggak tahu pasti kenapa dia memilih pindah ke Sidney. Itu sudah jadi keputusan dia. Lo pasti tahu kalau adik gue itu orangnya selalu ingin mandiri."

"Berapa lama rencananya dia di sana?"

"Gue nggak tahu. Tapi yang pasti, sih, dia mau tinggal lama di sana."

Jawaban Keenan tidak memuaskan Farid, karena belum bisa menuntaskan rasa penasarannya. Ia terdiam memikirkan banyak kemungkinan tentang Nadia.

"Kapan lo bisa berhenti bermain-main dengan hidup lo?" Tiba-tiba saja Keenan bertanya. Menyenggol lengan Farid dan menunjuk ke arah Sisil. "Apa lo nggak merasa bersalah berbohong sama Sisil?"

"Lo tahu gue, Kin. Gue, ya, begini. Nggak ada yang perlu gue ubah."

Farid heran dengan Keenan yang mendadak membahas perihal kebiasaannya.

"Tapi ini menyangkut komitmen dan tanggung jawab lo sama Tuhan, karena sudah menikahi dia."

"Tumben lo bahas ini?"

"Karena gue pikir, membuat rumah tangga lo sendiri hancur itu adalah tindakan orang tolol."

Farid melipat kedua tangannya di depan dada. "Lo pikir gue tolol?"

"Ya lo kira-kira aja sendiri tentang ketololan lo." Nada suara Keenan terdengar berbeda. Terselip emosi yang bukan seperti Keenan biasanya.

Farid maklum kalau mungkin Keenan sedang ada masalah sehingga tidak bisa mengontrol kata-katanya. Namun, saat ini Farid sedang tidak mau didikte soal masalah hidupnya. Ia tidak ingin merusak malam spesial Sisil dengan perdebatan soal akhlak ataupun budi pekerti.

Ia lalu menepuk pundak Keenan, dan memberi isyarat dengan dagunya ke arah Sisil. "Gue ke sana dulu."

Dan tak lama setelah Farid bergabung bersama Sisil, Keenan berpamitan pulang. Meski Keenan tak menunjukkan telah terjadi masalah, tapi Farid jadi merasa tidak enak dengan sahabat baiknya itu.

Selama Sisil mengobrol dengan teman-temannya, Farid memperhatikan interaksi Fatma yang sedang menggendong anak bungsu Arman. Wajah ibunya tampak semringah. Senang dengan kehadiran anak-anak, meski bukan cucunya sendiri. Di dalam hati ia berdoa semoga akan segera mendapat kabar baik dari kehamilan Sisil. Ia tidak ingin memaksakan sesuatu di luar kapasitas manusia. Apalagi membebani Sisil dengan keharusan memiliki keturunan secepatnya. Sehingga berharap adalah cara manusia untuk menggantungkan keinginannya.

Isi kepalanya kembali diinterupsi soal Nadia. Kepergian wanita itu seharusnya bukan menjadi urusannya. Namun, Farid tidak bisa untuk menganggap lalu kabar itu. Nadia memang di luar jangkauannya. Sekuat apa pun ia menginginkan Nadia, hal itu tidak akan pernah tercapai. Ia cukup sadar diri.

"Rid?"

"Hm?" Farid menoleh. Tak menyadari kalau sejak tadi Sisil mengamatinya.

"Kamu kenapa? Kok, diam aja?" Sisil mengusap lengan Farid.

"Nggak apa-apa. Aku lagi lihat Mama kayaknya senang banget sama Asya."

"Oh ..." Sisil tersenyum melihat ibu mertuanya bercengkrama dengan anak-anak Arman. Namun, tiba-tiba Sisil terdiam. Dan Farid langsung menyadari efek dari kata-katanya barusan.

"Jangan berpikir yang aneh-aneh," tukas Farid. Tanpa banyak bicara, ia menarik tangan Sisil untuk ikut bersamanya ke luar ruangan.

Mereka berdua berdiri menghadap ke arah kolam renang. Farid memeluk tubuh Sisil dari belakang, lalu mengecup puncak kepala istrinya dengan sayang. Meskipun ia tidak mencintai Sisil seutuhnya, tapi rasa sayang tetaplah ada. Ia tidak mau Sisil bersedih gara-gara masalah anak. Dan sebagai suami yang baik, menjadi kewajibannya untuk menenangkan kerisauan itu.

"Aku takut, Rid," ucap Sisil pelan.

"Jangan takut." Farid menenangkan.

"Aku selalu takut kalau kamu sewaktu-waktu pergi ninggalin aku."

"Aku nggak akan ke mana-mana."

"Kalau ternyata aku benar-benar nggak bisa kasih kamu keturunan, apa kamu masih mau terus sama aku?"

Farid mengetatkan pelukan dan mencium pipi Sisil. "Aku sudah pernah bilang sama kamu, aku nggak maksain harus cepat-cepat punya anak. Terserah Tuhan mau kasih anak ke kita kapan."

Sisil kemudian membiarkan kepalanya merebah di dada Farid. Nyaman dalam dekapan suaminya. Mereka berdua sama-sama memperhatikan pendar-pendar cahaya di permukaan air. Sedangkan orang-orang tersenyum melihat mereka, karena disuguhi sebuah romantisme dari pasangan yang terlihat sangat serasi dan berbahagia.

•••

Daniel membuang muka ke arah lain. Pemandangan di depannya telah sukses mengiris perasaan. Pukul enam sore ia baru tiba di Jakarta, setelah delapan jam perjalanan udara dari Vietnam. Di apartemen ia langsung buru-buru mandi, dan bersalin pakaian untuk datang ke acara ulang tahun Sisil. Dan kalau sekarang hanya menjadi penonton kemesraan Sisil dengan suaminya, lebih baik ia tidak perlu datang saja sekalian. Sama seperti yang sudah dilakukannya selama ini. Menjauh dari kehidupan Sisil.

"Nggak usah dipanggil, Kak." Daniel menahan langkah Arman yang akan menghampiri pasangan itu. "Kayaknya mereka lagi asyik berduaan."

Arman terkekeh. "Kamu lihat sendiri mesranya mereka seperti apa. Maklumlah ... namanya juga saling cinta."

Daniel tersenyum hambar, lalu mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang diisi orang-orang berpakaian putih. Ia jadi merasa berbeda sendiri di sini. Tampak kontras dengan mengenakan kemeja berwana coklat, dan celana jeans biru.

Arman mengajak Daniel untuk menyapa istrinya. Tak ketinggalan ibu mertua Sisil yang menyambut kedatangan Daniel dengan ramah. Namun, Daniel tidak melihat keberadaan orang tua Sisil. Arman lalu menjelaskan kalau ibunya sedang berada di Singapura menemani sang ayah untuk melakukan medical check up. Daniel tidak bertanya lebih jauh perihal penyakit ayah mereka, karena Sisil sudah pernah menceritakannya.

"Kapan terakhir kali kita ketemu?" tanya Arman sambil menyerahkan segelas minuman dingin pada Daniel. "Sepertinya sudah lama banget nggak lihat kamu."

"Pas acara lamarannya Sisil." Daniel menjawabnya dengan mata yang sesekali mencuri pandang ke arah Sisil.

"Ah, ya, ya ...." Arman manggut-manggut. "Terus tiba-tiba langsung menghilang, ya. Kata Sisil kamu jadi susah kalau mau ketemu. Memangnya ada apa sama kamu?"

Daniel menyesap minumannnya. Sedikit terkejut Arman akan melayangkan pertanyaan itu. Pikirannya lalu melayang ke setahun belakangan, yang penuh perjuangan untuk memupuskan perasaannya pada Sisil. Untungnya Daniel memiliki pekerjaan yang mengharuskan dirinya terus berpikir dan bergerak. Lumayan membantu menyelimur hatinya yang remuk karena mencintai Sisil. Waktunya tidak sebentar untuk menyabarkan perasaannya yang pernah tertolak. Butuh kerelaan dan pengakuan pada diri sendiri kalau Sisil tidak bisa memandangnya selain hanya sebagai teman.

"Lagi sedang banyak tuntutan di kerjaan aja," terang Daniel.

Alasan Daniel mungkin terdengar masuk akal, tapi bukan untuk Arman. Lelaki itu memperhatikan Daniel secara saksama. Seperti ada sesuatu yang dipahami lain oleh Arman. Namun, Arman tidak menjelaskan maksudnya bersikap seperti itu, dan membiarkan Daniel heran sendiri. Lelaki tiga puluh lima tahun itu lantas menepuk pundak Daniel, lalu berjalan ke arah Sisil dan Farid.

Ia dapat melihat wajah Sisil tersenyum di sana. Menyadari kehadirannya setelah diberitahu oleh Arman. Wanita itu segera masuk untuk menemuinya. Sisa minuman dalam gelas diteguknya hingga habis. Mencoba menetralkan perasaan senang bercampur sedikit gugup.

"Daniel!" seru Sisil yang senang dengan kehadiran Daniel. Ada momen canggung beberapa detik saat Sisil akan memeluknya, tapi urung dilakukan. Sehingga mereka berdua hanya berjabat tangan saja.

"Jam berapa sampai di Jakarta?"

"Tadi jam enam," jawabnya pendek, kemudian beralih pada Farid yang menyusul untuk menyapa. Berbasa-basi sebentar, lalu meninggalkannya bersama Sisil untuk melanjutkan obrolan berdua saja.

Daniel sekilas menatap punggung Farid yang bergerak menjauh. Mendapati bentuk utuh kesempurnaan ada pada lelaki itu. Pantas saja Sisil bisa dengan mudahnya terpikat. Ia ingat kala Sisil mengumumkan rencana pernikahannya hanya dalam waktu empat bulan berpacaran. Sangat di luar dugaan Daniel saat itu.

Sisil mengajaknya menikmati hidangan. Namun, Daniel tidak menaruh minat untuk makan, meski ia sebenarnya belum makan malam juga. Ia lebih tertarik memanfaatkan waktunya berbicara dengan Sisil. Berhadapan langsung dengan wujud asli dari wanita yang hingga saat ini masih ia cinta.

Rindunya yang selama ini menggumpal, seolah terdesak dalam hati. Hanya bisa menahan diri untuk tidak bersikap berlebihan di depan Sisil. Rupanya menahan cinta memang sangat menyesakkan.

"Pasti capek, ya." Sisil membuka obrolan. Mereka berdua sekarang duduk di kursi yang tersedia di area tepi kolam renang. "Baru sampai langsung ke sini."

"Apanya yang capek? Lagian di pesawat aku tidur aja, kok." Daniel mengatakannya dengan santai.

"Tapi beneran, lho, Dan. Aku kira kamu nggak akan bisa datang. Makasih, ya, kamu sudah mau datang," kata Sisil sembari mengulurkan tangannya ke atas meja, dan menepuk pelan punggung tangan Daniel. Lelaki dengan rambut berkucir itu tersenyum dan mengangguk.

Gelang di pergelangan tangan Sisil membuat Daniel teringat benda serupa yang tersimpan dalam saku celananya. Kalau dibanding dengan gelang yang dipakai Sisil sekarang, pastinya kalah jauh dari segi material dan harga.

"Farid yang kasih gelang ini. Bagus, ya," tukas Sisil saat menangkap arah pandang Daniel tertuju ke gelang miliknya.

"Oh, wow." Hanya itu yang keluar dari bibir Daniel.

Alis Sisil terangkat menanggapi reaksi Daniel. "Maksudnya?"

"Ya ... wow," kekeh Daniel kemudian menjelaskan, "Cocok banget dipakai sama kamu. Gelangnya cantik. Yang punyanya juga cantik."

"Aku harap kamu serius bilangnya."

"Memang serius. Aku nggak lagi bercanda bilang kamu cantik."

Sisil tertawa. "Terima kasih, deh, kalau gitu."

Sambil menggaruk pelipis, Daniel berpikir ulang untuk memberikan Sisil gelang yang kebetulan ia beli dari sebuah toko di Pulau Phu Quoc. Yang hanya seharga VND250.000, atau dalam kurs rupiah sekitar Rp160.000. Namun, akhirnya ia tetap mengeluarkan gelang itu.

"Sorry, hanya bisa kasih ini." Daniel meletakkan hadiah kecilnya yang terbungkus kertas karton berwarna cokelat itu di atas meja.

"Apa ini, Dan?" tanya Sisil antusias, lalu meraih hadiahnya.

"Buka aja," kata Daniel yang berspekulasi kalau Sisil akan menganggap biasa saja pemberiannya. Namun, ternyata ia salah mengira.

"Ya ampun ... bagus banget!" Sisil tampak senang menerima hadiah itu. Tangannya membolak-balik gelang yang dirangkai dari cangkang kerang berukuran kecil.

"Nggak sebagus gelang yang dikasih suami kamu."

Sisil berdecak. "Jangan kamu banding-bandingin gitu. Lagian aku suka banget gelang ini. Kamu, kan, udah tahu kesukaan aku. Thanks, Dan."

Daniel memang membelikan gelang itu, karena teringat Sisil yang sangat menyukai Ariel, tokoh animasi mermaid Disney. Bahkan ia sampai tergelak melihat Sisil kini sedang membaui gelangnya.

"Aroma laut," ucap Sisil lalu memakai gelang itu berdampingan dengan gelang emeraldnya. "Indah. Aku suka."

Apresiasi Sisil yang tulus atas pemberiannya membuat Daniel kehilangan kata-kata. Isi kepalanya seperti dilempar keluar, dan menyisakan kekosongan. Separah inikah efek samping dari menahan cinta?

"Tahu nggak, Dan. Aku kadang kangen untuk bisa ngobrol langsung seperti ini sama kamu."

Aku juga. Daniel membatin.

"Ternyata aku spesial banget buat kamu, ya. Sampai segitunya dikangenin," canda Daniel yang diikuti oleh tawa mereka berdua.

Saat sedang asyik mengobrol, tiba-tiba mereka dihampiri seseorang yang langsung menyapa keduanya. Daniel membalasnya dengan ramah, karena mengenali sosok wanita yang kemudian duduk di sebelah Sisil. Namun, lain dengan Sisil. Daniel bahkan heran menemukan perubahan pada wajah Sisil, yang sepertinya kurang menyukai kehadiran teman mereka itu.

•••

Jangan lupa follow akun Wattpad saya dan juga kalau mau ada saran silakan bisa dm Instagram @a.w_tyaswuri

Terima kasih


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro