Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[empat] c

03/10/2023
Part ini hanya sementara di Wattpad.
Nanti akan dihapus lagi

Selengkapnya tayang di Karya Karsa
Silakan klik tautannya di bio profil
Terima kasih

Setelah tamat di Karya Karsa akan terbit versi cetaknya.

Ditunggu ya 💜

Sisil terpukau melihat langit malam berbintang di atas sana. Hamparan megah langit yang meski tak terjangkau olehnya itu membuat sebagian alam sadarnya seperti sedang terbang melayang. Ia membiarkan tubuhnya terapung di atas permukaan air kolam renang. Merasakan air bergerak menopang tubuhnya yang diam telentang. Mengkondisikan diri agar rileks dan pasrah pada air. Menikmati ketenangan. Meresapi kesendirian pertambahan usia tanpa kehadiran Farid di sisinya.

Farid bilang lembur, tapi naluri Sisil berbicara lain. Meski begitu, ia tetap mencoba memercayai semua yang dikatakan Farid. Agar semua baik-baik saja. Rumah tangganya tidak bermasalah. Itu yang akan selalu ia yakini. Cinta memang bisa semembutakan itu. Merenggut akal dan mengubahnya menjadi bentuk penerimaan tanpa batas.

Namun, tiba-tiba terdengar teriakan menyebut namanya memecah keheningan. Diikuti suara sesuatu beradu dengan air. Konsentrasi Sisil otomatis terpecah. Belum sempat ia mengubah posisi, ada tangan yang menariknya dengan cepat.

"Sisil!" Teriakan itu terdengar lagi.

Tubuh Sisil langsung ditarik dan direngkuh ke dalam pelukan. Sisil kemudian melihat wajah Farid yang jelas sekali menyiratkan kekhawatiran.

"Kamu kenapa, sih, Rid?" tanya Sisil bingung.

"Kamu nggak apa-apa?!" Farid masih panik. Jemarinya merangkum wajah Sisil.

"Aku baik-baik aja, Rid."

"Ya Tuhan ... aku kira tadi kamu tenggelam!" desah Farid. Matanya terpejam sebentar untuk mencerna situasi ini..

Sisil menyadari kesalahpahaman yang sedang terjadi, lalu berusaha menenangkan suaminya.

"Aku nggak apa-apa," ujar Sisil sembari mengusap lembut rahang Farid.

Ia memperhatikan wajah di hadapannya yang basah oleh air. Kaca mata Farid entah di mana. Mungkin terlepas saat menyebur ke air. Namun, ia malah merasa senang, karena Farid ternyata mengkhawatirkannya.

Farid mengatur napas yang tersengal. "Kamu ngapain pakai berenang malam-malam segala? Kalau ada apa-apa gimana?"

Sisil tidak terlalu memedulikan luapan pertanyaan suaminya.

"Kalau tiba-tiba kamu tenggelam pas aku nggak ada di rumah. Gimana nasib ka-"

Kata-kata Farid terputus begitu Sisil tiba-tiba mencium bibirnya dengan penuh perasaan. Farid pun menjadi ikut terbawa suasana, lalu saling berbalas cumbuan. Mengetatkan pelukan, dan menikmati momen intim untuk beberapa jenak.

Tubuh Sisil menghangat. Sama seperti hatinya yang sempat senyap sebelum Farid datang. Rasa bahagia itu muncul seketika. Mengganti suram dengan secuil kelegaan.

"Aku senang kamu khawatir sama aku, Rid," bisik Sisil. Matanya menatap lurus, dengan kedua tangan dikalungkan ke leher Farid.

"Sudah seharusnya begitu. Karena kamu istri aku," ujar Farid. Jawaban yang sebenarnya tidak terlalu diharapkan Sisil.

"Apa nggak ada alasan lain?"

"Maksudnya?"

"Apa kamu ...." Seperti ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokan, dan membuat Sisil tak mampu untuk melanjutkan kalimatnya.

Apa kamu cinta sama aku? Sisil hanya mampu membatin.

Ia buru-buru menggeleng, dan tersenyum pada laki-laki pujaannya. Tidak penting lagi pertanyaan itu untuk dikatakan.

"Aku cinta banget sama kamu, Rid," ucap Sisil meski ia tahu akan tanpa berbalas.

Selama beberapa menit mereka berdua masih di tepi kolam renang. Sekadar bercumbu dan bermesraan. Setelah itu Farid mengajak Sisil ke dalam rumah. Terpapar udara malam terlalu lama tidak baik untuk kesehatan istrinya.

Sisil sedang bersiap menarik selimut, saat Farid masuk ke kamar dengan membawa secangkir teh hangat.

"Ini aku bikinin teh buat kamu." Farid meletakkan cangkir teh bermotif bunga itu di atas nakas, karena lebih mudah di jangkau oleh Sisil.

Farid kemudian naik ke tempat tidur. Ikut masuk ke balik selimut yang sama. Sisil meminum tehnya hingga menyisakan setengah di cangkir, lalu menoleh pada Farid yang tengah memperhatikannya.

"Aku benar-benar minta sama kamu, Sil. Tolong jangan berenang malam-malam lagi," kata Farid. "Aku masih nggak bisa ngerti kenapa kamu suka banget berenang di jam-jam yang nggak wajar."

Sisil menyesap tehnya hingga tandas, meletakkannya kembali di atas nakas, kemudian baru menanggapi permintaan Farid barusan.

"Kamu mungkin menganggap kebiasaan aku itu aneh. Tapi buat aku itu berguna, Rid." Sisil mengusap rahang Farid. Terasa agak kasar, karena bulu-bulu yang mulai tumbuh. "Ada hal yang kamu nggak perlu tahu kenapa aku perlu terus berenang. Walaupun itu di waktu yang kamu bilang aneh. Karena hanya itu yang bisa aku lakukan sekarang untuk ketenangan batin aku."

Sisil ingin sekali bisa menarik kata-katanya begitu melihat alis Farid terangkat.

"Kamu sedang ada masalah? Kenapa nggak bilang sama aku?"

"Nggak ada masalah apa-apa. Bukan itu maksud aku," kilah Sisil. Berusaha menutupi polemik hatinya. Ia tidak mungkin berkata kalau kekacauan dalam dirinya, karena memikirkan perselingkuhan Farid.

"Beneran nggak ada apa-apa? Kamu bisa cerita sama aku, Sayang."

Gelengan Sisil mempertegas kalau tidak ada masalah. "Hanya kadang-kadang merasa capek aja sama kerjaan kantor. Makanya aku perlu berenang buat ngelampiasin semuanya."

"Kayaknya kamu perlu liburan." Farid tersenyum sembari menggeser tubuhnya mendekati Sisil. "Kita bisa atur liburan ke tempat yang kamu suka. Kamu mau ke mana? Terserah kamu. Nanti aku usahain waktunya."

Usul Farid membuat Sisil berpikir kalau memang bukan hanya dirinya sendiri yang butuh berlibur, melainkan mereka berdua. Ia dan Farid perlu untuk menikmati waktu tenang berduaan.

Sisil lalu mengangguk. Menyambut ide liburan yang menurutnya akan menyenangkan sekali untuk mereka berdua. Bahasan destinasi liburan kemudian berganti dengan pelukan Farid. Diiringi ucapan ulang tahun pada Sisil.

"Selamat ulang tahun, ya, Sayang." Farid mengusap punggung Sisil. Menarik diri sedikit, lalu mengecup kening istrinya. "Doa yang terbaik buat kamu. Kalau perlu satu dunia aku kasih ke kamu."

Sontak saja, Sisil langsung menarik pelan hidung mancung Farid. Tersenyum geli dengan suaminya yang kerap bermulut manis. Namun, ia suka Farid yang seperti ini.

"Aku nggak pernah minta banyak dari kamu. Nggak perlu isi dunia. Aku cuma butuh kamu. Itu aja, kok."

"Dan ...." Farid menggantung ucapannya sebentar. Lelaki itu menatap Sisil, seolah ada yang ingin disampaikan, tapi masih dalam pertimbangan.

"Hm?" Sisil menunggu Farid menyampaikan maksudnya.

Farid mengambil sesuatu dari samping, lalu menyodorkan benda tersebut ke hadapan Sisil yang masih belum menduganya.

"Ini hadiah buat kamu," ujar Farid yang memberikan kotak berwarna hijau toska itu ke tangan Sisil.

"Eh? Masih ada hadiah lagi?" Sisil tak menyangka kalau Farid menyimpan kejutan lain. Selain bra berukuran besar yang sebelumnya sudah ia terima.

Farid menggaruk pelipis. "Hadiah ini yang sebenarnya buat kamu, Sayang."

"Memangnya yang sebelumnya kenapa?"

"Itu ...." Farid tampak berpikir, lalu lanjut berkata, "Yang bra itu aku hanya bercanda aja. Nggak mungkin aku kasih hadiah seperti itu ke kamu."

"Padahal aku suka sama branya. Bagus, kok. Tapi, ya, sayang aja memang agak kebesaran buat aku."

Farid terkekeh. "Maafin, ya. Soalnya aku nggak hapal ukuran dada kamu."

"It's okay. Malah tadinya aku sempat kepikiran jangan-jangan bra itu bukan buat aku."

Sama sekali tak ada maksud yang menjurus ke hal lain saat Sisil mengatakannya. Tercetus begitu saja, sekadar bagian dari candaan. Namun, Sisil sempat melihat sedikit perubahan ekspresi di wajah suaminya. Saat ini Sisil sedang tidak mau menduga-duga. Ia mencoba menepis pikiran buruk itu, dan segera membuka hadiahnya. Matanya seketika berbinar.

"Cantik banget! Makasih, Farid!" pekik Sisil. Ia langsung memeluk Farid, sambil masih memegangi kotak berisi gelang yang dibiarkan terbuka.

Farid kemudian mengambil gelang emas putih bermata lima buah batu emerald tersebut dari dalam kotak. Kemudian mengaitkan kedua ujung bagian rantai gelang di pergelangan tangan Sisil.

"Padahal kamu nggak usah repot-repot sampai beliin aku gelang ini. Pasti mahal banget" kata Sisil. Matanya tak lepas mengagumi perhiasan cantik yang kini terpasang di tangannya.

Dilihat dari nama produsen perhiasan ternama yang tercetak di kotak, tentunya gelang ini bukanlah hadiah yang murah. Padahal Sisil paham dengan kondisi keuangan Farid yang sedang berhemat. Mereka berdua sedang giat menabung setelah banyak menghabiskan dana untuk resepsi pernikahan, perjalanan honeymoon, sampai mengisi rumah ini dengan beragam furnitur. Dan Sisil sudah berpikir panjang demi mengatur penghasilannya dan Farid sebaik mungkin. Mempersiapkan segala sesuatunya yang terbaik untuk buah hati mereka kelak.

"Nggak mungkin aku kasih hadiah yang biasa aja untuk kamu." Farid tersenyum mesra. Jarinya melerai helai rambut Sisil yang belum sepenuhnya kering.

"Kalau gitu apa aku masih boleh minta hadiah yang lain?" tanya Sisil. Kepalanya merebah di dada sang suami.

"Boleh, dong. Kamu mau apa?" tanggap Farid.

Sebelum mengutarakan keinginannya, Sisil terdiam. Mendengar tarikan napas Farid seperti sebuah irama. Terbersit pemikiran kalau seharusnya hal yang diinginkannya tidak perlu ia minta lagi, karena sudah menjadi kewajiban Farid sebagai suami untuk melakukannya.

"Jangan pernah tinggalin aku."

"Hanya itu?" Farid memastikan.

Sisil mendongak menatap Farid, dan mengangguk. "Nggak berat, kan?"

"Lagian kenapa aku harus tinggalin kamu?"

"Tapi kita nggak pernah tahu kejadian apa yang menunggu kita di masa depan. Aku takut kalau sampai sendirian ditinggal kamu."

"Kamu jangan berpikir yang aneh-aneh."

"Manusia bisa aja berubah. Termasuk kamu."

"Kenapa kamu sampai terpikir aku nanti berubah?"

Karena aku bukan wanita satu-satunya untuk kamu, benak Sisil menjawab.

"Janji sama aku, Rid," Sisil mengabaikan pertanyaan Farid, "kamu nggak akan pernah pergi ninggalin aku."

Farid mencium puncak kepala Sisil dan menyanggupi permintaannya.

"Iya. Kita terus sama-sama. Aku nggak akan meninggalkan kamu, Sayang."

Janji yang terucap dari bibir Farid membuat Sisil lega. Sisil percaya, Farid pasti menepati janjinya.

•••


Waktu sudah memasuki jam makan siang, tapi Sisil masih menyelesaikan pekerjaannya di balik kubikel. Jemarinya masih lincah menyentuh huruf-huruf di keyboard laptop. Sesekali mengusap leher sebelah kanan, yang sengaja ia tutupi dengan helaian rambut. Ia tak mau rekan kerjanya menemukan tanda kemerahan di sana. Jejak intim yang dibuat Farid tadi pagi.

Mengingat apa yang ia lakukan bersama Farid di saat mereka seharusnya menikmati sarapan, mau tak mau membuatnya merasa panas sekaligus malu sendiri. Sensasi yang ia rasa kali ini memang berbeda dari biasanya. Melakukan hubungan seks di atas meja makan merupakan hal yang baginya tidak sopan, tapi ternyata bisa menyenangkan.

Entah apa yang ada di dalam kepalanya, sampai mau melakukan hal itu di tempat yang bukan sewajarnya. Bahkan sekarang ia masih bisa dengan jelas mengingat deru napas Farid, basah lidahnya, dan punggung kuat suaminya yang menerima banyak tekanan dari kuku jari yang ia hunjamkan saat bagian intim miliknya dimasuki.

Sisil buru-buru menggeleng. Menghapus pikiran erotis yang mendikstrasinya. Namun, terbersit pikiran lain. Apa wanita-wanita lain itu juga merasakan yang sama setelah melakukan seks dengan Farid?

Memikirkan segala kemungkinannya malah menambah sesak benaknya saja. Sisil menghentikan kegiatan. Menyandarkan punggung pada kursi, lalu mengamati fotonya bersama Farid yang sengaja ia tempel di dinding kubikel.

Pandangannya lalu beralih pada paper bag mungil berisi scarf, yang diberikan oleh Camila sebagai hadiah ulang tahun. Mungkin ia bisa langsung memakainya sekarang. Akan sangat membantu menutupi kissmark di lehernya.

"Kamu nanti langsung ke rumahku, Mil?" Sisil bertanya pada Camila yang bersebelahan dengan kubikelnya. "Nggak bareng Keenan?"

"Nggak." Camila menjawab singkat, sambil masih tetap fokus menatap layar laptop.

Ulang tahun Sisil dirayakan nanti malam. Hanya sebuah perayaan kecil dengan mengundang kerabat dan teman-teman terdekat saja. Itupun atas inisiatif ibu mertuanya. Sisil hanya tinggal menerima beres, karena Farid dan Fatma yang menyiapkan semua keperluan untuk acara ulang tahunnya.

Namun, Sisil tidak berharap Nadia datang. Ia sudah mencoret nama Nadia dari daftar temannya, sejak tahu skandal terlarangnya dengan Farid. Ia tidak akan pernah lagi sanggup untuk melihat langsung wanita itu. Baginya, Nadia sama saja dengan pencuri. Nadia tega mencuri miliknya yang paling berharga.

Dan Sisil mulai berpikir mengenai Camila. Tentang betapa beruntungnya Camila dicintai oleh Keenan, meski ia yakin kalau wanita itu mungkin belum memiliki rasa cinta yang sama.

Sedangkan keadaannya malah berbanding terbalik. Ia harus berusaha keras menjaga hubungannya dengan Farid. Bersusah payah untuk mencintai. Terus berpura-pura segalanya baik-baik saja.

"Mila," panggil Sisil.

"Ya?" sahut Camila.

"Seberapa besar rasa cinta kamu sama Keenan?" Bahkan ia sendiri heran kenapa tiba-tiba tercetus pertanyaan ini.

Camila tidak serta merta menjawab. Ada jeda beberapa detik hingga rekan sekantornya itu bersuara, "Aku nggak tahu, Sil."

"Kok, bisa nggak tahu?"

"Apa itu bisa diukur? Aku rasa, kita nggak bisa mengukur yang menyangkut urusan hati."

"Mungkin bisa dengan kamu bikin perbandingan. Misalnya kamu lebih suka buah apel daripada jeruk. Atau kamu lebih suka warna biru daripada merah."

"Tapi, kan, nggak semudah itu dibandingin."

Sisil mengerti kalau Camila sedang menghindar untuk menjawab, karena sebenarnya mereka berdua sama-sama menutupi sesuatu.

"Aku kadang iri sama kamu. Keenan pasti nggak akan pernah ada habisnya mencintai kamu," cetus Sisil, yang tahu bagaimana Keenan selama ini berusaha keras mendekati Camila.

"Kenapa harus iri? Padahal kamu punya Farid," ujar Camila yang tidak tahu kalau raut wajah Sisil berubah muram.

Giliran Sisil yang bingung untuk menanggapinya. Tanpa sadar ia meremas ujung blouse-nya hingga kusut.

"Aku hanya berpikir kalau jangan sampai menyia-nyiakan orang yang udah tulus mencintai kita. Apalagi hanya demi masa lalu yang belum bisa dilepas."

Sisil sadar kalau kata-katanya mungkin menyinggung Camila. Namun, ia berempati pada Keenan, karena dirinya paham rasanya mencintai orang yang tidak seutuhnya balik mencintai itu sangat melelahkan.

•••☆•••

Yang belum kenal Camila, silakan baca ceritanya di CAMILA

Terima kasih banyak untuk pembaca yang masih setia mendukung cerita ini 💜💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro