empat [b]
Jangan lupa follow akun Wattpad saya ya 💜
03/10/2023
Part ini hanya sementara di Wattpad
Nanti akan dihapus lagi
Selengkapnya di Karya Karsa
Silakan klik tautannya di bio profil atau wall akun ini
Terima kasih ❤
••☆••
"Kamu kasih kado apa untuk Sisil?" Pertanyaan itu keluar dari seorang wanita paruh baya yang sedang menghidangkan secangkir kopi di meja. Kemudian ikut duduk di sebelah putra semata wayangnya yang bagi wanita itu adalah anak baik paling tampan sedunia.
Farid memindahkan pandangannya dari layar ponsel. Tersenyum pada sang ibu yang ingin tahu soal hadiah ulang tahun istrinya.
"Sebenarnya Sisil nggak minta apa-apa, Ma," ujar Farid sembari meraih kuping cangkir, dan mendekatkannya ke mulut. Masih panas sekali. Sehingga ia urung minum dan meletakkannya kembali ke atas meja. "Jadi nggak dikasih kado juga nggak apa-apa sebenarnya."
"Astaga Farid ...." Tanpa aba-aba lagi, Fatma langsung menjewer telinga anaknya. "Terus kamu nggak beliin apa-apa gitu?"
"Ya maksudnya aku nggak gitu juga, dong, Ma," kekeh Farid sambil melepaskan telinganya dari sasaran gemas sang ibu.
"Terus maksud kamu gimana?"
"Aku tetap beliin, kok." Farid tersenyum, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Fatma. "Mama tenang aja. Menantu kesayangan Mama pasti senang dan suka sama hadiah yang aku kasih."
Fatma tersenyum. Wanita yang masih terlihat cantik di usia kepala lima itu, mengelus lembut punggung Farid.
"Ini baru anak Mama yang pintar membahagiakan istrinya. Mama selalu bangga sama kamu, Rid," ujar Fatma yang begitu senang dengan sikap Farid. Menurut pandangan Fatma, Farid telah berhasil menjadi sosok suami yang baik untuk Sisil.
Farid hanya tersenyum. Memaklumi ibunya yang begitu perhatian pada Sisil. Fatma sudah menganggap Sisil selayaknya anak kandung sendiri daripada menantu.
"Mama siapin makanan buat kamu sama Sisil, ya. Nanti kamu bawa pulang, untuk makan malam kalian di rumah," kata Fatma.
"Nggak usah, Ma. Soalnya aku dari sini nggak langsung pulang ke rumah," tolak Farid.
"Memangnya kamu mau ke mana?"
"Ada janji ketemu sama teman, Ma."
Farid kembali mengangkat cangkir kopinya. Tanpa kentara ia sedang menutupi sesuatu dari Fatma. Ibunya tidak akan pernah mengira kalau teman yang dimaksud Farid adalah Gisca. Teman wanita yang akan menemaninya malam ini.
"Jangan pulang kemalaman. Kasihan Sisil sendirian di rumah."
Farid mengiyakan saran Fatma, walau ia sendiri tidak yakin bisa sebentar meluangkan waktunya bersama Gisca. Ia butuh berlama-lama bersama wanita lain, karena pikirannya saat ini sedang dipenuhi tentang Nadia. Kalau di rumah, ia harus melihat Sisil, lalu berperan sebagai suami yang penuh cinta. Harus mengelabui hatinya yang selama ini bukan untuk Sisil. Lama-lama lelah itu menyergapnya, tapi ia tidak bisa berpaling dari Sisil. Semua itu demi ibunya.
Fatma adalah alasan terbesar Farid ketika berkeinginan menikahi Sisil. Berawal dari pertemuan yang tak disengaja dengan Fatma, di saat keduanya sedang berkencan. Kemudian berlanjut dengan permintaan Fatma untuk mengundang Sisil berkunjung ke rumah.
Tadinya Farid sama sekali tidak berencana membawa hubungannya dengan Sisil ke tahap yang lebih serius. Berencana bermain-main sebentar, tapi kemudian baru Farid ketahui kalau Sisil bukan golongan wanita yang bisa diajak tidur sembarangan. Malah Sisil lebih memenuhi kriteria sebagai calon istri. Yang pada saat itu belum terpikir oleh Farid untuk menikah.
Namun, Sisil berhasil merebut hati Fatma. Ibunya memiliki penilaian kalau Sisil cocok dengan Farid. Sehingga berharap banyak Farid akan memperistri Sisil. Fatma sudah berharap banyak akan ada kelanjutan dari hubungan yang awalnya tidak Farid seriusi. Keantusiasan Fatma terhadap Sisil, menjadi tolak ukur bagi Farid sampai akhirnya mengambil keputusan melepas masa lajangnya yang barbar.
Farid senang kalau ibunya bisa bahagia dengan pernikahannya ini. Meski pernikahan yang dijalaninya sekarang bukan berlandaskan dari hati. Mengingat cintanya bukan untuk Sisil.
"Tahu nggak, Rid," Fatma mengusap punggung tangan putranya, "setiap selesai sholat, yang pertama kali Mama doakan itu adalah doa untuk kamu dan Sisil. Mama minta ke Tuhan, semoga kamu selalu bahagia selamanya sama Sisil. Sampai nanti kalian jadi kakek nenek."
Senyum Farid mengembang mendengar hal tersebut. Ia tak pernah menyangsikan doa ibunya. Fatma kerap mengorbankan kepentingan dirinya sendiri. Setiap kerutan di wajah yang tetap cantik itu, merupakan bukti dari sebuah proses kehidupan yang tidak mudah.
"Mama bisa lega, karena kamu punya kehidupan rumah tangga yang baik. Nggak seperti Mama dulu," ucap Fatma diiringi usapan lembut di lengan Farid.
Walau samar, tapi Farid menangkap sorot pedih di mata Fatma. Sisa-sisa kepahitan yang ditorehkan oleh masa lalu.
"Terima kasih, kamu sudah menjadi seorang suami yang baik untuk istri kamu."
Farid tidak berkata apa-apa. Lidahnya kelu. Hatinya terenyuh. Mengingat masa lalu yang meninggalkan sakit hati mendalam pada ibunya. Dikecewakan oleh perselingkuhan ayahnya yang berulang.
Dan apa yang sudah dilakukan ayahnya dahulu, sekarang sedang dilakukannya juga.
•••
Dari rumah ibunya, Farid langsung berkendara menuju klub malam di area Kuningan. Ia dan Gisca mempunyai janji bertemu di sana. Menghabiskan malam bersama Gisca, dan membiarkan Sisil melewati malam pertambahan usianya sendiri.
Apa dengan begitu ia bisa disebut lelaki tak berperasaan?
Menyangkut hal tersebut, Farid merasa telah menjalani perannya sebagai suami yang baik untuk Sisil. Yang penting Sisil menganggap pernikahan mereka sempurna, baik-baik saja, tanpa masalah.
Bukankah itu sudah cukup?
Sisil bahagia, dan Farid tetap bebas menjalani kehidupannya sebagai lelaki petualang. Bersetia tanpa harus benar-benar setia. Mungkin akan berbeda keadaannya kalau Nadia yang menjadi pendamping hidupnya. Semua petualangannya pasti akan ia akhiri. Namun, cinta yang ia mau saja enggan menghampiri, lantas buat apa ia harus menyerahkan diri seutuhnya pada wanita yang tidak dicintainya.
"Mama bisa lega, karena kamu punya kehidupan rumah tangga yang baik. Nggak seperti Mama dulu." Perkataan Fatma tiba-tiba terngiang.
Ayahnya yang kini sudah menyatu dengan tanah, dulu sering menyakiti Fatma secara fisik maupun mental. Laki-laki itu berulang kali berselingkuh. Membuat ibunya banyak memendam rasa sakit hati. Ditambah perlakuan kasar sang ayah yang sering ia lihat dengan mata kepala sendiri. Bertahun-tahun ia harus memendam segala penderitaan ibunya dalam diam.
Yang bisa Farid kecil lakukan saat itu hanya berdoa agar ibunya segera berpisah. Mungkin mereka berdua bisa pergi ke tempat lain yang jauh. Sejauh-jauhnya, sampai ayahnya tidak akan bisa menemukan mereka lagi. Namun, doanya ternyata terwujud dengan cara lain. Sebuah kecelakaan tunggal merenggut nyawa ayahnya dengan cepat.
Farid tidak pernah menangisi kepergian ayahnya. Yang terpenting baginya hanya kebahagiaan Fatma tanpa laki-laki si pembawa kesakitan. Kehidupan dua puluh tiga tahun lalu sudah Farid tutup dengan banyak kebahagiaan dengan sang ibu. Walaupun jejak traumatis tersebut nyatanya mengendap dalam dirinya.
Wanita-wanita yang pernah ia tiduri tanpa ia sadari hanya sebagai pelampiasan dari segala hal yang membuatnya dulu dicengkram kekecewaan. Menganggap mereka serupa dengan wanita yang pernah menjadi pihak ketiga di pernikahan orang tuanya. Terkecuali Nadia, wanita yang ia cintai. Terkecuali Sisil, wanita yang menjadi istrinya.
Begitu mobilnya sudah berhenti di area parkir klub malam, Farid tak lupa membawa paper bag berisi hadiah yang disiapkannya untuk Gisca. Sebuah bra yang iseng ia beli sebagai kejutan kecil untuk teman kencannya itu. Namun, tiba-tiba ia menyadari sesuatu. Isi paper bag itu berbeda dari apa yang seharusnya ia berikan ke Gisca.
"Ah, sialan!" Farid mengumpat saat menarik keluar benda yang ada di dalam paper bag.
Kotak berisi perhiasan ini semestinya ada di rumah, dan menjadi hadiah untuk Sisil. Bukannya malah bra yang ukurannya pasti berbeda jauh dengan kepunyaan Sisil.
Farid menggaruk pelipisnya. Jadi bingung sendiri. Apalagi ia tadi sengaja meletakkan kadonya di tempat yang pasti akan dijangkau Sisil. Sehingga besar kemungkinan kalau sekarang Sisil sudah menemukan kado-kadoan berisi bra itu.
Di tengah kebingungannya menyiapkan alasan yang tepat, ia malah terpikir menelepon Keenan. Ia sendiri tidak tahu apa fungsi Keenan dengan masalahnya ini. Yang sebenarnya peran teman baiknya dalam menyimpan segala kebobrokan dirinya cukup bisa diandalkan.
"Ada apa?" Suara Keenan muncul di ujung telepon. Sayup-sayup terdengar suara lain di sekeliling Keenan. Sepertinya laki-laki itu sedang berada di tempat umum.
"Gue harus gimana coba, Kin?" Farid langsung ke inti permasalahan, "Gue salah kasih kado buat Sisil. Masa iya gue kasih dia bra ...."
Farid menceritakan kronologinya. Kepalanya bersandar di jok, sambil mengusap bagian belakang leher.
"Kok, bisa tertukar?"
"Yah, mana gue tahu, kan. Mungkin kebetulan pas lagi bego aja gue," tukas Farid lalu melanjutkan perkataannya, "Lo ada ide, Kin? Alasan apa yang bisa gue kasih ke Sisil?"
"Ngapain lo tanya ke gue? Lo harusnya jangan sampai teledor gitu."
"Bantu gue mikir alasan yang kira-kira pas kenapa bisa sampai ada bra yang jadi hadiah."
Keenan berdecak. Terdiam sebentar, lalu berujar, "Ya udah, lo anggap aja branya itu memang buat dia."
"Ukurannya mereka beda jauh, Kin. Lo paham, kan, punya si Gisca besar."
"Gue nggak paham," sanggah Keenan yang terdengar tanpa minat.
"Masa masalah begituan aja lo nggak paham, Kin?" Farid setengah berseloroh menanggapinya.
Bila dibandingkan dengan Farid, Keenan Altair memang berbeda haluan seratus delapan puluh derajat. Laki-laki yang berprofesi sebagai dokter itu, hingga usia kepala tiga masih memegang teguh prinsipnya untuk tidak pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Seks bebas sama sekali tidak ada dalam kamus hidup seorang Keenan. Memilih wanita bukan perkara untuk main-main semata, yang bisa digunakan sekali pakai. Keenan lebih menghargai arti kesetiaan yang hanya diberikannya untuk satu wanita saja.
Perbedaan kutub cara pandang keduanya dalam menjalani hidup, tidak merenggangkan persahabatan yang sudah terjalin erat sejak lama. Masing-masing mengurusi kepentingan sendiri, selama itu tidak merugikan yang lain. Meski Farid bisa dibilang versi paling tidak baik dari seorang laki-laki yang setia, tapi sebagai teman ia merupakan versi terbaik bagi Keenan. Begitupun sebaliknya. Tanpa Keenan tahu kalau ada bom waktu yang dirahasiakan oleh Farid. Apalagi kalau bukan menyangkut hubungan semalamnya dengan Nadia. Itulah kali pertama Farid menciderai hubungannya dengan Keenan.
"Dada perempuan aja lo masih belum bisa bedain, Kin." Farid tergelak.
"Sorry, Rid. Gue lagi di luar sama Camila. Jadi lebih baik lo pulang aja sekarang dan berdoa, Sisil belum buka kado itu."
"Oh, lo lagi sama Camila." Farid menggaruk pelipisnya. Baru menyadari posisi Keenan.
"Iya. Gue sama dia lagi dinner."
Situasi Keenan yang sedang bersama Camila membuat Farid tahu diri untuk tidak lebih lama lagi mengganggu makan malam mereka. Sudah pasti bukan pada tempatnya membahas masalah buah dada, di saat temannya itu sedang mengusahakan masa depan pada wanita yang dicintai.
"Seperti yang gue tadi bilang, lo sekarang pulang. Daripada sama ...." Kalimat Keenan menggantung, tapi lalu berlanjut lagi, "yang entah siapa lagi itu namanya. Jauh lebih tepat lo lewatin malam ini sama Sisil."
Farid tak berkata apa-apa lagi, lalu mengakhiri pembicaraan. Ponsel masih ia genggam. Sedangkan tangan yang lain bertumpu pada sisi kaca jendela mobil, dan menyangga kepalanya. Ia melempar pandangan ke luar mobil. Mencerna saran Keenan, tapi tidak mudah untuk ia realisasikan. Ia sekarang butuh mengisi dirinya dengan wanita lain. Bukan Sisil.
Selang beberapa saat, ponselnya berbunyi. Tanda ada pesan Whatsapp yang masuk. Nama Sisil muncul di bilah notifikasi paling atas. Farid tertegun sejenak, yakin akan mendapat chat bernada kecewa dari istrinya. Namun, ternyata tidak seperti yang diduga.
• terima kasih ya
• aku suka hadiahnya
• ❤❤❤❤
Kening Farid mengernyit begitu membacanya. Setengah tak percaya, tapi memang seperti itu adanya isi chat dari Sisil. Farid baru saja berniat menelepon Sisil, tapi lebih dulu disela panggilan telepon dari Gisca yang memintanya segera masuk ke klub.
Farid tak mau ambil pusing lagi mengenai persoalan hadiah yang tertukar. Nanti juga ia akan menjelaskannya. Sisil pasti akan bisa memaklumi dengan alasan apa pun itu yang ia katakan.
•••
Farid tiba di rumah pukul dua dini hari. Sebelum keluar dari mobil, ia berganti pakaian terlebih dulu dengan kemeja yang tadi pagi dikenakannya saat di kantor. Sedangkan sebelumnya, ia memang sengaja menyiapkan pakaian lain saat tadi bertemu Gisca. Semampunya berhati-hati agar tidak meninggalkan jejak wanita lain yang dapat terendus oleh Sisil.
Tak lupa paper bag berisi kado Sisil dibawanya juga masuk ke rumah. Ia sudah memikirkan alasan yang paling masuk akal untuk kesalahannya ini. Suara pintu bagian depan yang baru dibukanya mengisi kesunyian. Di jam selarut ini, tentu Sisil sudah tertidur pulas.
Farid melenggang masuk, berjalan menjejaki anak-anak tangga menuju kamarnya. Ia mendorong daun pintu kamar pelan-pelan. Lampu kamar menyala terang, sehingga Farid bisa melihat dengan jelas kalau tempat tidurnya kosong. Tidak ada Sisil di sana.
Ia lalu meletakkan benda yang sedari tadi dijinjing di atas sofa. Kemudian melepas bagian kancing di pergelangan tangannya, sambil berjalan ke kamar mandi. Namun, tidak ada Sisil juga di sana.
Kemungkinannya hanya ada dua. Yang pertama, Sisil tidak ada di rumah. Namun, istrinya itu tidak mungkin pergi tanpa memberitahunya. Sehingga kemungkinan yang kedua kalau Sisil ada di kolam renang menjadi jauh lebih masuk akal. Mengingat kebiasaan Sisil yang sering kali berenang meski di waktu yang tidak wajar.
Farid bergegas ke luar kamar dan turun ke lantai bawah untuk memeriksa keberadaan Sisil. Dan benar saja, pintu yang menjadi penghubung antara area dalam dengan bagian belakang rumahnya itu terbuka. Menandakan kalau sekarang Sisil pasti sedang ada di kolam renang.
Farid sudah bersiap menegur Sisil karena lagi-lagi berenang di jam selarut ini. Matanya beredar ke sekeliling area kolam renang yang pencahayaannya tidak terlalu terang. Namun, apa yang kemudian ia temukan membuat Farid terkejut setengah mati. Tubuh Sisil tampak mengambang di atas air.
"Sisil!" Farid berteriak panik. Tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menceburkan diri untuk menyelamatkannya.
•••☆•••
Bagaimana kelanjutannya?
Tunggu di bab selanjutnya ya ❤
Jangan lupa like cerita ini
Terima kasih banyak
Find me on Instagram @a.w_tyaswuri
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro