empat [a]
03/10/2023
Part ini hanya sementara di Wattpad
Nanti akan dihapus lagi
Kelanjutannya sudah tayang di Karya Karsa klik tautannya di bio profil ❤
Terima kasih banyak dan sehat selalu ya❤❤
•••☆•••
Tangan Sisil menggapai tepian kolam renang. Menarik diri hingga bagian dadanya menyentuh sisi dinding kolam. Ia agak dibuat tersengal setelah menuntaskan dua puluh putaran bolak balik tanpa jeda. Dan masih tersisa sepuluh putaran lagi agar memenuhi target yang dibuatnya.
Sekelilingnya diliputi hening. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar mengisi ruang terbuka di malam hari. Namun, sebuah suara lain tiba-tiba terdengar.
"Jangan diforsir, Sil."
Sisil menarik kacamata renangnya ke atas dahi. Meraup sisa air di wajah, lalu pandangannya mengarah pada ponsel, yang sebelum tadi turun ke air sudah ia pasang pada phone holder. Di dalam layar ponsel, ada Daniel sedang memperhatikan sambil bertopang dagu. Lelaki berambut gondrong sebahu itu sejak awal sudah menemani aktivitas renangnya lewat video call.
"Tinggal sepuluh putaran lagi," ujar Sisil. Tangannya kini terlipat pada bibir kolam, sambil menyelaraskan tarikan napasnya.
"Nggak pernah berubah, ya. Selalu ujung-ujungnya nyebur ke air. Apa kamu nggak mau coba cari cara lain untuk menenangkan diri?" usul Daniel sembari membuka segel tutup botol air mineral kemasan.
"Aku lebih suka begini."
Tonjolan di bagian tengah leher Daniel ikut bergerak saat meneguk isi botolnya. Setelah itu Daniel berkata lagi, "Berenang malam-malam begini yang ada kamu malah jadi masuk angin. Terus kerokan sampai punggung kamu malah jadi mirip bekas cakaran macan."
Sisil terkekeh menanggapi candaan Daniel. Di dalam air, kakinya terayun ke samping. Berpikir tentang kemungkinan menemukan cara lain untuk memulihkan kesemrawutan pikirannya. Namun, bagi Sisil tidak ada yang lebih baik selain dengan berenang. Mencoba menyelimurkan segala kegelisahan dengan melebur jadi satu dalam air. Membiarkan air memeluk bagian terapuh dirinya.
"Aku lanjut dulu," tukas Sisil yang mengabaikan gelengan kepala Daniel.
Ia berbalik badan, sedikit membetulkan posisi swim cap, dan menurunkan kembali kaca mata renangnya, lalu meluncur dengan anggun memasuki air. Otot tangan dan kakinya bergerak ritmis membelah air kolam yang pekat oleh malam.
Harus begini. Berulang-ulang. Membuang sesak di dadanya yang akan terlampau sakit jika tidak ia usahakan untuk hilang. Pandangan di depannya hanya diisi oleh warna gelap. Namun, ia tetap tahu harus menuju ke mana. Terus bergerak lurus untuk mencapai tepi. Begitupun pernikahannya bersama Farid. Tujuan hidupnya hanya ada bersama lelaki itu. Tidak ada yang lain.
Setelah targetnya tercapai, Sisil naik ke pinggir kolam. Diikuti luruhnya air seiiring tubuhnya yang mulai terangkat. Hawa dingin langsung menyergap kulit. Meremangkan bulu kuduk yang sebelumnya terasa lebih hangat saat di dalam air. Sambil melangkah, ia melepas swim cap dan kacamata renangnya. Kemudian meraih handuk yang tersampir di kursi panjang. Mengeringkan tubuhnya sebentar, lalu memakai bathrobe berwarna abu-abu yang juga ada di sana.
Sisil mengambil ponselnya, kemudian duduk berselonjor kaki di atas kursi. Daniel masih setia menungguinya dari balik layar ponsel yang sekarang sudah Sisil pegangi. Lanjut mengobrol tentang hal-hal yang masing-masing dari mereka berdua akrabi selama ini.
Tentang kegiatan yang mereka lakukan, tentang cuaca di Jakarta yang tidak secerah di tempat Daniel berada sekarang, tentang pantai-pantai di Pulau Phu Quoc yang tidak seramai pantai di Ancol, juga hal-hal remeh seperti menu yang tadi siang sempat mereka santap.
Namun, tidak termasuk masalah rumah tangganya. Sisil masih menutup rapat tentang itu. Yang ingin ia tampilkan di depan Daniel adalah versi dirinya yang bahagia bersama Farid.
•••
Daniel tidak mengungkit perihal masalah yang sedang membelit Sisil beberapa waktu lalu. Sisil juga tidak memberitahu secara lugas tentang hal apa yang membuatnya menangis saat itu. Namun, melihat orang yang dikenalnya dekat sedang bersedih, bukanlah sesuatu yang lantas hanya dianggapnya sebatas angin lalu saja.
Ada sesuatu yang membuat Sisil terluka. Daniel yakin, sesuatu itu bukan hal sepele. Alih-alih, Sisil beralasan kalau tangisnya disebabkan oleh pikirannya yang sedang tak menentu. Efek dari premenstrual syndrome.
"Kamu benar, Dan. Aku nggak bisa menyembunyikannya lagi dari kamu."
Daniel mengingat air mata Sisil yang jatuh. Sorot sedih yang tidak bisa ditutupi pada kedua netranya. Baru pertama kali ia melihat Sisil serapuh itu. Ia bertanya-tanya dalam hati. Menerka masalah yang sedang dialami Sisil. Dan semakin ia memikirkannya, malah memperparah keinginan untuk melindungi dari apa pun ketidakberesan yang membuat air mata Sisil sampai jatuh.
Akan tetapi, ia harus menyadari kalau bukan dirinya yang memegang kuasa tersebut. Ia sekarang hanya orang asing di luar dunia Sisil dan Farid.
Lelaki itu sudah menyukai Sisil sejak mereka bersekolah di SMA yang sama. Di mana Sisil saat itu adalah adik kelasnya. Daniel tidak akan pernah bisa lupa senyum gugup Sisil, ataupun sikap malu-malunya ketika berdiri di atas podium di depan banyak orang, yang kemudian berubah menjadi sosok berbeda begitu kalimat demi kalimat meluncur lancar dari bibirnya.
Daniel benar-benar jatuh hati pada Sisil. Walaupun sayangnya Sisil pernah menolak pernyataan cintanya. Namun, hingga detik ini Sisil masih menempati bagian khusus di hatinya. Enggan untuk pergi.
"Akhir tahun nanti, aku rencananya mau ke Maya Bay." Daniel menyebut nama salah satu pantai di Thailand. Tepatnya di Pulau Phi Phi Leh.
"Ada syuting lagi di sana?" tanya Sisil. Daniel mengikuti pergerakan tangan wanita itu yang merapatkan bagian depan bathrobe.
Daniel menggeleng. "Bukan. Aku malah mau ambil cuti. Sekali-kali mau menikmati waktu bebas."
"Sendirian?"
"Memangnya kamu ikut nemenin?" Pertanyaan itu meluncur, meski Daniel tahu jawaban yang diterima akan seperti apa.
"Mau."
Punggung Daniel menegak seketika. Menatap layar ponsel dengan pandangan tak yakin.
Wajah cantik di hadapannya tersenyum, dan melanjutkan ucapannya, "Aku juga bisa ajak Farid, kan. Kita bisa liburan bareng-bareng. Pasti seru."
Bahu Daniel merosot. Dalam hati tidak berharap kehadiran Farid. Manusia di muka bumi yang paling dihindarinya. Ia lebih baik melewati liburan sendirian, daripada nanti hatinya harus terbakar.
Lelaki tiga puluh tahun itu diam-diam mendesah. Tangannya meraih botol air mineral yang tinggal sedikit, lalu menandaskannya dalam sekali teguk.
"Kamu mau hadiah apa?" tanya Daniel yang sedang berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Ia tidak akan lupa dengan hari ulang tahun Sisil di pekan ini.
Sisil mengedikkan pundak. "Nggak ada."
"Masa nggak mau apa-apa?"
"Beneran nggak ada," ujar Sisil.
"Sebutin aja."
Namun, Sisil tetap menggeleng. "Farid juga sama kayak kamu. Kemarin sempat tanya aku mau hadiah apa. Tapi aku nggak butuh hadiah, Dan."
Daniel sedikit mengubah posisi duduknya. Merasa jengah ketika lagi-lagi ada nama Farid disebut di antara mereka berdua.
"Aku cuma butuh kehadiran kamu. Kita sudah lama nggak ketemu, kan, Dan. Apa kamu bisa?"
Tentu Daniel bisa. Jadwal syutingnya di Vietnam akan berakhir dua hari sebelum hari ulang tahun Sisil. Sehingga ia punya sisa waktu untuk segera pulang ke Indonesia. Namun, yang masih mengganjalnya adalah ketika harus bertemu dengan Sisil dalam posisi sudah menjadi istri orang lain.
Selama ini ia selalu menghindar sejak Sisil mulai berpacaran dengan Farid. Termasuk ketiakhadirannya di pernikahan Sisil yang memang disengaja. Daniel lebih memilih ikut terbang ke Papua. Berpetualang menjelajahi hutan dan rawa, dibanding melihat langsung wanita yang dicintainya mengikat janji suci dengan orang lain. Menjauh dirasa lebih baik baginya.
"Bisa, kan?" Suara lembut Sisil mengikis pertahanan dirinya.
Daniel kemudian mengangguk. Hatinya tidak bisa dikelabui. Ia sangat merindukan Sisil
•••
Namun, sepertinya ada kendala untuk Daniel bisa datang tepat waktu di acara ulang tahun Sisil. Daniel menelepon Sisil sehari sebelum hari ulang tahunnya.
Besok kamu jangan sampai nggak datang, ya," ucap Sisil pada Daniel yang berada di ujung telepon, sambil berjalan memasuki rumahnya yang tampak sepi.
"Aku nggak yakin bisa datang tepat waktu. Tapi akan aku usahain demi kamu."
"Aku hanya bercanda," kata Sisil lalu meletakkan kantong belanjaan yang berisi buah-buahan di atas kitchen island. "Jangan dipaksain kalau kamu nggak bisa. Aku ngerti, kok."
"Nggak mungkin aku ngelewatin hari istimewa teman baik aku sendiri. Ulang tahun kamu udah termasuk hari yang istimewa juga buat aku."
Sisil tersenyum mendengarnya. Temannya itu sejak dulu memang tidak pernah mau membuat ia kecewa. Bahkan ketika sekarang laki-laki itu sedang berada di penjuru dunia bagian lain pun, dia tetap berusaha untuk bisa hadir di acara ulang tahunnya besok.
"Tapi kamu pernah nggak datang juga, lho, di hari istimewa aku."
"Kapan? Kayaknya aku selalu ad-" Laki-laki itu tak melanjutkan kalimatnya ketika menyadari hari istimewa yang dimaksud Sisil. "Ah, iya ... khusus yang satu itu aku benar-benar nggak bisa. Aku menyesal sekali nggak bisa hadir di pernikahan kamu."
"Padahal aku berharap banget kamu bisa melihat aku menikah. Tapi sayang, ya, di hari istimewaku yang nggak akan bisa terulang lagi itu, kamu malah nggak ada," tutur Sisil sambil memindahkan satu per satu buah-buahan yang ia beli ke sebuah wadah berbentuk bulat. Ada apel, anggur, jeruk, tapi ia lupa membeli kelengkeng yang menjadi buah favorit suaminya. Sepertinya nanti ia harus kembali lagi ke toko buah.
"Sekali lagi aku minta maaf. Nggak ada anggota tim lain yang bisa gantiin aku untuk berangkat ke Papua."
Sisil menguarkan tawa. Tak mau membuat temannya larut dalam rasa bersalah. "Aku akan sepenuhnya maafin kamu, kalau kamu mau berjanji satu hal."
"Apa?"
"Jangan pernah berhenti menjadi teman terbaik aku."
Ada jeda hening beberapa saat. Temannya itu butuh waktu untuk menanggapi perkataan Sisil.
"Tentu. Kita teman selamanya."
Setelah selesai berbincang di telepon, Sisil menuju kamarnya di lantai atas. Ia ingin segera berendam. Menyegarkan diri dengan aroma lavender dari essential oil yang beberapa hari lalu dibelinya itu, pasti akan menyenangkan.
Sisil membuka pintu kamar mandi dan memutar keran yang mengalirkan air agar mengisi penuh bath tub. Matanya kemudian meneliti isi kabinet, tapi tak menemukan essential oil di sana. Ia lupa meletakkannya di mana.
Ia lantas keluar kamar mandi dan membuka laci nakas. Namun alih-alih menemukan essential oil, ia malah menemukan benda lain di sana. Sebuah paper bag berwarna merah maroon mengilap dan berhiaskan pita di bagian tengah.
Sisil tersenyum senang begitu membaca tulisan pada kartu yang tertempel di sana. Ternyata itu pemberian Farid. Ulang tahunnya memang masih besok, tapi ia pikir tak ada salahnya kalau dibuka sekarang.
Ia mulai menebak-nebak isi hadiahnya. Namun senyum Sisil tiba-tiba memudar begitu mengetahui benda yang terdapat di dalamnya.
Sebuah bra.
••☆••
Jangan lupa untuk like ya ❤
Terima kasih banyak atas dukungannya. Sehat selalu untuk teman-teman semua, ya ❤🌷
Oh iya, setelah cerita ini nanti tamat akan ada versi cetaknya juga. Mungkin bagi teman-teman pembaca yang tidak bisa mengakses di Karya Karsa bisa memiliki versi buku fisiknya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro