dua [a]
Matahari sama sekali belum muncul. Sekelilingnya masih pekat oleh gelap. Namun, Sisil sudah berada di dalam kolam renang. Tubuhnya bergerak luwes menelusuri air. Kepalanya timbul tenggelam seiring gerakan kaki dan tangannya yang padu.
Tiga putaran lagi, ia akan selesai menggenapi targetnya sebanyak dua puluh putaran. Berenang bolak-balik dari ujung ke ujung kolam berukuran 4 x 10 meter ini. Sisil menyentuh bagian tepi kolam begitu menyudahi sesi berenangnya. Mengatur napasnya sebentar. Menarik napas panjang, dan mengembuskannya lewat mulut.
Sisil kemudian mengangkat dirinya keluar dari dalam air. Diikuti hawa dingin yang langsung menyergap. Embusan angin terasa menusuk kulit. Membuat bulu kuduknya meremang kedinginan. Ia lantas buru-buru meraih handuk di bangku, dan melingkupi tubuhnya yang mulai menggigil.
Jejak basah tertinggal di lantai, seiring dengan tiap langkahnya saat kembali memasuki rumah. Sisil berniat membuat susu hangat setelah dirinya mandi, lalu bergelung nyaman di balik selimut. Berenang di pukul tiga dini hari memang bukan ide yang bisa sering-sering ia lakukan. Itu hanya sebagai bagian pelampiasan kala ia tidak bisa tidur.
Ia butuh meleburkan diri bersama segala kegundahannya ke dalam air. Satu-satunya cara yang bisa meredam ketidakstabilan perasaannya yang terkadang dipenuhi kalut.
Berada di dalam air membuat Sisil bisa merasakan dunia yang sunyi tanpa interupsi. Membungkam permasalahannya yang tidak pernah bisa ia perbaiki seorang diri. Sedangkan konflik yang dihadapi mustahil akan membaik dengan sendirinya. Walau Sisil selalu berharap keajaiban tiba-tiba datang menolong hubungannya dengan Farid.
Tapi apa mungkin bisa orang yang dicintainya berubah dalam sekejap?
Sisil selalu berharap Farid tidak lagi bermain di belakangnya. Namun, ia juga sadar kalau sebagian dirinya tidak berani mengungkapkannya pada Farid. Keterdiamannya bukan berarti ia menerima kecurangan suaminya. Nyatanya, kehilangan Farid lebih menakutkan bagi Sisil.
Ia mengakui kalau jalan yang dipilihnya ini merupakan kebodohan. Akan tetapi, ia merasa lebih baik begini daripada cela tersebut muncul dalam biduk rumah tangganya dengan Farid. Biarlah kehidupannya bersama Farid berjalan sewajarnya rumah tangga harmonis. Menutup mata dari apa pun yang Farid lakukan di luar sana. Menepikan rasa sakit yang sebenarnya sudah mendesak hingga batas maksimal. Dan lagi-lagi, Sisil hanya perlu mengaktifkan mode bertahannya.
Pintu kamar dibukanya sepelan mungkin. Sisil tidak mau mengganggu tidur Farid. Melangkah di tengah pencahayaan kamar yang redup, sambil memeriksa ke arah tempat tidur, di mana Farid masih terlelap.
Jarinya meraba dinding, menekan saklar kamar mandi. Sisil segera menanggalkan swimsuit-nya yang basah, melemparnya ke dalam keranjang pakaian kotor, kemudian melangkah ke dalam shower stall. Tubuhnya menghangat begitu guyuran air meluncur dari kepala shower.
Tak sampai lima menit, Sisil sudah keluar dari dalam shower stall. Baru saja ia hendak mengambil handuk yang biasanya tergantung. Namun, handuknya sudah tersedia di depan mata. Bukan berpindah sendiri, tapi Farid yang mengangsurkannya. Tentu saja Sisil sedikit kaget dengan kemunculan Farid di hadapannya.
"Habis berenang lagi?" Farid menggeleng keheranan.
Sisil yang sudah melilitkan handuk ke tubuhnya, lalu berjalan melewati Farid ke arah kabinet.
"Olahraga nggak apa-apa, kan," tanggap Sisil lalu mengambil satu lagi handuk dari rak kabinet untuk mengeringkan rambutnya.
"Ya tapi ingat waktu juga, Sayang," Farid berdecak, "bukannya malam-malam gini kamu berenang."
Farid kerap kali memprotes tentang kebiasaan berenang Sisil di waktu yang abnormal. Namun, Farid pun tahu kalau Sisil begitu menyukai renang. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Sisil menunduk, bersiap menempelkan handuk di kepalanya. Namun, Farid mengambil alih handuk itu, dan membantu mengeringkan rambut Sisil. Setelah selesai, Farid sengaja menahan kepala Sisil di dadanya. Lalu merengkuh tubuh Sisil ke dalam dekapan.
"Jangan suka aneh-aneh. Lihat, nih, badan kamu dingin banget."
"Tapi sekarang karena dipeluk kamu jadi hangat banget."
Sisil merasakan hangat. Begitu nyaman berada di dalam pelukan Farid. Bentuk perhatian inilah yang selalu disukai Sisil. Suaminya yang selalu manis. Sampai Sisil lupa dengan ketidaksetiaan Farid.
"Mau lebih hangat lagi?" bisik Farid yang tanpa aba-aba langsung mengangkat tubuh Sisil.
Sisil menatap balik Farid yang sudah melihatnya dengan sorot haus akan birahi.
•••
Bercinta selalu menjadi solusi. Begitu yang selalu didengungkan orang-orang. Apa pun masalahnya, ketika dibawa ke atas tempat tidur, segala masalah bisa luruh menemui titik damai. Sisil tidak sepenuhnya setuju, tapi ia selalu pasrah saat Farid sudah memasukinya.
Sisil menyukai Farid yang memperlakukannya bak ratu di atas tempat tidur. Yang memberi ribuan kupu-kupu seakan terbang menari di dalam tubuhnya. Lalu, tatapan mendamba itu selalu Sisil dapatkan kala bercinta dengan Farid. Itu yang Sisil butuhkan. Seolah Farid mencintainya. Meskipun ia sendiri tahu, kalau kemungkinan Farid mencintainya tidaklah dalam bentuk yang utuh.
Jemari Sisil mengusap rahang Farid. Merasakan kasar dari bulu-bulu yang menggelitik permukaan telapak tangannya. Sisil tak lepas memperhatikan Farid yang tengah berkonsentrasi bergerak di atas tubuhnya.
"Aku cinta sama kamu," ucap Sisil pelan. Berharap Farid membalasnya.
Namun, itu tidak pernah terjadi. Farid hanya tersenyum, lalu mencium mesra kelopak bibir Sisil, yang akan selalu menerimanya. Menerima kepalsuan Farid, yang sedang berperan sebagai suami yang baik.
Seusai mereka bercinta, Sisil mengambil posisi telentang dengan kedua kaki terangkat. Menempel ke bagian kepala tempat tidur. Banyak yang menganjurkan melakukan posisi tersebut setelah berhubungan badan, yang katanya agar sperma bisa lebih mudah mencapai sel telur.
Walau Keenan pernah bilang, kalau tidak ada penelitian secara ilmiah yang membuktikan hal tersebut. Yang terpenting adalah kualitas sperma dan faktor pendukung lainnya. Namun, tidak ada salahnya ia tetap mencoba. Semua akan ia lakukan demi bisa segera hamil.
Farid mengecup kening Sisil, lalu mengambil posisi yang sama dengan istrinya.
Sisil terkekeh melihatnya. "Ngapain ikut-ikutan?"
"Bikin anaknya bareng. Usahanya juga harus bareng juga, dong, Sayang." Farid berkelakar.
"Mau berapa banyak?"
"Memang boleh banyak? Kamu nggak capek kalau banyak anak?"
"Biar rame. Kak Arman aja bisa sampai empat."
Farid tersenyum. "Asal kita benar mengurusnya. Punya anak itu bukan cuma kasih makan sama pendidikan aja, tapi tanggung jawabnya lebih besar dari itu. Menjadi orang tua yang baik itu tugas kita."
"Kamu pasti akan jadi ayah yang baik." Sisil mendekatkan kepalanya ke leher Farid.
Mendengar embusan napas Farid yang begitu dekat, membuat Sisil nyaman. Ditambah usapan lembut Farid di kepalanya, semakin Sisil betah berlama-lama. Mengabaikan jejak kemerahan di leher Farid yang semalaman membuat perasaannya kacau.
•••☆•••
Nggak jadi di-update semalam, karena ketiduran 😁
Masih mau lanjut?
Jangan lupa VOTE dan kasih tahu di kolom komentar kalau memang mau cerita ini berlanjut ❤
Semoga suka ya ❤
Terima kasih banyak ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro