Bagian - 8
Hanya pemberitahuan sedikit. Besok mungkin aku nggak bisa up date karena ada acara keluarga, kayanya bakalan nggak ada waktu buat ngedit IFTL. Senin mungkin baru bisa up date lagi, kalau kalian beruntung akan ada dua part sekaligus. Tapi kalau cuma satu nggak papa juga ya😚😚
Selamat membaca😍😍
Pukul delapan malam, sudah lewat dari jam pulang kantor biasanya. Tapi Fabian masih berada di ruangan, di kantornya. Wajahnya memerah, rahangnya mengeras menandakan puncak emosi pria itu yang sebentar lagi akan meledak.
Ia membalik berkas yang dari tadi sudah dipelajarinya, meski mencoba mencari kesalahan pada isinya tapi Fabian tetap tidak menemukannya. Laporan yang berada di tangannya saat ini jelas memberitahukan bahwa manajer pemasarannya telah menyelewengkan uang perusahaan yang tidak sedikit jumlahnya.
Hal seperti inilah yang sangat dibencinya. Sudah diberi kepercayaan tapi tidak bisa mempertahankan kepercayaan itu. Kurang apa dirinya dalam memfasilitasi para pegawainya? Bisa dibilang perusahaan dengan gaji tertinggi di Indonesia, semua karyawan yang berprestasi selalu mendapatkan bonus untuk kerja kerasnya. Fabian menginginkan karyawan yang loyal padanya, karena itulah ia bersikap royal untuk mewujudkan itu.
Tapi ini, manajer yang telah korupsi di perusahaannya tidak bisa dibiarkan begitu saja. Siapa pun keliru jika macam-macam dengan Fabian. Pria itu tidak menerima alasan apa pun untuk sebuah penipuan.
Ia membanting kertas-kertas tersebut ke atas mejanya dan memijit keningnya yang mendadak pusing. Dua hari terakhir Fabian sangat sibuk. Banyak masalah yang terjadi pada proyeknya, belum lagi proses akuisisi perusahan Adam yang tak semudah yang ia bayangkan. Perusahaan itu sudah hampir tak tertolong, utang-utangnya yang menumpuk membuat Fabian mengumpat beberapa kali. Ia tak menduga ayah Devika sampai sehancur itu dalam mengatur bisnisnya. Semuanya serba timpang. Fabian menemukan karyawan yang tidak efesien, yang kerjanya hanya menggosip. Laporan penjualan yang buruk, belum lagi sistem pemasaran yang jelek. Fabian sudah berencana memecat hampir semua pegawai di sana yang tidak kompeten dan menggantinya dengan orang-orang berpengalaman yang bisa diandalkan.
Biasanya, kalau pikirannya sedang kacau seperti sekarang ini Fabian selalu menghilangkannya dengan seks bersama salah satu wanitanya. Menikmati malam panas selalu mampu membuat perasaannya membaik. Melihat betapa banyaknya pekerjaan yang mesti ia tangani saat ini, Fabian terpaksa meredam hasratnya. Satu jam yang lalu ia telah mengirimkan pesan kepada Devika supaya perempuan itu tidak perlu datang ke apartemennya, Fabian tidak yakin dirinya dapat mengendalikan diri jika bersama perempuan itu.
Satu minggu belakangan ini sudah membuktikan kalau ia menikmati seks di antara mereka. Setelah tidur dengan Devika, Fabian tidak pernah lagi berpikiran mencari perempuan lain untuk menemaninya tidur. Memang Fabian belum merasakan perasaan lain selain kenikmatan, tapi hatinya sedikit rindu pada gadis itu bila seharian tidak bertemu.
Seperti sekarang ini, sebenarnya ia sudah dari tadi ingin menemui Devika walau hanya sekedar melihat renggutan di wajahnya yang manis. Tapi berkas-berkas sialan yang berada di depannya saat ini mencegahnya melakukan hal itu. Bagaimana pun ia seorang pemimpin, ia harus pintar memilih mana yang penting di antara yang paling penting untuk dilakukan.
Bertemu dengan Devika bisa besok tapi laporan-laporan ini bila tak diselesaikan sekarang, besok akan lebih menumpuk lagi karena pekerjaan untuk besok pun sudah menunggu dalam porsi yang sama seperti hari ini.
Kembali menekuni berkas-berkasnya, Fabian membaca dan mempelajari dengan teliti. Untuk masalah manajernya yang korupsi, Fabian menyerahkan masalah itu untuk ditangani tangan kanannya. Kalau tangan kanannya tidak berhasil--yang mana jarang terjadi--barulah Fabian yang mengambil alih. Biasanya sel penjara banyak memberi bantuan.
Satu jam berlalu, setengah dari pekerjaannya sudah selesai. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Fabian memanggil tangan kanannya yang ikut lembur lewat panggilan telepon.
"Ada apa, Pak?" Thomas, tangan kanannya yang sudah lima tahun bekerja untuknya, berdiri di depannya menunggu intruksi sang atasan. Meski harus lembur sampai semalam ini tapi Thomas tidak keberatan, karena gaji yang ia peroleh pun sepadan dengan kerja kerasnya. Ia masih lajang jadi tidak ada yang menunggunya di rumah walaupun pulang larut.
Fabian memilah klip-klip kertas di atas mejanya kemudian menyerahkan beberapa pada Thomas. "Pelajari ini! Setelah dapat kesimpulan berikan padaku besok sore, jangan sampai ada kesalahan."
Thomas meraih. "Ada yang lain, Pak?" tanyanya sopan. Ia selalu mengagumi Fabian, karena kepintaran dan ketegasan pria itu dalam menjalankan bisnisnya. Fabian bukan bos kejam yang sering ditemui di perusahaan besar setara perusahan Fabian ini, tapi orang-orang menghormatinya dan mempertimbangkan posisinya dalam kelompok pengusaha. Usianya yang masih muda menjadikannya laki-laki yang paling diidamkan ibu-ibu, idaman ibu-ibu untuk menjadi calon menantunya. Yah, banyak para orangtua yang menginginkannya menjadi menantu. Sudah tampan, pintar, sukses lagi. Jangan lupakan kekayaannya yang berlimpah.
"Tidak ada, terimakasih," satu lagi, Fabian tidak malu mengucapkan terimakasih bila memang perlu. Tak peduli itu pada bawahannya sekali pun. "Kau boleh keluar, sekarang."
Thomas menunduk hormat kemudian keluar dan menutup pintu dengan pelan. Pekerjaannya tidak banyak lagi, mungkin ia akan melanjutkannya di rumah saja. Ia masuk ke dalam ruangannya untuk merapikan barang-barangnya, setelah itu ia mengunci pintunya lalu pergi.
***
Tidak terasa sudah hampir jam sebelas malam. Fabian mulai mengantuk dan tidak bisa mencerna pekerjaan lagi. Berdiri, pria itu menarik jasnya yang tersampir di bahu kursi kerjanya lalu mengayun kaki untuk keluar.
Fabian keluar dari gedung kantornya, jasnya tergantung di lengan. Di luar, supir pribadinya sudah menunggu.
"Aku menyetir sendiri!'' Kata Fabian saat supirnya hendak membukakan pintu penumpang untuknya. "Besok pagi tidak perlu menjemputku." Sambungnya lagi kemudian masuk ke dalam mobil mewahnya.
Fabian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Di jalanan kota Jakarta tak mengenal waktu, hingga waktu selarut ini pun masih banyak kendaraan yang terlihat membelah kota.
Fabian membelok dari simpang yang mengarah ke apartemennya. Tujuannya bukan ingin pulang melainkan bertemu Devika. Ia akan pergi ke rumah perempuan itu, menghubunginya lalu menunggu Devika keluar menemuinya.
Fabian telah sampai, ia memarkirkan mobil di depan gerbang rumah Devika, menatap sekilas pintu yang tertutup tersebut. Menarik ponsel dari saku celananya, Fabian mencari-cari nomornya.
Panggilannya tidak dijawab. Fabian menghela napas, mungkin Devika sudah tidur, pikirnya. Tapi Fabian mencoba sekali lagi dan...dijawab. namun yang menjawab bukan Devika, melainkan seorang laki-laki.
Seketika rahang Fabian mengeras, ia mengeluarkan suara tertahan yang tidak enak didengar.
"Dimana yang punya ponsel ini?" tanyanya tajam, tak berniat beramah tama pada pria yang satu itu.
"Devika sedang ke toilet. Boleh kutahu siapa ini? Nanti aku akan mengatakan pada Devika kalau dia sudah kembali." Arga bergumam, sedikit tidak suka mendengar nada suara lawan bicaranya yang kurang sopan.
"Katakan pada Devika, Fabian menelepon." Fabian langsung melempar ponselnya ke atas dashboard, tangannya mencengkram setir dengan erat. Pria itu tidak tahu kenapa tiba-tiba ia marah mendengar pria yang mengangkat ponsel Devika.
Lima menit kemudian, ponselnya berbunyi.
"Di mana kau," Fabian membentak saat mengangkat telepon dari Devika. "Kau tunggu di sana!!"
***
Devika sudah menunggu di depan rumah Arga saat Fabian tiba. Devika yakin Fabian ngebut kalau melihat bagaimana cara pria itu memberhentikan mobilnya.
Arga menatap dengan tatapan datar mobil hitam di depannya, yang datang untuk menjemput Devika. Sebenarnya sepuluh menit lagi ia akan mengantar Devika sebelum pria itu menelepon dan memerintah seakan dirinya bos besar.
"Kau yakin akan pulang bersamanya?" Arga memandang Devika yang akan berpamitan padanya. Devika mengangguk. "Tapi sepertinya dia bertempramen buruk." Duga Arga. Lihat saja, setelah memutuskan panggilan dengan seenaknya, pria di dalam mobil sana tak mau repot-repot keluar.
"Jangan khawatir," Devika menenangkan kecemasan yang kentara pada wajah Arga. "Aku mengenalnya, tidak akan terjadi apa pun padaku."
"Baiklah! Hati-hati. Kalau ada apa-apa hubungi aku," gumamnya.
TIN..TIN..TIN..
Terdengar bunyi klakson mobil Fabian.
"Sabar," teriak Devika, menatap sekilas kaca mobil Fabian yang gelap kemudian kembali menghadap pada Arga.
"Ok, sekali lagi selamat ulang tahun ya. Aku jadi tidak enak tidak membawa kado."
"Bukan masalah! Berkenalan denganmu saja aku sudah senang, itu lebih dari kado untukku." Arga memberinya senyuman manis. "Besok pagi kupastikan Cindy mengembalikan mobilmu."
TIN...TIIIIIIIINNNNNNNN.
"Oh, Tuhan." Devika mengerang frustasi. "Dia sudah gila. Baiklah! Aku pulang ya."
***
"SUDAH SELESAI??" Fabian membentak saat Devika sudah duduk di sebelahnya hingga gadis itu tidak bisa tidak terkejut mendengar suara keras itu.
Devika memandang Fabian tidak mengerti. Sebenernya ada apa dengan pria ini? Batinnya kesal. Sudah memerintah seenak jidat sekarang malah berteriak seenak kepalanya itu.
"Aku bisa mendengarmu, tidak perlu berteriak. Dan yah, aku sudah selesai. Sekarang kau bisa menjalankan mobilmu." gumam Devika tanpa takut, tak terpengaruh dengan kemarahan Fabian.
Fabian menatapnya tajam. Pria itu membuat mobilnya meraung keras sebelum melaju dengan cepat keluar dari pekarangan rumah Arga. Devika hanya menggeleng melihat tingkah Fabian. Benar-benar aneh. Pikirnya.
Karena Fabian balap-balapan membawa mobilnya, mereka tiba di apartemen Fabian dengan cepat. Sepanjang perjalanan, Devika hampir menjerit karena Fabian melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Tapi Devika mampu menahan ketakutannya, ia tak akan membiarkan Fabian puas karena berhasil membuatnya takut.
Fabian mematikan mesin mobilnya setelah mobil tersebut terpakir di parkiran apartemennya. Devika terpekik saat tiba-tiba Fabian menarik tengkuknya dan menciumnya dengan buas. Bibir Fabian melumat bibirnya dengan kasar, tak ada kelembutan sedikit pun. Devika memberontak, tangannya mencoba menjauhkan badan Fabian yang menghimpitnya namun tak berhasil. Pria itu malah semakin buas melumat bibirnya, dari atas ke bawah. Lidah Fabian masuk menggelitik rongga mulut Devika.
"Pindah ke belakang," perintah Fabian tajam, matanya memerah dipenuhi gairah.
Napas Devika masih terengah-engah, ia yakin bibirnya sudah bengkak seperti tersengat lebah. "Untuk apa?" tanya Devika masih dengan napas sedikit memburu. Lalu kemudian Devika terkesiap, ia melihat tonjolan di depan celana Fabian. Seketika dia tahu untuk apa pria itu menyuruhnya pindah ke belakang.
Devika menggeleng. "Jangan gila! Ini tempat parkir, bagaimana kalau ada orang yang melihat?"
"Ck! Kau lama sekali." Fabian melepas safety belt Devika lalu membawa gadis itu ke pangkuannya.
"Ap..apa....hhmmmppp," Fabian membungkam kalimat Devika dengan mulutnya. Dengan tergesa-gesa dibukanga kancing kemeja Devika. Tangannya meraup payudara Devika yang masih terbalut bra, diremasnya pelan sehingga Devika tak mampu menahan erangan keluar dari mulutnya.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro