Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian - 7

Typo banyak😂😂
Bantu koreksi ya!😙😙







Satu minggu berlalu, dalam satu minggu itu pula Devika dan Fabian  terus bercinta setiap malam. Fabian dengan mudahnya memerintah Devika datang ke apartemennya, dan kemudian memulai cumbuan panas yang berujung erangan penuh kenikmatan.

Dalam kurun waktu satu minggu, semuanya telah berubah bagi Devika. Di luar ia akan pura-pura menolak hasratnya sendiri, tapi sebenarnya tubuhnya menikmati setiap mereka bercumbu. Ia melakukan hal itu semata-mata demi harga dirinya.

Devika tidak merasakan perubahan pada Fabian seperti apa yang telah berubah di dirinya. Ia sudah tak bisa membohongi hatinya bahwa ia menyukai pria itu namun Fabian masih sama. Tidak menunjukkan kalau ia merasa demikian.

Terkadang ia berpikir apakah wajahnya kurang cantik? Sehingga Fabian tidak tertarik padanya padahal mereka telah menghabiskan malam bersama selama seminggu ini? Devika sampai harus berbohong pada Ayahnya tentang dia yang tak pernah berada di rumah saat malam. Ia beralasan menemani Cindy karena orangtua sahabatnya itu sedang ke luar kota.

Mau sampai kapan ia melakukan hubungan seperti ini? Apakah hidupnya akan tergantung pada Fabian? Pria itu jelas tak memberitahunya kapan hubungan mereka berakhir, dan Devika hampir putus asa pada sifat datar pria itu padanya.

"Kenapa makanannya cuma diaduk-aduk saja, Devika?" gumam ayahnya, menghentikan lamunan Devika tentang Fabian. Saat ini Adam dan Devika sedang makan malam bersama, sebelum nanti Devika harus pergi ke apartemen Fabian. Tentu dengan berbohong lagi pada ayahnya.

"Tidak selera, yah." Devika tersenyum pada ayahnya. Perempuan itu bahagia melihat perubahan Ayahnya yang lebih baik beberapa hari terakhir ini. Sekarang Adam sudah lebih banyak tersenyum, itu karena Fabian yang telah memberi keringanan padanya.

Fabian tak lantas mengatakan pada Adam kalau utangnya lunas, itu akan membuat pria itu curiga. Di mana ada orang sebaik atau lebih tepatnya setolol itu untuk menghapuskan hutang yang jumlahnya tidak sedikit? Namun Fabian membuatnya terlihat masuk akal dengan memberi perjanjian dan syarat. Perusahan Adam akan jatuh ke dalam tangannya dan pria itu harus bekerja padanya dengan gaji di bawah rata-rata, tapi setidaknya masih cukup untuk kehidupan sehari-hari.

Sekarang mereka tidak mempunyai pelayan sebanyak dulu, hanya dua orang yang mampu dipekerjakan. Tapi menurut Devika itu masih mendingan, masih ada yang memasak untuk mereka.

Devika tidak bisa berbuat banyak, sampai sekarang hatinya masih tidak suka dengan perlakuan Fabian padanya. Seolah-olah ia adalah wanita panggilan yang bebas pria itu nikmati saat bergairah. Mungkin...kalau Fabian sedikit saja menunjukkan perhatiannya, Devika akan membuka hatinya dan lebih rela disentuh oleh Fabian.

Fabian tidak pernah menghubunginya selain terkait hubungan intim mereka. Devika ingin marah tapi tak punya kekuatan. Satu-satunya jalan untuk menghindari situasi ini adalah dengan membuat pria itu suka padanya. Setidaknya itu lebih baik kan dari pada hubungan seks tanpa status?

"Makanannya todak enak?" Adam bertanya lagi saat melihat putrinya yang masih tidak memakan makan malamnya.

"Hhhmm?" Devika mendongak dari piringnya yang masih penuh. "Tidak lapar, aku makan malam sama Cindy saja, Yah. Mungkin kalau makan dengan dia aku jadi berselera." Entah alasan apa itu.

"Orangtua Cindy belum pulang juga?"

"Belum."

"Kenapa lama sekali? Apakah orangtuanya tidak takut meninggalkan anak gadis sendirian di rumah?"

"Cindy kan bukan anak kecil lagi, Yah. Dia sudah bisa menjaga diri sendiri."

"Kalau bisa menjaga diri kenapa kau harus ikut menginap di rumahnya?''

"Ayah, aku sahabatnya. Wajar kan menemani Cindy?"

"Baiklah..baiklah," ujar Adam mengalah. "Jangan lupa makan malam nanti di sana. Kau itu sudah kurus, mau tambah kurus lagi?"

Devika memberengut. "Aku bukan kurus tapi langsing, Yah."

"Menurut Ayah itu sama saja."

***

Devika mengganti baju rumahnya dengan kemeja dan celana jeans, pakaian yang biasa ia pakai saat pergi ke apartemen Fabian. Pria itu tidak pernah mengomentari jenis pakaiannya yang itu-itu saja, mungkin tidak pernah memperhatikan karena setelah berada di dalam apartemen pria itu Devika lebih sering tanpa busana.

Devika baru saja akan berangkat tapi bunyi pesan di ponselnya menghentikan kakinya yang baru mau masuk ke dalam mobil.

Fabian:
Tidak perlu ke apartemenku malam ini.

Devika mendengus kesal pada sifat semenah-menah Fabian. Jika butuh dengan gampangnya memerintahnya untuk datang, saat tidak butuh cukup dengan pesan singkat seperti itu. Tanpa alasan.

Oh, tentu saja. Mungkin dia sekarang sedang tidur dengan tunangannya yang cantik dan seksi itu, Devika menggerutu dalam hati.

Cih, dasar laki-laki. Ganteng sedikit playboy. Kaya sedikit sombong, arogan. Memang sudah saatnya mencari pria yang biasa-biasanya saja, lebih bisa menghargai orang di sekelilingnya.

Devika membatalkan niatnya masuk ke dalam mobilnya. Untuk apa dia pergi ke apartemen Fabian bila pria itu tidak mengharapkan kehadirannya di sana. Bayangan Fabian bermesraan dengan Monica membuat hatinya seakan dicubit. Ada nyeri terasa meski masih kecil, tapi rasa itu pasti kian membesar jika perasaannya pada Fabian bertambah dalam lagi.

Devika sudah akan kembali ke dalam rumah saat ponselnya berdering.

"Halo, Cin," gumamnya setelah menggeser layar ponsel mengangkat panggilan.

"Lagi di mana?"

"Di rumah, kenapa?"

"Ada acara malam ini, tidak?"

"Tak ada."

"Temani aku yuk!"

"Ke mana?"

''Ada deh, pokoknya ikut saja."

***

"Ini rumah siapa, Cin?" Devika memperhatikan rumah besar di depannya, ada beberapa mobil yang terparkir di dekat mobilnya.

''Rumah Arga." Cindy bergumam seraya merapikan rambutnya lewat kaca yang ada di mobil.

Devika menoleh menghadap sahabatnya itu. ''Arga siapa?" tanyanya karena memang belum pernah mendengar nama itu.

''Sepupuku! Baru pulang dari Australia. Dia ulang tahun sekarang dan mengadakan acara manggang-manggang gitu. Sudah ayo, masuk saja."

"Eh..eh tunggu dulu," Devika menarik tangannya yang ditarik Cindy. "Aku pakai kemeja gini, tak apa? Aku juga tidak bawa kado. Tidak enak nanti."

"Tidak apa-apa! Walau pakai kemeja doang kau masih cantik, dan soal kado tidak usah dipikikan. Seperti anak-anak saja yang harus diberi kado segala."

***

Devika patuh mengikuti Cindy dari belakang. Tidak banyak orang di sana, hanya sekitar lima belas orang, mungkin sepupu Cindy ini hanya mengundang teman-teman dekatnya saja.

"Ayo cepat, sini!" Cindy menarik paksa tangan Devika dan membawanya berjalan mendekat pada kumpulan beberapa pria yang tampaknya sedang membicarakan sesuatu. "Aku kenalkan pada sepupuku. Siapa tahu kau suka, dia itu tampan dan baik lho."

Devika sebenarnya tidak tertarik berkenalan dengan siapa pun saat ini. Ia mana bisa menjalin hubungan dengan lelaki lain kalau masih terikat dengan Fabian. Fabian benar-benar brengsek. Pria itu bebas berpacaran dengan siapa pun yang diinginkannya sedangkan Devika tidak boleh.

"Pelan-pelan saja, Cindy," protes Devika saat sahabatnya itu begitu bersemangat ingin mengenalkannya dengan orang yang bernama Arga ini.

"Aku yakin, sekali lihat kau pasti akan tertarik pada Arga."

"Hai Arga, selamat ulang tahun ya." Cindy memeluk singkat sepupunya itu ketika sudah berada dekat dengannya. "Kenalkan," ditariknya Devika mendekat. "Ini temanku, Devika."

Arga memandang Devika, beberapa detik kemudian bibirnya tersenyum. "Hai," katanya. "Senang berkenalan denganmu."

Devika menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga, ia membalas senyuman Arga. "Senang berkenalan denganmu juga. Selamat ulang tahun ya." Cindy tidak berbohong, sepupunya Cindy ini memang tampan. Hampir sama tampannya dengan Fabian.

Selanjutnya Devika dengan teman-teman Arga, ada beberapa orang yang masih bersaudara dengan Arga. Seperti Cindy yang berstatus sepupunya. Sepanjang perkenalan, Devika terus tersenyum karena orang-orang di sekitarnya melakukan hal yang sama. Devika seperti menemukan teman baru.

"Masih kuliah?" Arga bertanya, sambil mengkipas-kipas daging yang ia panggang. Mereka berada di taman belakang rumah Arga, udaranya sejuk dan menambah keasyikan acara itu.

"Sudah tamat." Devika membalas seadanya. Cindy entah udah pergi ke mana, terakhir kali ia melihat perempuan itu sedang berbicara dengan salah satu teman Arga yang bernama Johan. Tampaknya sahabatnya itu tertarik pada Johan karena dari tadi gestur tubuhnya tak bisa menyembunyikan hal itu.

Devika membantu Arga membumbui daging yang belum dimasukkan ke dalam api, ia bukannya tidak sadar tatapan mata Arga yang mengarah padanya tapi ia pura-pura tidak tahu. Arga sama seperti Cindy, tidak bisa menyembunyikan rasa tertariknya.

"Kerja di mana?" tanya Arga lagi, ia suka mendengar suara Devika. Cara bibir perempuan itu berbicara membuat badannya berdesir, ia suka pada bibir mungil Devika.

"Belum, masih buat lamaran. Belum ada yang manggil." Devika menaikkan pandangannya dan benar pria itu sedang menatapnya dengan serius. "Kenapa? Ada yang salah sama wajahku ya?" Devika mengusap pipinya dengan tangan. Bermaksud menghilangkan apa pun yang ada di sana yang membuat Arga memandangnya aneh tapi malah menyebabkan pipinya jadi hitam karena arang yang ada di tangannya.

"Jangan," Arga menarik tangan Devika yang masih terus mengusap pipinya. ''Pipimu jadi coreng-moreng karena arang yang ada di telapak tanganmu, ini." Ditunjukkannya telapak tangan Devika yang menghitam.

Devika tertawa kecil, malu karena kebodohannya. Ia mencari-cari sesuatu yang bersih yang bisa digunakannya untuk melap pipinya.

''Mendekatlah! Biar kubersihkan." Tiba-tiba Arga menarik siku Devika, membuat jarak di antara mereka menjadi pendek. Arga mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan menghapus pipi Devika lembut.

Devika berdiri kaku, bingung mau berkata apa. Akhirnya ia hanya diam dan membiarkan Arga membersihkan hitam-hitam yang ada di pipinya. Teman-teman Arga yang lain menatap kedekatan mereka dengan tertarik, rata-rata dari mereka berpikir kalau Arga dan Devika sepasang kekasih yang terpisah lama. Atau juga cinta lama yang bersemi kembali.

Devika memejamkan matanya, tidak kuat melihat tatapan aneh dan ganjil dari kedua bola mata Arga.

Beberapa saat kemudian, Arga mundur lalu berkata. "Sudah, pipimu sudah kembali putih." Ia lagi-lagi tersenyum sangat manis, kalau tidak teringat Fabian, Devika sudah akan membalas kode yang Arga kirimkan padanya.

"Terimakasih," Devika berujar pelan. Untuk menghindari kecanggungan, Devika kembali melumuri daging dengan bumbu. Arga yang berada di sebelahnya pun kembali melakukan aktifitasnya sebelumnya.

Kecanggungan itu sudah hampir berakhir saat tiba-tiba Arga bertanya lagi. "Kau sudah punya pacar?" Bukankah itu terlalu blakblakkan sekali? Arga pun menyesal bertanya tapi lidahnya seakan berkhianat, ia tak bisa menariknya lagi.

"Hah?" Devika terkejut dengan pertanyaan Arga.

Arga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sudah, lupakan saja." Dasar bodoh. Arga memaki diri sendiri. Sudah pasti Devika sudah ada yang punya. Perempuan secantik dia jelas banyak yang suka. Coba lihat tubuhnya yang mungil tapi berisi di tempat-tempat yang diidamkan laki-laki, wajahnya manis dan senyumnya luar biasa memikat. Kalau diberi kesempatan, Arga ingin mengenal Devika lebih dekat.






Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro