Bagian - 3
Satu hari berlalu sejak ia menemui Fabian. Devika tidak tahu lagi harus melakukan apa sekarang. Tidak bisa tidur, ia memiliki lingkaran hitam di matanya yang sembab. Semalaman ia menangis. Waktu yang ia punya tinggal hari ini dan besok.
Memaksa diri bangun dari tempat tidur, Devika berjalan ke kamar mandi. Ditatapnya wajah kusut yang ada di cermin, kemudian airmatanya terjatuh lagi. Ia takkan sanggup menyaksikan ayah yang sangat dikasihinya masuk pencara, takkan pernah.
***
Devika sudah mencuci wajah dan menggosok giginya. Hal itu sedikit membantu, ia merasa lebih segar.
"Ayah mana, Mbok?" tanyanya pada salah satu pelayan ketika tidak menemukan syahnya di meja makan seperti biasanya.
"Sudah berangkat ke kantor, Non."
Devika mengangguk. Langkahnya gontai, kemudian duduk di meja makan. Makanan yang terhidang tak membuatnya berselera. Ia tidak lapar.
Dengan frustasi ditutupnya wajah dengan kedua tangan, suara erangan kesakitan keluar dari bibirnya. Ia membayangkan dengan sedih, usaha mati-matian ayahnya mengupayakan segalanya. Biasanya mereka selalu sarapan bersama, tapi kini waktu itu terasa mustahil ia miliki. Masih jam tujuh pagi, ke mana ayahnya pergi? Tanpa disadarinya airmatanya kembali jatuh. Entah sudah berapa kali ia menangis. Devika bersyukur tidak ada yang melihatnya, dikasihani para pelayan adalah hal terakhir yang diinginkannya saat ini.
Setelah tangisnya reda, Devika kembali ke kamar. Tidak sesuap pun makanan yang masuk ke dalam perutnya. Ia kembali berbaring dan memejamkan mata.
***
Hampir sore ketika pintu kamarnya diketuk. Devika bangun dan membuka pintu.
"Ada kiriman buat Non." Pelayan mengulurkan amplop merah tua padanya.
Devika mengambil amplop itu dan bertanya. "Dari siapa, Mbok."
"Tidak tahu, Non! Tapi kata laki-laki pengirimnya, itu buat Non."
"Terimakasih, Mbok," katanya membalas. "Ayah sudah pulang?"
"Belum, Non."
"Kalau Ayah sudah pulang, kasih tahu aku ya Mbok!"
''Iya, Non. Saya permisi."
Devika menutup pintu kamarnya. Duduk di atas tempat tidur, ia membuka amplop di tangannya.
Jam 7, diapartemenku.
Fabian
Tidak panjang tulisan di dalam kertas itu namun Devika bergetar karena gugup. Apa yang diinginkan pria itu? Apakah tidak cukup ia mempermalukan Devika kemarin? Devika sudah membuang harga diri demi ayahnya tapi pria itu malah dengan kejam memperlakukannya bagai barang tak berharga.
Devika meremas amplop sekaligus surat tersebut. Ia tidak ingin pergi ke sana, ia tak ingin memberi kepuasan pada pria itu dengan mempermainkannya. Tapi pilihan apa yang ia punya?
Kalau kemarin ia tak berpikir ketika membuat dirinya setengah telanjang, tapi kini--setelah kesadarannya utuh-- ia tidak mau melakukan itu lagi. Ia takkan menyerahkan tubuhnya. Namun sekali lagi, pilihan apa yang ia punya. Membayangkan Fabian--laki-laki yang baru ditemuinya sekali--melihat tubuhnya yang telanjang, mungkin juga akan meraup kenikmatan darinya, Devika ketakutan. Ia tidak tenang.
"Ibu," lirihnya penuh kekalahan. "Apa yang harus aku lakukan?"
***
Pukul tujuh kurang sepuluh menit Devika sampai di depan pintu apartmen Fabian. Nomor yang tertulis sesuai dengan pesan yang diterimanya tadi siang. Devika tidak tahu kalau akan begitu mudah menemukan nomor ponsel seseorang. Ia tidak merasa pernah memberikan nomor ponselnya pada Fabian, namun beberapa menit setelah ia membaca surat pria itu, sebuah pesan masuk. Isinya alamat apartemen Fabian.
Ia kembali mengenakan kemeja longgar dan celana jeans. Hanya warnanya saja yang berbeda.
Devika menekan bel tiga kali, beberapa menit kemudian Fabian berdiri di depannya dengan gagah, pria itu mengenakan kemeja yang digulung sampai siku dan celanan bahan warna hitam. Pria itu terlihat tampan dengan rambutnya yang acak-acakkan, bibirnya terkatup dengan cara yang arogan.
"Masuk," dengan dagunya ia mengarahkan Devika untuk masuk. Dari belakang matanya memandangi tubuh Devika, dalam hati memuji bentuk tubuh gadis itu.
Hari ini Adam kembali menemui Fabian. Pria paruh baya itu sudah pasra dengan nasibnya, ia sudah ke sana ke mari mencari pinjaman tapi seperti yang sudah diduganya, tidak ada yang mau meminjamkannya uang sebanyak itu.
Fabian bisa saja memasukkan Adam ke penjara, kemudian utang pria itu lunas. Memang itulah rencananya, karena bagaimana pun Adam tidak akan sanggup membayar lagi. Rumahnya disita, asetnya habis, dan perusahaannya bangkrut.
Tapi, kalau Adam dipenjara, tidak akan ada untungnya baginya. Entah sudah berapa kali ia mengumpati diri sendiri karena mau memberikan pinjaman sebesar itu untuk orang sebodoh Adam. Orang yang tidak bisa mempertahankan bisnisnya menurut Fabian adalah orang yang bodoh.
Tapi, ia tertarik dengan penawaran yang diberikan oleh putri Adam. Adam yang dipenjara tidak memberi keuntungan, tapi Devika di atas ranjangnya pasti memberi kenikmatan.
Fabian mendapati tubuhnya berhasrat dengan tubuh Devika. Karena itulah ia menyuruh gadis itu datang ke apartemennya. Ingatan tentang payudara putih dan mulus milik Devika membuatnya menginginkan lebih. Sebentar lagi ia akan melihat tubuh polos gadis itu dan mencari tahu seberapa besar kenikmatan yang akan diperolehnya.
Fabian berjalan di depan, sementara Devika mengikuti di belakang. Di meja yang mereka lewati, ia melihat sebotol minuman keras dan sebungkus rokok dan pemantiknya. Isi botol itu sudah habis setengah, dan itu bukan pertanda baik. Ia kembali menatap punggung Fabian, bertanya-tanya dalam hati seberapa buruk yang akan terjadi padanya nanti.
Pria itu jelas mabuk, paling tidak sedikit. Di antara banyaknya keputusan membingungkan dan di luar batas yang diambilnya, yang satu ini melebihi apa pun. Begitu banyak wanita di luar sana yang bersedia naik ke ranjangnya dan bersenang-senang sepanjang malam, tapi kenapa Devika yang sangat diinginkannya sekarang? Sedangkan gadis itu bukan tipenya, mendekatinya pun tidak. Devika terlalu langsing, terlalu mungil, ia rapuh seperti gadis remaja. Tapi Fabian, sepanjang hari ini tak bisa mengenyahkan bayangan payudara Devika yang putih mulus dan sangat pas dalam remasan tangannya. Kejantanannya sudah menegang bahkan sebelum gadis itu polos, ia begitu kesakitan menginginkan Devika.
Satu keyakinan yang diharapkannya benar, bahwa apa yang dirasakannya sekarang ini hanyalah bentuk dari rasa penasarannya. Ia hanya penasaran bagaimana rasanya berhubungan badan dengan gadis itu. Beberapa kali tidur dengannya, Fabian yakin ia akan bosan dan mencari wanita lain yang sesuai dengan seleranya.
Pria itu membawa Devika ke kamar tamu di dalam apartemennya. Hati gadis itu mulai dipenuhi kegelisahan, ia melihat tempat tidur yang besar dan hampir melihat dirinya di sana bersama dengan Fabian.
''Buka bajumu!" Fabian tidak membuang waktu. Lebih cepat lebih baik. Ia akan meniduri gadis itu, sekali mungkin dua kali, kemudian rasa penasarannya akan terbayar. Ia akan melepas Devika.
"Ap...apa?" Devika tergagap, ia memandang Fabian ngeri.
"Aku perlu melihat tubuhmu supaya tahu apakah tubuhmu sepadan ditukar dengan uang 200 milyarku."
Devika sudah menduga inilah yang akan terjadi. Sebelum memasuki apartemen Fabian, gadis itu sudah menyiapkan diri, tapi ternyata saat menjadi kenyataan semuanya begitu sulit.
''Tiga menit! Telanjang sekarang atau kau bisa pergi. Aku tidak mau membuang waktuku dengan diam-diam tidak jelas. Sekarang pilih.''
Devika menggigit bibirnya, sekuat tenaga bertahan agar matanya tidak berkaca-kaca. Satu persatu kancing kemejanya ia buka, hingga kemudian terlepas seluruhnya. Detik berikutnya kain itu sudah berada di lantai.
Fabian menunggu dengan tenang, ia duduk di atas sofa di dalam kamarnya. Ia harus mengakui kalau Devika mempunyai lekuk tubuh yang indah. Sudah banyak wanita yang ia tiduri, tapi tak ada yang sefeminin Devika. Pinggangnya kecil tapi payudaranya membusung dan padat. Pinggul gadis itu begitu menggoda. Fabian sudah membayangkan dirinya memegang pinggul itu seraya meraup kenikmatan dari tubuh Devika.
Devika membuka kancing celana jeansnya dengan tangan bergetar, ia tak mau memandang ke arah Fabian. Dirinya tidak akan sanggup menerima tatapan mengejek dari pria itu, ia tahu kalau saat ini Fabian sedang menatap padanya.
Kini Devika hanya memakai celana dalam dan bra. Ia berdiri dengan gusar, mulai pasrah akan apa yang terjadi. Dalam hati ia menguatkan diri, ini demi ayahnya.
Fabian berjalan mendekat, matanya tidak menyembunyikan nafsu. Devika menarik napas tajam ketika merasakan telapak tangan Fabian di perut telanjangnya. Bergerak naik menuju payudaranya.
"Buka semuanya, Devika!" Fabian berdesis di telinga gadis itu.
Devika tidak sanggup dengan kedekatannya dengan Fabian. Seharusnya ia membenci pria itu, tapi ia tidak. Lagipula, apa yang salah dari yang dilakukan pria itu? Ia hanya menagih pelunasan atas uang yang dipinjamkannya. Di sini, seharusnya ayahnyalah yang patut disalahkan. Tapi Devika tidak akan menyalahkan ayahnya.
Fabian menangkup payudara Devika begitu branya dilepas. Devika menutup matanya, berjuang menahan perasaan aneh di dalam dirinya. Fabian begitu dekat dengannya, dada pria itu menempel di punggungnya dan tangan pria itu meremas payudaranya. Ia mencium bau alkohol pada napas pria itu ketika Fabian begitu dekat dengan wajahnya.
"Begitu lembut dan pas di tanganku." Fabian mengendus leher Devika, bergerak-gerak pelan hingga membuat gadis itu gemetar. Devika menggigit bibirnya, tubuhnya berdesir merasakan sentuhan bibir Fabian di ceruk lehernya. Ia sekuat tenaga menahan erangan supaya tidak keluar dari bibirnya, demi apa pun ia tak mau Fabian melihat tubuhnya yang berkhianat. Laki-laki itu pasti menertawakannya jika mengetahui ia hampir tak bisa bertahan dengan gairahnya sendiri saat pria itu menyentuhnya. Padahal pria itu hanyalah orang asing yang tak dikenalnya selain namanya yang ia tahu.
"Setelah kau telanjang, aku akan menyetubuhimu."
Gerakan Devika di celana dalamnya terhenti. "A..anda---"
"Lanjutkan! Turunkan celana dalammu dan naik ke atas tempat tidur." Suara Fabian berubah serak dan dalam. Devika merasakan benda keras di bokongnya, ia cukup dewasa untuk tahu benda apa itu.
"Naik ke tempat tidur! Sekarang."
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro