Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian - 25

Devika Pov







Pernah punya perasaan kesal, kesal yang sekesal-kesalnya? Sampai-sampai kau tidak bisa mengungkapkan seberapa kesalnya dirimu. Sangkin kesalnya kau pengin teriak yang kencang untuk melampiaskannya karena tak tahu lagi harus meneriaki siapa?

Itu yang kurasakan sekarang ini.

Film--yang aku sudah lupa judulnya apa, jalan ceritanya bagaimana, ending tak tahu seperti apa---sudah selesai. Monica Si wanita kecentilan itu pun sudah pulang. Atau mungkin juga belum, siapa tahu dia mampir dulu entah ke mana buat mencari pria lain untuk digaetnya. Aku tidak peduli, itu malah lebih baik.

Aku sudah kesal dia nonton bersama kami. Duduknya yang berdekatan dan terus mengajak Fabian mengobrol semakin membuatku kesal. Fabian juga sama sekali tidak menolak ketika Si kecentilan itu mengajaknya bicara. Dia hampir tak menghiraukanku yang sudah berwajah masam sepanjang film diputar. Sebenarnya pacar dia itu siapa, sih? Aku atau nenek kecentilan itu?

Dan ketika film selesai dia malah dengan santainya meminta Fabian untuk mengantarnya pulang. Dalam hati aku sudah bersumpah, kalau sampai Fabian mau, aku yang akan pulang sendiri dan tidak akan mau lagi bertemu dengannya sampai kapan pun. Sebenarnya hatiku deg-degan parah. Masalahnya aku sudah sampai bersumpah. Jika benar Fabian mengiayakan permintaan Monica, aku bisa apa...

Tapi kemudian aku bernapas lega karena Fabian menolak. Tentu saja dengan halus. Aku penasaran seberapa besar kekuatan orangtua wanita itu hingga Fabian memperlakukannya sebaik itu. Saat aku melihat dia akan melancarkan aksi merayunya lagi, aku buru-buru menggandeng tangan Fabian dan menariknya pulang.

***

"Kenapa daritadi diam?" Fabian bersuara setelah lima belas menit berlalu sejak kami meninggalkan mall.

Aku memandang ke luar lewat kaca mobil yang hitam. Lampu-lampu kendaraan di luar sana tampak menyinari malam. Sengaja, aku mengabaikan pertanyaan Fabian. Biar dia tahu bagaimana rasanya diabaikan.

"Devika?"

Aku tahu dia sekilas menoleh padaku sebelum kemudian mengembalikan pandangannya ke depan. Biarkan saja, malam ini aku mau bertingkah kekanakan. Setiap perempuan di dunia ini pasti pernah bersikap kekanakan, iya kan?

"Devika?" Panggilnya lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut. Sialan, kenapa suaranya harus semenarik itu. Jadinya aku tidak tahan lama-lama tidak mengacuhkannya.

"Hhhmm," aku masih melihat ke luar. Lagi-lagi sengaja mengabaikannya.

"Kau mengantuk?"

Mengantuk dari mana. Yang iyanya kesal. Dia ini kenapa sih? Tidak peka! Seharusnya dia tahu kalau aku sedang ngambek bukannya ngantuk.

"Hhhmm," ujarku seadanya. Sekali kekanakan kenapa tidak dilanjutkan saja sampai dia nyadar.

"Devika?"

"Hhmm!!"

"Devika?"

"Apaan, sih??" gumamku sedikit keras. Seraya menoleh padanya aku memandangnya dengan pandangan malas-malasan. Rasa kesal itu ternyata masih ada. Bayangan dia yang mengobrol dengan Monica membuatku ingin sekali keluar dari mobil ini dan pergi entah kemana. Apalagi sekarang sedang lampu merah. Jangan remehkan rasa cemburu seorang perempuan.

''Kalau ditanya jawab yang benar!" katanya, alisnya berkerut melihat kearahku. "Kita langsung pulang atau kau mau pergi ke tempat lain?"

"Terserah!"

"Tadi kau bilang ingin beli cemilan buat di rumah---"

"Tidak jadi!"

''Berarti kita langsung pulang saja?"

"Terserah!"

"Ck, kau ini kenapa? Kalau ada yang salah kau harus bicara, kalau tidak aku tidak akan tahu, Devika.''

"Tidak ada yang salah! Sudah kita pulang saja, aku ngantuk!!" Setelah mengatakan itu aku langsung membuang muka dan pura-pura tidur. Untung saja lampu berubah hijau dan Fabian melajukan mobilnya kembali. Kudengar dia menghela napas kemudian menggumam dengan suara kecil.

"Dasar perempuan."

***

Awalnya aku pura-pura tidur, tapi malah ketiduran. Dan sekarang terbangun sudah di atas tempat tidur Fabian. Pasti Fabian yang menggendongku dan meletakkanku di sini. Rasa kesalku padanya sudah berkurang, sekarang aku malah ingin menemuinya dan sudah merindukan ciumannya. Jangan hakimi aku yang labil ini, kadang-kadang cinta memang seperti itu. Lagipula Fabian lebih memilihku daripada Monica, setidaknya itu pertanda sesuatu. Aku juga tidak berani lama-lama merajuk, soalnya Fabian bukan tipe pria yang suka membujuk-bujuk. Kalau sampai dia habis kesabaran, aku tidak mau dia menjadi jauh dariku. Jangan sampai itu terjadi.

Aku masih mengenakan pakaian yang kukenakan tadi. Tempat tidur di sebelahku kosong, aku tidak melihat Fabian di sekitar kamar.

Turun dari tempat tidur, aku lebih dulu mengganti pakaianku menjadi piyama. Baru kemudian pergi mencari lelakiku yang tidak peka itu.

Aku yakin dia pasti sedang di ruang kerjanya, soalnya di kamar tidak ada, di dapur pun tidak ada. Hanya itu ruangan favoritnya kalau sedang tidak bisa tidur. Pintu ruang kerjanya terbuka sedikit dan lampu di sana masih menyala. Saat aku berjalan mendekat, samar-samar aku mendengar suara teriakan. Itu suara Fabian.

Tiba-tiba aku menjadi takut. Kenapa Fabian berteriak seperti itu. Aku tahu Fabian laki-laki yang mudah marah kalau emosinya terpancing, itu juga yang menjadi alasanku tidak mau lama-lama merajuk. Lebih baik aku mengatakan padanya langsung, supaya dia tahu keberatanku untuk kedekatannya dengan Monica. Tapi pada siapa dia marah-marah sudah malam begini?

Memberanikan diri, aku mendorong pelan pintunya agar terbuka.

"Fabian?" Panggilku pelan. Fabian berdiri memunggungiku, kedua lengannya bertumpu pada dinding kaca yang memperlihatkan malam yang gelap di luar sana.

"Keluar!!"

Belum pernah aku mendengar suaranya sedingin itu padaku. Aku ragu, apakah aku membuat kesalahan. Tapi apa? Bukankah seharusnya aku yang marah padanya karena membuatku cemburu.

"Fabian, ada apa?" Aku berjalan mendekat, semakin dekat aku bisa melihat napasnya yang memburu dari punggungnya yang naik turun dengan cepat. Berbagai pemikiran berkecamuk di dalam kepalaku tapi tak satu pun yang terasa masuk akal. "Fabian---"

"Keluar, Devika! Kubilang keluar!!!"

Cukup! Mungkin memang lebih baik aku keluar. Walaupun rasanya hatiku seakan tercubit melihatnya menolakku, tapi mungkin Fabian memang sedang membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri. Aku kembali ke kamar dan naik ke tempat tidur. Meskipun aku sudah berbaring dengan selimut yang menutupi hingga leher, aku masih belum bisa tidur. Hatiku masih tidak tenang sebelum tahu apa yang membuat Fabian marah-marah dan menyuruhku keluar.

Satu jam aku menunggu di kamar, Fabian belum datang. Aku sudah hampir keluar dari kamar untuk menemuinya lagi saat terdengar bunyi bedebam pintu yang tertutup keras.

Dia pergi!

Dan tak memberikan penjelasan apa pun padaku!!

Rasa kesal dan cemburu yang kurasakan baru beberapa jam yang lalu kini tak bersisa sedikit pun. Kini yang tersisa hanya rasa sakit dan kosong. Dia membentakku lalu pergi begitu saja, dia pikir aku ini apa??

Kalau dia bisa pergi dengan enaknya, aku juga bisa.

Malam itu aku pulang ke rumahku. Dia ingin marah padaku, terserah padanya. Besok saat dia kembali, dia takkan menemukanku di apartemennya.

Kupikir esoknya dia akan mencariku, tapi harapanku tidak menjadi kenyataan. Hingga hari minggu berakhir, Fabian masih belum mencariku. Sebaris pesan pun tak ada

***

Hingga senin pagi.

"SIALAN. KENAPA KAU PERGI???" Suara teriakan Fabian langsung terdengar begitu aku mengangkat panggilannya. Tak mau repot-repot menjawab, aku memutuskan panggilannya lalu mematikan ponselku. Fabian baru menghubungiku sekarang, itu berarti dia tidak pulang ke apartemen semalam. Saat pikiran-pikiran negatif mulai memenuhi isi kepalaku, aku membuangnya cepat. Tidak. Aku tidak boleh berprasangka buruk terus.

Aku pasti akan berbicara dengan Fabian, tapi tidak sekarang. Dari teriakannya tadi, kelihatan sekali kalau dia sedang marah besar. Dan situasi seperti itu tidak baik untuk berbicara. Aku memutuskan untuk mandi karena harus siap-siap pergi ke kantor.

Saat aku sedang memakai sepatuku, terdengar suara pintu diketuk.

"Masuk!"

"Kenapa, Mbok?"

"Anu, Non. Ada yang pengin bertemu dengan Non."

"Ayah masih belum pulang, Mbok?" Akhir-akhir ini ayah jadi jarang di rumah. Aku jadi khawatir apa saja yang sudah direncanakannya. Sampai saat ini aku masih belum bisa bicara dengan benar bersamanya, selalu berujung tidak baik. Tidak ada hasil.

"Belum, Non. Tuan memang sudah jarang pulang."

Istirahat makan siang nanti aku harus ingat menghubungi Ayah. Mungkin berbicara sambil makan bisa menghasilkan pembicaraan yang lebih baik. "Siapa orang yang ingin bertemu denganku?" tanyaku, teringat dengan tamu yang dibilangnya tadi.

Alisku merengut. Siapa kira-kira yang sudah bertamu pagi-pagi seperti ini.

"Aku!"

Sontak aku menoleh ke sumber suara. Tentu saja. Siapa yang lagi yang punya suara serak, dingin namun seksi itu. Asisten rumah tanggaku tampak salah tingkah, mungkin dia ketakutan. Bagaimana tidak ketakutan, tampang Fabian sekarang benar-benar siap untuk menelan orang.

Asisten rumah tanggaku keluar dari kamarku, bukan karena aku yang memerintahkannya melainkan Fabian. Lengkap dengan suara tingginya itu.

"Pagi-pagi tidak baik bicara pakai urat," gumamku datar, tidak terintimidasi sedikit pun dengan tatapan tajam Fabian. Dia sebenarnya salah alamat kalau ingin marah-marah datang ke sini.

"Kenapa kau pergi?"

"Kau yang menyuruhku pergi."

"Aku tidak menyuruhmu pergi."

"Kau membentakku untuk keluar."

"Itu tidak sama, Devika. Aku menyuruhmu keluar dari ruang kerjaku, bukan keluar dari apartemenku."

"Oh," aku mengibaskan tangan ke udara dan mengangkat bahu. "Kupikir itu sama saja." Dengan santai aku melanjutkan solek-solekku yang tertunda tadi.

Fabian mendekat, dengan suara tertahan-tahan dia berkata. "Jangan mengajakku bertengkar, Devika! Aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk meladenimu bertingkah seperti ini."

Apa-apaan!!!
Aku melempar lipstik yang hampir kupakai ke atas meja rias lalu menatapnya. "Oh, Tuan yang terhormat," ujarku sinis. "Aku tidak mengharapkan Anda datang ke sini dan meladeniku yang seperti. Ini!! Jadi," aku memandangnya sinis. "Silahkan keluar!!" Aku tidak tahu setan apa yang merasuki otaknya itu hingga dia menjadi gila seperti ini. Bukan seperti ini pertemuan yang kuharapkan setelah dia membentakku dan menyuruhku keluar. Aku berpikir dia akan meminta maaf dan memberi penjelasan lalu hubungan kami menjadi baik kembali. Tapi sekarang, dia malah memulai pertengkaran.

"Divmana Ayahmu??"

Pergantian topik yang tiba-tiba. Mataku menyipit mendengar pertanyaan itu.

"Ada apa dengan Ayahku?" aku balik bertanya. Jangan bilang kemarahannya ini ada hubungannya dengan Ayah. Oh, Tuhan. Apa yang telah terjadi? Apa Ayah sudah melakukan sesuatu pada Fabian?
"Ayah belum pulang! Fabian ada apa?" Aku berubah jadi takut sekarang, hatiku menjadi tidak tenang.

Bukannya menjawabku, Fabian malah berkata. "Kita ke rumah ibuku sekarang!!"

"Tapi--"

"Jangan banyak bertanya, nanti kujelaskan dalam perjalanan." Dia menarik tanganku dan membawaku ke luar.

"Tapi aku harus bekerja Fabian!" Aku mencoba bertahan, berharap dia mau menjelaskan sekarang supaya aku mau ikut bersamanya. ''Aku baru bekerja di sana, kalau sekarang aku sudah tidak masuk aku bisa dipecat."

"Itu lebih baik!" Dengan santainya dia berbicara.

"Hah!"

"Cepatlah sedikit, ini lebih penting daripada pekerjaanmu dengan gaji yang tak seberapa itu."











Tbc...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro