Bagian - 20
"Aku mohon! Bagaimana pun caranya aku ingin kau mendapatkan perusahaanku kembali!!" Sebuah suara berat berbicara serius dengan lawan bicaranya yang tak kalah serius darinya. "Aku tidak rela perusahaan yang telah kubangun dengan susah payah menjadi milik pria arogan itu."
"Aku akan berusaha semampuku! Tapi akan sangat sulit. Paman sendiri tahu dia itu pria seperti apa. Dia punya kekuatan, selama ini tidak ada orang yang berani mencari masalah dengannya. Dia pasti tidak segan-segan menghancurkan kita bila tertangkap."
"Aku tahu. Tapi tidak ada salahnya mencoba. Kalau harus hancur, biarlah hancur sekalian. Sekarang aku sudah tidak punya apa-apa."
"Dia tidak jadi menjebloskan paman ke penjara, dia juga tidak menyita rumah paman. Paman masih diberi pekerjaan, Devika juga bisa hidup tenang. Apakah paman masih ingin mendapatkan perusahaan paman kembali, padahal paman tahu itu adalah sebuah usaha yang tingkat keberhasilannya rendah. Bahkan nyaris tidak mungkin. Aku bisa memberi paman bantuan, tapi tidak banyak. Meskipun bekerja di sana, aku tidak bisa bergerak bebas. Setiap karyawan di sana dijaga ketat. Sebaiknya kau pikir-pikir dulu, paman."
Adam mendengus. "Kalau kau tidak berhasil, maka kau tidak akan bisa mendapatkan Devika. Karena...sekarang pria itu menginginkan putriku."
"Apa...Devika?"
"Ya! Kalau kau masih ingin menikahi putriku, kau harus berhasil. Aku juga tidak rela putriku bersamanya. Tapi karena saat ini aku tidak punya kekuatan melawannya, aku tak bisa berbuat apa-apa."
"Paman yakin Fabian berpacaran dengan Devika?"
"Pria itu sendiri yang datang padaku dan meminta agar aku membiarkan Devika tinggal bersamanya. Dia berjanji tidak akan menyakiti putriku tapi aku tidak akan membiarkan hal itu berjalan lama. Putriku tidak boleh dengannya."
"Kalau begitu kita harus bergerak cepat, paman."
"Harus. Kau segera temukan kelemahannya."
"Aku akan mencoba mencuri berkas-berkas penting perusahaan. Selanjutnya aku akan mengabarimu, Paman.''
Adam mengangguk. ''Aku tahu aku bisa mengandalkanmu. Putriku akan aman bersamamu."
Keduanya bangkit berdiri dari kursi masing-masing. Jam makan siang hampir selesai, sudah waktunya mereka kembali. Pria yang lebih muda meminta bill pembayaran pada pelayan. Sesudah membayar, keduanya sama-sama keluar dari rumah makan tersebut.
Mereka tidak menyadari selama perbincangan yang penuh rahasia itu berlangsung, ada orang lain yang mendengarkan penuh minat dengan senyuman sinis tersungging dibibirnya yang tebal dan hitam. Mudah sekali mengelabui orang-orang yang belum berpengalaman tapi berniat melawan sang master.
***
''Fatar Sadewa," Fabian mengelus dagunya, seraya berpikir apakah ia pernah mendengar nama itu.
Pria yang ia bayar untuk mengintai Adam datang membawa kabar yang tak terlalu mengejutkannya. Fabian sudah melihat gerak-gerik pria paruh baya itu yang lumayan mencurigakan, dan dugaannya ternyata benar.
Ia mendegus jijik mendengar kerjasama amatiran itu. Mau membodohinya? sebaiknya berpikir seribu kali dulu. Kalau dirinya adalah pria bodoh yang mudah ditipu, tidak akan bisa ia memimpin perusahaan sebesar Bachtiar Group.
"Siapa Fatar Sadewa ini?"
"Dia bekerja di perusahaan Anda---"
''Di kantorku?" Fabian tersenyum. "Menarik! Si tua bangka itu lumayan pintar mencari sekutu. Lanjutkan."
"Mereka berencana mencuri berkas penting perusahaan Anda, keduanya benar-benar serius dengan rencana tersebut. Dan...laki-laki yang bernama Fatar ini kelihatannya menyukai putri Adam."
Minat Fabian terhadap kabar itu semakin meningkat. ''Menyukai, ya?" Dirinya jadi semakin penasaran. Terkadang Fabian tertantang menyelesaikan teka-teki seperti ini.
"Adam berniat menikahkan putrinya dengan Fatar."
Rahang Fabian menjadi tegang. Betapa tidak tahu diuntungnya pria paruh baya itu, makinya dalam hati. Fabian melipat tangan dan meletakannya di atas meja kerjanya. Pria suruhannya berdiri menanti instruksi selanjutnya.
"Terus selidiki mereka. Dan Si Fatar ini, cari tahu identitasnya dengan lengkap."
"Baik, Pak."
"Satu lagi! Pastikan apakah Adam bekerja sama dengan putrinya dalam menjalankan aksinya ini atau tidak.''
Fabian meremas jari-jarinya kuat. Sampai saat ini Devika tidak menunjukkan tingkah yang mencurigakan, tapi bukan berarti perempuan itu bisa dipercaya. Kabar barusan menjadi perbandingannya. Adam yang sudah tua saja bisa merencanakan hal seperti ini, itu berarti Devika pun mungkin.
Fabian memutuskan dalam hati untuk lebih hati-hati terhadap Devika. Jangan sampai pesona perempuan itu membutakannya dari apa yang sedang terjadi. Bila Devika benar-benar terlibat, Fabian akan....
"Sial," pria itu mengumpat. Membayangkan dirinya melukai wanita itu sudah membuatnya gila. Fabian berteriak memanggil sekretarisnya lewat telepon.
"Iya, Pak."
"Jangan ada yang masuk keruangan saya selama saya keluar, mengerti!!''
''Baik, Pak."
***
"Oh syukurlah kau sudah pulang." Devika sedang memakai gaunnya tapi kesulitan memasang resleting gaunnya yang terletak di bagian punggung. "Bisa tolong pasangkan?" Perempuan itu mengarahkan punggungnya pada Fabian, suasana hatinya sangat bagus sekarang karena sebentar lagi mereka akan pergi bersama ke ulang tahun Cindy.
Fabian berjalan mendekat, sorot matanya lekat menatap Devika. Seolah mencari-cari sesuatu, bisa saja...kejujuran?
"Mandilah sana, aku sudah siapkan bajumu." Devika membalikkan badan setelah resleting gaunnya terpasang. Malam ini wanita itu mengenakan gaun panjang semata kaki warna merah maroon. Gaun ini adalah pilihan Fabian ketika mereka ke butik dua hari yang lalu. Potongannya cukup sopan. Lagi pula Fabian tidak suka Devika berpakaian terlalu terbuka di muka umum.
Fabian memandang Devika dalam diam. Wanita itu sedang merias wajahnya, memoleskan sesuatu yang tak ia kenali nama produk itu. Tidak dipungkirinya, Devika memang cantik. Wanita itu terlihat polos dengan caranya sendiri.
Tapi...apakah kepolosan itu adalah yang sebenarnya?
Fabian menggeleng sekali, menepis kecurigaannya yang tidak berdasar. Wanita itu sudah bersedia tinggal bersamanya, menjadi teman tidurnya. Rasanya sangat kejam bila menuduhnya untuk hal yang belum pasti ia lakukan.
Fabian mendekat pada Devika yang kini sedang duduk kursi di depan meja rias, di dalam cermin mata keduanya saling beradu. Untuk dua detik yang rasanya sangat lama, tatapan mereka seolah menyatu. Fabian menunduk, memutus kontak mereka, kemudian mengecup puncak kepala Devika.
"Aku mandi tidak akan lama." gumamnya seraya melepas jam tangannya lalu disusul dengan kancing kemejanya.
''Tidak usah buru-buru! Acaranya mulai dua jam lagi."
"Lalu kenapa kau sudah rapi?"
Devika tersenyum, salah tingkah. "Kau seperti tidak tahu perempuan saja, Fabian. Perempuan kalau make up-an, pasti lama."
***
"Belum selesai juga?" Fabian sudah berpakaian dari tadi, pria itu terlihat sangat tampan dalam setelan hitamnya. Hanya saja ia tak habis pikir kenapa Devika masih belum selesai dengan alat-alat kecantikannya, padahal sudah hampir dua jam perempuan itu berias.
"Sedikit lagi." Devika memoleskan lipstik merah di bibirnya. Ia bangkit dari kursi, mencari-cari tas tangannya yang lupa ia letakkan dimana. "Eh, tasku dimana ya?"
Fabian mendengus. "Di toko tas mungkin," gumamnya asal karena kesal.
Devika mendongak, kemudian ia terdiam melihat ketampanan pria di depannya.
"Kenapa lagi?" Fabian masih kesal, pasalnya ia sudah menunggu sangat lama. Tahu seperti ini, ia tidak akan membatalkan meetingnya tadi sore. Hanya untuk menemani Devika, ia rela pulang cepat padahal pekerjaannya sangat banyak di kantor.
"Kau tampan, tampan banget!"
Ekspresi Devika terlihat berlebihan bagi Fabian. Pria itu memasukkan lengannya ke dalam saku lalu berkata. "Jangan coba alihkan pembicaraan! Cepat cari tasmu dan kita berangkat."
Bibir Devika cemberut. "Bantu cari!"
"Ya, Tuhan!!" Fabian mengerang.
***
Devika terbangun karena suara ponselnya yang berbunyi.
"Halo Cind---"
''YYAAAA, BILANG TERIMAKASIH BANYAK UNTUK COWOKMU! UANG YANG DIA KASIH BANYAAAK BANGET."
Devika menjauhkan ponsel dari telinganya karena teriakkan Cindy membuat telinganya sakit. Tadi malam Fabian memberikan amplop sebagai hadiah. Ia tahu itu berisi cek, tapi ia tidak tahu nominalnya. Mendengar teriakan histeris Cindy barusan, ia yakin kalau jumlahnya pasti lebih dari lumayan.
"Tidak usah teriak Cindy," ia berbicara pelan, takut Fabian bangun.
"Ya ampun, ya ampun! Sekarang aku bisa memperbesar toko sepatuku."
"Aku juga senang."
"Bilang makasih sama Fabian!"
''Hhhmm, nanti aku sampaikan."
"Aku tutup, ya! Aku menyayangimu, bye."
"Aku juga sayang padamu." Telepon terputus. Bibir Devika tersenyum, ia bahagia mendengar kegirangan sahabatnya itu.
''Sama siapa sayang-sayangan?" Suara bas Fabian terdengar tajam. Matanya yang tadi terpejam kini menatap keras pada Devika.
"Eh?"
''Kau berbicara dengan siapa barusan?" Nadanya masih kasar.
"Dengan Cindy, kamu kenapa bangun, bangun langsung marah, sih?'' Devika mendelik tidak suka. "Kalau tidak percaya, nih lihat." Ia menunjukkan panggilan terakhirnya. "Cindy, kan?"
***
"Kapan terakhir kali kau berbicara dengan Ayahmu?" Fabian bertanya tanpa menoleh pada Devika. Membalikkan koran yang ia pegang, kemudian membaca lagi.
Devika meletakkan potongan apel yang telah dikupasnya di atas meja, ia naik ke atas sofa dan duduk di sebelah Fabian. "Kemarin, kenapa?"
"Apa yang kalian bicarakan?"
"Kabar masing-masing, memangnya apa lagi?"
"Oh."
Tidak menyadari gelagat asing Fabian, Devika mengambil sepotong apel dengan tangannya dan menyodorkannya pada Fabian.
"Aaaa."
Fabian menatapnya. "Aku bisa makan sendiri."
"Sudah makan saja, aku suapi." Devika tersenyum manis. Fabian membuka mulutnya dan memakan apel itu. "Manis?" tanya Devika.
"Hhhmm."
"Manisan mana? Apelnya atau aku?" goda Devika.
Tidak menjawab, Fabian malah kembali membaca korannya.
"Isshh," Devika mencibir. Dengan kesal ia mengambil remot dan menghidupkan tv.
"Pelankan suara tv-nya, Devika."
Alih-alih memelankan suara tv, Devika malah mematikannya.
"Kenapa mati?" Dengan santainya Fabian bertanya.
"Biar kau senang." Devika beranjak dari duduknya dan berjalan pergi.
"Kau mau ke mana?"
Devika tidak menjawab dan terus berjalan. Ia geram, kenapa Fabian bisa menyenangkan hanya pada saat ada pria lain yang menggodanya. Seperti tadi malam di pesta Cindy, Fabian terus memeluk pinggangnya dengan posesif. Bila ada laki-laki yang mendekatinya, Fabian langsung melayangkan tatapan perangnya, hingga tak ada satu pun laki-laki yang berani mendekatinya. Tapi di saat berdua seperti ini, pria itu seperti tak menganggapnya ada.
"Datar seperti tembok," rungut Devika. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Mencari-cari remot, setelah ketemu ia menghidupkan tv. Tentunya dengan volume yang sangat keras.
Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka. Fabian masuk dan terkejut dengan suara tv yang memekakkan telinga. Dan ia lebih terkejut lagi melihat Devika bisa tertidur di dalam sana.
Menutup pintu di belakangnya, Fabian kemudian mematikan tv. Ia mendekat ke sisi Devika. Ia merapikan rambut wanita itu, lalu mengecup keningnya lembut.
"Jangan merusak kepercayaanku padamu!" Ujarnya berbisik, sekali lagi mengecup kening wanita itu.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro