Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian - 19

Ada banyak alasan yang menyebabkan saya nggak bisa up date. 😷😷

Tapi yang penting sekarang sudah up date😚
Semoga suka, ya!!..

Vote dan komen jangan lupa😙😙😙

________________________


Masih pagi Devika sudah sibuk. Mulai dari menyiapkan pakaian Fabian. Celana, kemeja, jas, kaos kaki, dan sepatu. Semua itu--minus sepatu dan kaos kaki--ia sediakan di ranjang sebelah Fabian, agar saat pria itu terbangun ia akan melihat semua itu. Kemudian ia memasak sarapan, lagi-lagi nasi goreng. Tapi nasi goreng kali ini sedikit berbeda dari yang biasa. Yang ini ia buat lebih spesial agar Fabian tak bosan, yah ia berharap begitu. Karena cuma nasi goreng yang bisa ia masak. Mau bagaimana lagi, terbiasa hidup berkecukupan membuatnya tak pernah harus turun ke dapur.

"Akhirnya selesai juga." Ia bermonolog sendiri. Setelah mengisi dua piring dengan nasi gorengnya, Devika menyiapkan minuman. Pagi-pagi seperti ini Fabian suka minum kopi. Ia membuat kopi untuk pria itu dan meletakkan segelas air putih di sebelahnya, kalau-kalau Fabian ingin minum. Dan untuknya sendiri ia membuat jus jeruk dingin.

Devika memperhatikan meja makan yang telah terisi hidangan buatannya. Memang terlihat sederhana, tapi perjuangannya menyiapkan itu sungguh patut diacungin jempol. Dari yang terbiasa dilayani pelayan, kini harus berganti peran bak pelayan.

Kalau dipikir-pikir Devika itu sudah persis istri Fabian. Saat pagi, menyiapkan sarapan, menyediakan pakaian. Ketika malam tidur bersama dan bercinta. Tak ubahnya pasangan suami-istri.

Devika melirik jam di dinding, sudah pukul setengah tuju.

Fabian masih tidur saat ia pergi ke kamar, cara tidurnya pun sama. Fabian memang kalau tidur tidak lasak. Tidak seperti Devika yang suka bergerak kesana-kemari, tidak jarang Fabian kena tendang kakinya. Untung saja Fabian tidak mempermasalahkan hal itu, paling-paling ia menggeser Devika agar tidak menendangnya lagi. Tapi yang namanya bawaan, sulit dihilangkan. Devika jadi malu sendiri saat Fabian mengungkit-ngungkitnya.

Devika berdiri di ujung ranjang. Ia memperhatikan Fabian yang sedang tidur, pria itu jarang mengenakan baju saat tidur. Sehingga dadanya selalu menjadi pemandangan menggiurkan bagi Devika.

Melihat Fabian yang tidur nyenyak, ia jadi tidak tega membangunkan pria itu. Apalagi tadi malam Fabian baru naik ke tempat tidur saat jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Pria itu hanya memeluknya saja, mungkin sudah kelelahan untuk mengajaknya bercinta.

Akhirnya Devika kembali ke luar kamar. Nanti saja, setengah jam lagi baru ia akan membangunkan Fabian. Pergi ke dapur, Devika memutuskan untuk sarapan lebih dulu. Pagi ini ia berencana ke supermarket, ada resep yang ingin dimasaknya dan memerlukan bahan. Kemarin ia mencari-cari resep makanan di internet, cuma mau belajar saja. Tidak mungkin Fabian terus memakan menu yang sama setiap hari. Karena saat ini pria itu tidak protes, bukan berarti seterusnya ia akan sanggup memakan menu itu-itu saja. Dirinya sendiri saja pun sudah mulai bosan.

***

Ketika suapan terakhir masuk ke dalam mulutnya, baru Fabian datang ke dapur. Masih tanpa baju alias telanjang dada.

"Nasi goreng lagi?" Fabian bertanya searaya mirik nasi goreng bagiannya. Fabian tidak pernah memaksa Devika untuk menyiapkan sarapan, ia bisa saja memesan makanan atau sarapan di luar. Tidak masalah baginya karena seringnya pun begitu. Namun saat Devika tinggal bersamanya, wanita itu setiap pagi memasak untuknya. Tak bisa dihentikan hatinya jadi melembut melihat usaha wanita itu. Pertama kali Devika memasak, rasanya luar biasa mengenaskan. Tapi tidak tega memutus semangatnya, Fabian menghabiskan tanpa sisa. Hari kedua, ketiga pun sama, bahkan hingga kali keempat rasanya masih belum berubah. Ia sudah hampir menyerah dengan usahanya menjaga perasaan wanita itu hingga kemudian Devika memasak nasi goreng yang lumayan enak. Dan sekarang nasi goreng buatan Devika sudah cukup enak.

Devika tersenyum atau lebih tepatnya nyengir. Sebelum berbicara ia meminum jus jeruknya dan melap mulut. "Untuk sementara ini dulu, ya." Katanya ngeles. "Ini aku mau belanja, biar besok tidak nasi goreng lagi." Ia tidak pernah bosan memandang tubuh Fabian yang kekar. Otot pria itu membuatnya ingin menyentuhnya. Fabian mempunyai badan ideal. Ia tidak punya perut sobek-sobek seperti yang digilai gadis-gadis remaja zaman sekarang, tapi Fabian memiliki otot-otot yang pas dan tidak berlebihan. Terlihat pria itu memang menjaga tubuhnya dengan olahraga. Dalam hati Devika melirih, apakah akan ada waktu dimana ia berhak mengatakan di depan umum kalau pria ini adalah miliknya?

Fabian menarik kursi kemudian duduk di sebrang Devika. Menarik pringnya lebih dekat, Fabian mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Rasanya sudah lebih baik lagi, tampaknya Devika sudah semakin belajar.

"Kau tidak perlu memasak kalau kau tidak ingin--"

''Aku ingin," Devika memotong. ''Aku ingin membuatkan sarapan untukkmu."

Kunyahan mulut Fabian menjadi berhenti, pria itu mendelik ke arah Devika dengan pandangan tak terbacanya. "Baiklah," ujarnya kemudian. ''Tapi kau belanja harus pakai uangku." Selama ini memang Devika tak pernah meminta uang belanja pada Fabian, ia menggunakan uang tabungannya sendiri.

"Aku punya uang sendiri---"

''Kau pakai uangku atau tidak usah belanja sekalian?" Kali ini Fabian yang memotong ucapan Devika, pria itu memberikan pandangan dan sorot mata tajam tak terbantahkannya.

Devika tahu kapan harus tidak mendebat. Ia terdiam sementara Fabian melanjutkan sarapannya.

"Jam berapa kau pergi?" tanya Fabian.

''Sekarang! Soalnya nanti siang aku ada perlu sama Cindy." Ulang tahun Cindy adalah besok, rencananya hari ini mereka berdua akan membuat persiapan akhir.

"Tunggu aku mandi sebentar, kita pergi bersama."

"Bukannya kau harus bekerja?"

Fabian mendelik. Ia menyesap kopi buatan Devika sekali lalu berkata. ''Aku ini bos, tidak masalah tidak masuk kerja."

***

"Kau benar-benar tidak bisa datang ke pesta ulang tahun Cindy?" Devika masih berharap Fabian bisa datang, rasanya pasti ada yang kurang kalau bukan Fabian yang berada di sampingnya. Di sana nanti, teman-temannya pasti membawa pasangan. Kalau ia pergi sendiri bagaimana ia menjawab pertanyaan-pertanyaan temannya?

Saat ini Devika dan Fabian berada di supermarket. Fabian membawa troli sementara Devika yang memilih barang-barang yang ingin dibeli. Devika cukup terkejut melihat Fabian mau belanja perlengkapan dapur bersamanya, pria itu lumayan sabar menunggunya. Ketika ia bertanya tentang perbandingan merk dan kualitas bahan pun, Fabian menjawab bagus. Tidak ketus atau kesal.

Kemarin Fabian sudah mengatakan kalau pria itu tidak bisa datang, walaupun begitu Devika ingin bertanya lagi. Siapa tahu pria itu berubah pikiran.

"Aku sudah bilang aku ada pekerjaan." Fabian mengambil alat pencukur dari rak dan melemparkannya ke dalam troli. Ia menunduk, melihat wajah Devika yang berubah masam. "Kenapa?" tanyanya bingung.

"Besok itu akhir pekan, masa tidak bisa?" Devika cukup tahu Fabian super sibuk. Apalagi perusahaan ayahnya yang kini diambil alih oleh pria itu butuh banyak perbaikan di sana-sini, benar-benar menguras pikiran dan waktu. Tapi apakah tidak bisa meluangkan waktu sedikit saja untuknya?

Kini giliran pewangi ruangan yang masuk ke dalam troli, mata Fabian mencari-cari lagi barang-barang yang mungkin ia butuhkan. Tanpa melihat ke arah Devika ia berujar. ''Aku tidak mengenal Cindy, jadi kehadiranku pasti tidak terlalu diperlukan. Lagipula aku sudah berjanji memberinya hadiah, menurutku itu sudah cukup."

Cukup untukmu tapi tidak untukku. Rasanya bibir Devika sudah gatal ingin berteriak seperti itu. Tapi bibirnya hanya bisa terkatup rapat. Daripada memohon pada Fabian agar pria itu ikut datang bersamanya, Devika lebih memilih lanjut mencari barang-barang yang ia perlukan. Terserahlah kalau pria itu tidak mau datang.

"Aku ke sana dulu, mau mencari minuman." Suara Fabian membuat tatapan Devika beralih padanya. Fabian benar-benar tidak melihat muka kesal Devika, pria itu masih berbicara seperti tak ada yang salah pada wajah lawan bicaranya.

"Pergi saja sana, sekalian tidak usah balik." rungut Devika dengan nada pelan, tapi ternyata samar-samar Fabian masih bisa mendengar.

"Apa?"

"Tidak ada!" Devika berkelit. "Mau cari minuman, kan? Ya sudah sana."

Setelah Fabian pergi, Devika melanjutkan kegiatan belanjanya. Satu persatu barang yang ia cari telah berakhir di dalam troli. Ia baru akan bergerak ke rak lain ketika sebuah suara menyebut namanya.

"Ternyata aku tidak salah lihat, kau benar Devika." Arga berdiri di depannya, dengan bibir melukiskan senyuman lebar. Seolah bertemu dengan Devika adalah sebuah anugerah.

"Hai," Devika membalas senyum Arga. "Lagi belanja juga?"

''Cuma beli ini." Arga mengangkat botol minuman di tangan kanannya. ''Kau sedang belanja?" Ia melirik troli Devika yang hampir penuh, alisnya terangkat saat melihat ada sabun pencukur pria di sana.

"Iya."

"Banyak ya. Hobi masak juga?" tanyanya saat melihat beberapa bahan mentah untuk dimasak berada di dalam troli.

''Haha, mau belajar."

"Barang bawaanmu pasti banyak itu," Arga mencoba modus, siapa tahu ini jalan untuknya mendekati Devika. Pasalnya sepupunya Cindy sangat sulit diajak kerja sama, selalu saja ada alasannya kalau ia minta didekatkan dengan Devika. Jujur ia sudah sangat tertarik pada perempuan ini pada pandangan pertama. "Kau ke sini sendiri?"

Bibir Devika terbuka hendak menjawab namun segera didahului oleh suara bas seseorang.

"Dia bersama saya." Fabian melingkarkan satu lengannya dipinggang Devika dengan cara yang begitu posesif, mata pria itu mengunjam tajam ke arah Arga. Pandangannya bak predator yang tak ingin hewan buruannya diambil predator lain.

Arga mengerjap, merasa tidak asing dengan wajah Fabian namun tidak ingat pernah bertemu di mana. Ia melihat dari Devika kemudian pada Fabian, menunggu diperkenalkan.

Devika segera sadar dari keterkejutannya. Ia tidak melihat Fabian datang dan tiba-tiba lengannya sudah memeluknya, erat pula. "Kenalkan ini Arga. Arga ini Fabian." gumamnya, berusaha tidak kaku namun sulit. Ia mendongak melihat wajah Fabian, kemudian meringis ketika mendapati raut tidak suka di wajah itu.

Arga mengulurkan tangan. Sebagai kesopanan Fabian menjabat tangan Arga, dengan kuat dan penuh perhitungan. Arga cukup memahami maksudnya, bibirnya tersenyum dipaksakan. Ternyata perempuan yang ditaksirnya sudah ada yang punya.

"Besok kau datang kan ke pesta ulang tahun Cindy?" Arga kembali bersuara setelah jabatan tangannya terlepas.

Devika mengangguk. "Cindy sahabat terbaikku, mana mungkin aku tidak datang."

"Baiklah kalau begitu, sampai jumpa di sana." Arga pamit kemudian keluar dari supermarket. Tidak bisa disangkal bahwa dirinya sedikit terintimidasi oleh tatapan Fabian yang tajam. Ia mencoba mengingat di mana pernah bertemu dengan Fabian. Tiga detik berpikir akhirnya ia ingat. Fabian adalah pengusaha yang sering ia lihat di majalah bisnis. Rupanya saingannya sangat berat. Sudah bisa dipastikan ia takkan menang jika bersaing dengan pria seperti Fabian. Separuh dari populasi di tanah air berharap menjadi pasangan miliader muda tersebut.

***

Di dalam mobil, Fabian dan Devika dalam perjalanan pulang. Sejak Arga pergi Fabian tak banyak bicara bahkan cenderung diam. Sekarang pun hanya ada kesunyian di dalam mobil yang berjalan.

"Boleh aku pasang musik?" Devika tidak tahan lagi dengan kesunyian itu. Ia tahu Fabian sedang marah, yang ia tidak tahu marah karena apa. Karena Arga, kah? Tapi kenapa?

Bukannya mengijinkan, Fabian malah bertanya. "Cindy berteman dengan pria tadi?" Lihat, bahkan menyebut namanya pun Fabian tidak suka.

"Arga sepupunya Cindy."

"Pukul berapa besok pestanya?"

"Pukul enam sore."

"Tunggu aku pulang! Kau berangkat denganku."

Alis Devika mengernyit. Bingung bercampur harap. "Kau mau datang?"

"Hhhmmm."

"Bukannya tadi--"

"Kau mau aku datang atau tidak?" Gumam Fabian kasar. Pria itu menoleh cepat dari jalan pada wajah Devika.

"Aku yah senang kau ikut. Tapi kok tiba-tiba berubah pikiran?"

"Namanya juga manusia. Punya pikiran." balas Fabian ngawur malah membuat Devika makin mengernyit.

***

"Fabian?"

"Hhhmm."

Sejenak Devika ragu, tangannya yang sedang menggosok punggung telanjang Fabian dengan minyak angin terhenti.

"Kau dan Monica benar-benar tidak ada apa-apa, kan?" tanyanya pelan. Tadi sore ia menonton berita gosip, di sana dikatakan tentang Fabian dan Monica yang baru-baru ini bertemu di sebuah restoran. Melihat itu hatinya menjadi resah, bertanya-tanya tentang kebenarannya.

"Aku tidak suka menjawab pertanyaan yang sama berulang-ulang dengan jawaban yang sama."

"Tapi---"

Mengerang, Fabian membalikkan badan dan menatap Devika. "Kau pikir aku berbohong? Kalu kubilang tidak ada itu berarti memang tidak ada."

"Kalian makan bersama."

"Itu hanya makan siang biasa membicarakan pekerjaan."

Meski Fabian menjawab tidak tapi entah kenapa hatinya masih belum bisa tenang sepenuhnya. Fabian menyadari perubahan pada raut wajah Devika. Ia menarik Devika hingga berbaring di sebelahnya. Dipeluknya perempuan itu, sebelah tangannya yang bebas menangkup pipinya.

"Kau pernah melihat aku menciumnya?" bisiknya, merasa perlu meluruskan masalah ini supaya Devika tidak salah paham. Dia pun tidak tahu kenapa tiba-tiba perasaannya tidak senang melihat Devika sedih tentang gosip murahan yang ditonton perempuan itu di tv.

Devika sekilas menjadi gugup karena tindakan Fabian barusan. Ia menggeleng, karena memang ia tidak pernah melihat Fabian dan Monica berciuman. Di tv pun tidak.

"Apakah kau pernah mendengar aku mengatakan bahwa Monica adalah kekasihku?"

Lagi-lagi Devika menggeleng.

"Itu berarti memang dia bukan kekasihku, apalagi tunangan."

"Jadi...siapa kekasihmu sekarang?" Dirinya ingin meneriaki mulutnya yang asal bunyi. Pertanyaan bodoh macam apa itu?

Fabian menatap Devika. Sudah sering Devika menatap wajah Fabian dalam jarak yang sangat dekat, meski begitu dia belum bisa mengartikan tatapan pria tersebut.

"Kau."

"Itu tidak benar." Lirih Devika.

"Kenapa tidak benar?" Fabian mengusap bibir bawah Devika dengan lembut.

"Tidak ada orang yang tahu kalau aku kekasihmu, itu tidak sah."

"Kau dan aku tahu."

"Kekasih di mana maksudmu? Di tempat tidur? Apakah teman tidur bisa dikatakan kekasih?"

"Menurutku ya." Fabian menunduk, mengecup singkat bibir Devika yang terkatup. "Selama hanya kau yang kutiduri setiap malam."

"Kau puas meniduriku?"

Fabian menarik diri, sedikit menjaga jarak dari Devika. "Kenapa bertanya seperti itu?"

"Cukup jawab saja." Desak Devika.

"Tentu saja. Kalau tidak aku pasti sudah mencari perempuan lain."

Devika mengangguk lemah. "Kalau kau sudah bosan denganku, katakan saja! Memang saat kau melepasku, aku sudah tidak perawan lagi, tapi saat sekarang ini keperawanan sudah tidak terlalu penting. Mungkin masih ada pria yang mau menerima keadaanku apa adanya."

Fabian kembali memeluk pinggang Devika. "Kau..." geramnya tertahan. "Aku tidak akan pernah melepasmu, kau ingat itu!! Siapa pun laki-laki yang berani menyentuhmu akan menyesal." Fabian bergumam dengan desisan sebelum kemudian melumat bibir Devika dengan buas. Ia menindih tubuh Devika, ciumannya bertambah dalam.

Devika membalas lumatannya, berusaha mengimbangi Fabian. Di sela ciuman panas mereka, Devika tersenyum dalam hati. Semakin ke sini, perasaan Fabian terhadapnya sudah semakin terlihat. Fabian hanya gengsi di mulut, sementara hati pria itu hampir berlabuh. Devika mengalungkan kedua lengannya di leher Fabian, bibirnya mengerang tatkalah pria itu meremas payudaranya. Detik berikutnya mereka larut dalam percintaan. Percintaan yang akan terus terulang hingga teriakkan nikmat terdengar mengisi seluruh kamar.








Tbc....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro