Bagian - 15
Typo yang berserakan sama-sama kita bantu koreksi ya🐯🐯!!
Ini udah aku up date lagi, jgn lupa vote👍👍👍dan komen ya. Biar aku lebih rajin up date, ok??
Semoga suka😙😙😙
____________________________
"Sudahlah, Vi." Cindy mengusap kepala Devika dengan pelan, turut sedih melihat sahabatnya seharian ini terus menangis. "Laki-laki seperti dia itu tidak pantas kau tangisin. Buang-buang air mata tahu, tidak." Pagi tadi Cindy tidak menemukan Devika di Toko setelah ia kembali dari gudang. Ketika ia bertanya pada karyawannya ke mana Devika pergi, Susi menjawab kalau sahabatnya tersebut telah pergi. Dan satu hal yang membuatnya tidak mengerti adalah ketika Susi mengatakan Devika pergi sambil menangis. Jelas saja ia jadi khawatir, pasalnya akhir-akhir ini--sejak Devika mengenal Fabian-- perempuan itu sering sekali menangis. Tanpa bertanya pada yang bersangkutan, Cindy sudah tahu siapa penyebab kesedihan Devika. Pasti Fabian.
Dan benar saja, siang hari saat ia menemui Devika, sahabatnya itu cerita sedikit tentang masalahnya kali ini. Fabian betul-betul pria brengsek, itulah yang dipikirkannya. Untuk apa pria seperti itu ditangisi, mendingan juga dicuekin saja. Tapi susah berbicara kepada orang yang tengah dimabuk cinta, apa pun yang ia katakan pasti takkan diterima. Seperti Devika sekarang ini, sudah jelas Fabian laki-laki tak berperasaan, tapi entah kenapa ia malah mencintai pria seperti itu.
"Hiks...." Devika kini sedang menenggelamkan kepalanya ke dalam bantal yang ia tiduri, tidak merasa lebih baik mendengar semua ucapan Cindy yang dari tadi menenangkannya. Ia sendiri merasa bodoh bermuram durja seperti ini, tapi hatinya seolah berkhianat untuk terus memikirkan Fabian. "Dia tidak punya hati, Cin," adu Devika dengan terisak. ''Dia bisa nuduh aku macam-macam, tapi aku tidak boleh mencampuri urusannya."
"Makanya tidak usah menangis untuk dia," kata Cindy. "Jangan cinta sama orang seperti itu."
"Aku maunya sih gitu, tapi hatiku sudah jatuh sama dia, Cin."
Cindy menghela napas melihat kekeraskepalaan sahabatnya ini. "Terserahmu sajalah," putusnya, tidak tahu lagi harus bilang apa. "Kau yang merasakan, aku toh tidak bisa memaksamu, kan?"
Devika melap ingusnya dengan punggung tangannya. Ia berbalik, telentang dan menatap Cindy yang duduk di sebelahnya. "Aku harus bagaimana, Cindy? Aku tidak kuat terus-terusan seperti ini."
"Tinggalkan saja dia. Tadi siang Arga nelpon aku, dia ngajak kita makan siang bareng besok. Kalau kulihat-lihat, roman-romannya sepupuku itu suka denganmu."
Devika memejamkan mata, enggan membalas perkataan Cindy. Ia akui Arga memang pria yang ganteng, baik dan sopan. Mereka baru saling berbicara selama beberapa jam tapi perasaannya setuju kalah Arga itu bukan laki-laki yang brengsek atau suka mempermainkan wanita. Tapi...hatinya tidak merasakan getaran-getaran listrik saat berada di dekat pria itu. Sangat berbeda dengan apa yang dirasakannya terhadap Fabian. Jantungnya seolah akan melompat karena sangkin kuatnya dentuman detaknya. Dan sekarang Cindy malah ingin menjodohkannya dengan sepupunya itu?
Lalu bagaimana dengan Fabian? Bagaimana nasib utang-utang Ayahnya? Bagaimana dengan nasibnya sendiri?
"Aku belum iyain, sih." Ternyata Cindy masih belum selesai dengan deklarasinya soal undangan makan siang dari Arga. ''Kalau kamu setuju biar aku SMS-in sekarang."
"Jangan." Jawab Devika cepat. Masih lekat di ingatannya, di telinganya bahkan di hatinya yang saat ini masih sesak. Dengan umpatan, makian dan teriakkan Fabian menyangkut dirinya dan Arga. Devika tidak ingin semakin memperparah keadaan. Fabian bisa saja tidak sedang berada di Jakarta saat ini, tapi siapa pun tidak tahu apa yang bisa dilakukan Fabian. Bisa saja pria itu memperkerjakan mata-mata untuk membuntutinya. Membayangkan Fabian marah lebih dari pada ini sudah membuatnya ketakutan.
"Kau tidak mengerti hubunganku dengan Fabian," gumam Devika, ia mengarahkan pandangannya ke langit-langit kamar. Setengah melamun, ia berkata. "Takkan ada yang pernah mengerti. Dia yang memegang kendali, dia berhak atas diriku tapi aku tak punyak hak apa pun atas dia. Apa pun yang dia lakukan padaku, aku tidak berhak marah. Sebagaimana tak berperasaannya pun dia, bukan soal baginya. Mungkin hatiku memang terluka, tapi aku tak punya kekuatan untuk melawannya. Biarlah, kuharap waktu yang akan merubah segalanya. Aku cuma bisa berharap dan berdoa, suatu saat hatinya akan menjadi lembut. Karenanya sekarang aku tak bisa lepas darinya. Aku punya utang padanya, terlebih lagi...aku sudah jatuh cinta pada pria seperti Fabian."
Cindy terdiam. Tak satu katapun yang mampu bibirnya ucapkan. Dalam hati ia hanya mengaminkan doa sahabatnya tersebut, berdoa untuk kebaikan Devika.
***
Malam ini Cindy tidak lagi menginap di rumah Devika. Selepas makan malam, Cindy pamit pulang kepada Devika dan juga Adam. Sebenarnya Devika masih ingin bersama sahabatnya itu, masih ingin mencurahkan kesedihannya malam ini. Tapi ia tak bisa memaksa Cindy menginap karena malam ini--tepatnya jam sembilan--nenek dan kakeknya datang dari Surabaya. Sebagai cucu yang baik tentu saja Cindy harus menyambut kedatangan Kakek dan Neneknya.
"Jangan biasakan menonton film India, Devika." Adam menegur putrinya. Saat ini Devika sedang menonton tv di ruang tamu, Adam ikut duduk di sebelah putrinya tersebut. ''Tidak baik untuk kesehatan kalau ujung-ujungnya kau jadi menangis."
Ketika makan malam, Adam melihat mata putrinya yang sembab. Saat ditanya kenapa, Devika berbohong dengan menjawab kalau itu karena menonton film India yang sad ending. Adam sedikit tidak percaya tapi tak memperpanjang topik tersebut. Apalagi Cindy turut mendukung kebohongan Devika.
"Ayah tidak jadi pergi ke Bandung?" Devika mencari topik lain. Ia mengganti-ganti siaran tv walau tak ada satu pun yang ditontonnya.
"Ini mau berangkat. Kau yakin tidak mau ikut?" Salah satu sepupu Devika menikah lusa. Rencananya Adam akan berangkat malam ini. Bila Devika mau ikut tentu saja ia senang. Apalagi sekarang putrinya itu masih belum dapat pekerjaan, liburan sesekali pasti menyenangkan daripada di rumah terus.
Devika tampak berpikir. Ia ingin pergi, bila perlu akan lama ia tinggal di sana. Biarkan saja Fabian kelimpungan mencarinya, itu pun kalau benar pria itu mencarinya. Rasanya sudah penat isi kepalanya dengan masalah bersama Fabian saat ini, ia ingin liburan. Liburan yang lama dan panjang.
***
Di detik terakhir, Devika membatalkan niatnya untuk ikut ke Bandung menghadiri pernikaham sepupunya. Pada akhirnya cuma ayahnya yang pergi. Setelah mengantarkan ayahnya sampai ke depan pintu, Devika kembali ke kamarnya. Kembali bermuram durja. Hanya saja kali ini tak separah tadi sore saat Cindy masih ada di kamarnya.
Devika menatap ponselnya yang masih dalam keadaan mati dengan baterai berada di luar. Apakah Fabian menghubunginya? Ataukah pria itu mengiriminya pesan? Ia tidak tahu dan tidak mau tahu. Kemarahan ternyata masih tersisa, walau pun sedikit. Dengan menutup akses komunikasinya dengan Fabian, pria itu jadi tidak bisa memarahinya lagi. Untuk saat ini Devika belum siap menerima bentakkan pria itu lagi. Tunggu...tunggu dulu beberapa saat. Tunggu ia menguatkan hatinya.
Devika tertidur dengan tv yang menyala. Di layar saat ini sedang menampilkan artis India yang tengah menyanyi sambil berjoget. Kuatnya suara di dalam layar membuat perempuan itu tidak mendengar suara ketukan pada pintu kamarnya.
Pria yang sedang berdiri di luar pintu itu meminta pada pelayan kunci serep, mulai tidak sabar menunggu pintu terbuka. Pasalnya sudah berulang-ulang ia mengetuk tapi penghuni kamar itu masih juga belum membuka pintu. Meski sedikit enggan, pelayan tersebut tetap memberikan kuncinya pada Fabian. Ia tentu mengenal pria di depannya ini. Sudah beberapa kali Fabian berkunjung ke sana. Melihat Adam yang begitu hormat padanya membuat para pelayan pun berlaku sama. Fabian tidak meminta dengan paksaan, namun aura yang dikeluarkan pria itu seolah sulit untuk dibantah.
Setelah menyuruh pelayan itu pergi, Fabian memutar kunci pada pintu. Pintu tersebut kemudian terbuka dan memperlihatkan Devika yang sedang tidur. Di atas kasur, dengan posisi tidur yang aneh, kaki perempuan itu berada di ujung yang salah. Fabian lalu mengunci pintu di belakangnya.
Suara televisi menyambut Fabian saat kakinya berjalan mendekat ke arah tempat di mana Devika berbaring. Melihat betapa nyenyak wanita itu, tidur dengan bibir sedikit terbuka, tanpa sadar Fabian tersenyum kecil.
Wanita inilah yang membuatku gila satu harian ini, batinnya.
Fabian mengeluarkan dompet, kunci mobil dan ponsel dari dalam saku-sakunya lalu meletakkannya di meja samping tempat tidur Devika. Di dekat barang-barang yang baru saja ia letakkan, ia melihat ponsel Devika dengan baterai yang berada di luar. Matanya memindai antara ponsel mati Devika dan sang empunya ponsel. Ia kembali tersenyum, kali ini lebih lebar.
Ia menyukai bagaimana Devika mulai membangkang dan 'nakal' dalam artian baik.
Dalam hati Fabian merasa lega melihat Devika baik-baik saja. Ia pikir Devika tidak mengangkat ponselnya karena terjadi sesuatu yang buruk pada perempuan itu. Dirinya sampai kalang kabut menyelesaikan semua pekerjaannya agar bisa segera pulang ke Jakarta, bahkan masih ada beberapa proposal lagi yang perlu ia periksa tapi ia tinggalkan begitu saja. Saat sekarang sumber kekhawatirannya baik-baik saja, Fabian bisa berpikir lebih tenang.
Mulutnya bisa berbicara menusuk, menyakiti perasaan lembut Devika, tapi hati pria itu sebenarnya tak bermaksud demikian. Setelah membentak dan meneriaki Devika, sebenarnya Fabian menyesal. Hanya saja penyesalan selalu datang terlambat, tak bisa ditarik lagi.
Hatinya hanya terlalu gengsi untuk mengatakan apa yang tengah ia rasakan.
Ia cemburu.
Cemburu pada entah apa. Sangkin dia takutnya Devika bertemu dan dekat dengan laki-laki lain, akal sehat Fabian seolah menguap entah kemana.
Semakin hari, rasa yang tumbuh kian cepat di hatinya membuat Fabian takut. Ia takut menjadi ketergantungan kepada Devika. Ia takut jadi terlalu membutuhkan perempuan itu di dekatnya. Ia takut pada apa yang dirasakannya. Namun...ia lebih takut lagi kehilangan Devika.
Fabian mematikan tv, kemudian dengan sangat pelan ia membenarkan posisi tidur Devika yang salah. Perempuan itu menggeliat sebentar, namun kembali tidur.
Membuka seluruh pakaiannya-- hanya meninggalkan bokser hitam-- Fabian naik ke atas tempat tidur. Ia berbaring di samping Devika. Menarik tubuh Devika, ia memeluk perempuan itu. Harum tubuh dalam pelukannya membuatnya tenang, inilah bau yang sudah dirindukannya.
Fabian menatap wajah Devika yang tertidur. Dalam hati merutuki perkataannya pagi tadi. Mata wanita itu terlihat sembab, pasti ia habis menangis, renungnya merasa buruk.
Fabian meurunkan kepalanya, lalu mengecup lembut kedua mata Devika yang terpejam. "Maaf," gumamnya berbisik. Ia mengusap rambut Devika dengan sayang.
Devika, kelihatannya merasa nyaman dengan pelukan Fabian. Ia merangsek semakin rapat di dalam pelukan pria itu, kehangatan badan Fabian membuatnya terbuai dalam mimpi indahnya.
"Maafkan aku." Lagi-lagi Fabian meminta maaf. "Mimpi indah, sayang." Fabian menarik sebelah tangan Devika dan membawanya ke atas perutnya yang telanjang, ia memeluk bahu perempuan itu.
Apa yang membuat perempuan ini berbeda dengan wanita-wanita lain yang pernah bersamaku? gumam Fabian dalam hati.
Wanita lain belum pernah membuatnya pulang dari perjalanan bisnis lebih awal dari jadwal yang sudah diatur oleh sekretarisnya.
Memeluk Devika seperti ini terasa benar, seolah memang di sinilah tempatnya berada. Di dalam pelukan wanita itu.
Mereka bersama masih dalam hitungan minggu, tapi rasanya seperti ia telah mengenal Devika sejak lama. Merindu bila jauh. Cemburu yang tidak masuk akal.
Harus disebut apakah semua hal itu?
Cinta?
Apakah iya, saat ini Fabian tengah jatuh cinta pada Devika.
Fabian menatap intens wajah polos Devika, dan...detik itu juga ia tak lagi bisa menyangkal perasaannya.
Ia mencintai perempuan ini. Cinta yang entah kapan hadirnya. Yang pasti, dirinya takkan pernah melepaskan Devika. Sampai kapan pun.
Tbc...
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro