Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 7 - Pull Me From Hell

Agustus, 2017


Rupanya kata 'hati-hati' memang ungkapan lain dari sebuah perpisahan. Lima bulan berlalu setelah pertemuan terakhirnya bersama Ayya di siang hari itu. Juna menyesali urusan perpajakan Ayya yang begitu cepat selesai hingga mereka hanya punya waktu satu minggu saja. Oh, jangan lupakan juga tugas dadakannya setelah siang itu. Juna tiba-tiba harus mengikuti pelatihan di luar kota selama satu bulan. Ia benar-benar disibukkan dengan kegiatannya di kantor, bahkan setelah kembali pun pekerjaannya menumpuk karena banyak sekali Wajib Pajak yang membuat masalah dengan timnya. Tapi, ya sudah. Toh Juna sudah melakukan yang terbaik untuk membantu Ayya bukan?

Juna meraih gelas yang sudah berisi alkohol dan menenggaknya dalam satu kali tegukan. Pria itu mengernyitkan keningnya kemudian menyimpan gelasnya dan menatap kosong orang-orang di hadapannya.

"Kemana aja lo, nggak pernah kelihatan!"

Joshua duduk di sampingnya dan menuangkan minuman milik Juna pada gelas yang ia bawa, "Wih, mahal nih," kata Joshua.

Juna tersenyum miring, "Tadi ditawarin itu," katanya.

Joshua mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memiringkan tubuhnya untuk menatap Juna, "Sibuk banget lo Jun?" tanyanya.

"Ya, gitu lah."

"Sekarang udah nggak sibuk?"

Juna meminum kembali minumannya, "Sekarang makin sibuk."

"Harusnya gue istirahat, tapi malah ke sini," gumam Juna.

"Seruan di sini kali," kata Joshua.

Juna menghela napasnya dalam, "Di rumah nggak ada siapa-siapa juga. Mending di sini, rame."

"Karena udah rame, ya lo turun lah. Kita cari mangsa," tawar Joshua.

Juna menggeleng kuat, "Nggak. Lo aja sana. Gue bentar lagi balik," katanya.

"Lah! Kalau mau minum doang mah mending lo bekel ke rumah aja bro, ngapain ke sini."

"Dibilangin rumah gue sepi."

"Ya udah, party aja kita di rumah lo, biar rame."

Juna tertawa, "Bisa digorok emak gue nanti," katanya.


***


"Ayya, are u ok?"

Pertanyaan Maisy membuat Ayya menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca. Lima bulan terakhir rasanya sangat berat untuknya. Bagaimana tidak, Ibunya tiba-tiba menikah dengan Pak Sugeng—orang yang memberinya motor beberapa bulan lalu, tanpa berdiskusi dengan Ayya, tanpa meminta pendapatnya, dan Ayya hanya berakhir menurut tanpa bisa berkomentar apa-apa, tetapi ternyata semua tidak berjalan dengan lancar. Pernikahan Ibunya dengan Pak Sugeng yang cukup cepat di masa perkenalan itu rupanya sama-sama cepat juga di masa perpisahannya. Mereka hanya menikah selama tiga bulan, dan dua bulan selanjutnya adalah peperangan, yang mana Pak Sugeng tidak mau berpisah sementara Ibunya ingin berpisah, dan Ayya ... tentu saja, ia tidak mau melihat Ibunya menderita, makanya ia membantu menyelesaikan semuanya. Bahkan, Ayya yang mengurus prosedur perceraian Ibunya dan Pak Sugeng.

Ayya menghela napasnya, "Lega sih karena mereka udah cerai, tapi inget lima bulan terakhir yang berat ini tuh kayak ... wah, sumpah, berat banget," keluhnya.

Maisy mengusap pundaknya dengan lembut, "Nggak apa-apa, sekarang udah nggak apa-apa," katanya.

Ayya tersenyum miring, "Padahal aku pengen banget nikah di umur sekarang. Inget nggak sih kalian, aku selalu bilang pengen nikah di umur dua tiga."

Kaureen mengangguk, "Menikah dan menjadi Ibu Rumah Tangga. Ngurus suami dan keluarga, besarin anak dan punya happy family," katanya.

Ayya mendengus, "Tapi dikasih beginian, mikir lagi gue," kata Ayya.

Benar. Permasalahan rumah tangga Ibunya—yang tentu saja dialami sendiri oleh Ayya—datang di saat-saat di mana Ayya sedang ingin menikah. Rasanya seperti mendapat teguran bahwa pernikahan tak seindah yang Ayya bayangkan. Seharusnya sih ia bisa menjadikannya pelajaran, namun Ayya lebih memilih menjadikannya pertimbangan.

"Nggak apa-apa, dua tiga cuman sebuah angka," ucap Kaureen.

Ayya menganggukkan kepala.

"Karena masalah udah beres, saatnya cari cowok lagi," canda Maisy.

Ayya tertawa, "Di mana carinya ya?" tanyanya.

"Menyambung yang sempat putus aja Ya," ucap Kaureen. Ayya menatapnya penuh tanya, "Siapa?"

"Juna-juna itu loh, lo kayaknya dulu agak kepincut juga sama dia."

Ah, benar juga. Juna.

Ayya tersenyum, ingat tentang betapa menyenangkannya pertemuan mereka terakhir kali. Hanya saja, Juna datang di saat yang tidak tepat, setidaknya menurut Ayya, karena perasaan menggebu-gebu datang ke dalam hatinya sementara Ayya juga merasa bahwa saat itu adalah saat-saat di mana ia sedang ingin menikah, sesuai targetnya di umur dua puluh tiga, dan Ayya merasa ... dia takut kalau keinginan dan perasaan yang menggebu-gebu dalam hatinya malah menghancurkan semuanya. Tapi ternyata yang menghancurkan semuanya adalah kejadian beberapa bulan terakhir yang cukup sulit dilewatinya. Jangankan mengingat Juna, bisa mengingat bahwa ia sendiri harus bertahan saja Ayya kewalahan.

Aduh. Jangan lupa juga. Juna hanya seseorang yang membantunya, tidak lebih, dan Ayya juga sudah menyelesaikan urusan mereka. Ia anggap traktirannya terakhir kali adalah bentuk balas budinya pada Juna, yang mungkin tak setimpal juga memang, tapi setidaknya ... tidak merepotkannya lagi adalah jalan yang lebih baik dibanding harus terus menerus merepotkannya. Lagi pula, Ayya juga tidak menyimpan nomor Juna di ponselnya, ia bahkan menghapus chat mereka hingga benar-benar tidak ada jejak apapun tentang Juna selain dalam benaknya.

Lucu, karena Ayya menghapus semua jejak Juna, sementara Juna tidak. Kalau memang bisa diteruskan, hanya Juna yang bisa menjangkaunya, tetapi sejak lima bulan berlalu, tidak ada pesan satu pun dari Juna untuknya, menjelaskan bahwa urusan mereka memang sudah selesai sejak lama, jadi untuk apa juga Ayya berharap?

"Dia mah bantuin aja atuh guys, itu mah uluran tangan. Kita beneran nggak pernah kontekan lagi setelah itu. Aku juga kan udah nggak butuh bantuannya dia," kata Ayya.

Maisy menghela napas, "Yah, sayang banget, padahal kayaknya waktu itu kamu udah tertarik sama dia."

"Hah? Siapa? Aku? Ih, Kak Maisy jangan ngaco!"

"Eh, beneran deh. Lo senyam-senyum waktu nyeritain dia."

"Abis orangnya asik," kekeh Ayya.

"Ya setelah merasa orangnya asik dan nyambung, harusnya di-keep dulu nggak sih?" tanya Kaureen.

"Barang kali di-keep."

"Tapi bener Ya. Senggaknya lo bisa punya pegangan satu dulu."

Ayya menatap kedua temannya dan berkata, "Peganganku hanya iman dan taqwa."

"Yang mudah goyah," timpal Kaureen.

Ayya menatap kedua temannya dengan tatapan sengit. Dasar mereka!


****


"My queen ...!"

Tirta menggendong anaknya yang baru bisa berjalan itu dengan gembira. Sejak tadi ia menuntunnya untuk berjalan dan mereka sudah mengelilingi setiap sudut dalam rumah.

"Juna mabok lagi?!" tanya Zena saat melihat isi ponsel Tirta. Iya, Tirta memang membebaskan Zena melihat isi ponselnya, tapi saking bebasnya, Zena benar-benar bisa mengakses semuanya. Dia membaca pesan Juna yang mengirimkan foto di mana dia berada ketika Tirta menanyakannya.

"Berat kali kerjaannya," kata Tirta.

"Berat kerjaan itu dekati Tuhan, ini kok menjauhi Tuhan!" gerutunya.

Tirta yang mendengar gerutuan istrinya berkata, "Kamu tuh. Kenapa sih? Perasaan kemarin-kemarin baik banget sama Juna. Sekarang tiba-tiba begini, ngomel-ngomel nggak jelas."

Zena menghela napasnya, ia menatap Tirta dengan ekspresi wajahnya yang kebingungan, "Ayya sama Juna nggak cocok kali ya?"

"Bunda, kamu udah nanya ini setiap bulan sama aku," ujar Tirta.

Zena mendengus, "Abis. Aku masih bingung. Mereka kok nggak lanjut? Terus, kenapa? Maksudnya ... apa berantem, apa gimana? Kok nggak ada laporannya? Laporan kemajuan jelas nggak ada, tapi laporan kemunduran juga nggak ada. Aku nggak bisa update apa-apa juga karena Juna udah nggak pernah ke sini, Ayya pun malah kayaknya kok sibuk banget. Apa Cuma aku yang merasa mereka hindarin aku?" tanyanya.

Tirta mengangguk, "iya, Cuma kamu. Orang di dunia ini cuman kamu aja!"

"Ih, ayah! Ini aku beneran galau tahu!"

Tirta berjalan mendekat ke arahnya dan duduk di sampingnya, "Bunda, kamu sendiri yang bilang kalau kamu cuman ngenalin aja. Sisanya biar terserah mereka. Nah, ya udah. Terserah mereka. Kok kamu yang repot?" tanyanya.

Zena mengerucutkan keningnya, "Aku soalnya penasaran."

"Nah! Ini! Padahal kan bukan urusan kamu! Lagian kamu juga ngenalin mereka sebagai orang yang punya masalah dan orang yang bantu menyelesaikan masalah. Jadi kalau masalahnya udah selesai, ya ... gimana? Mungkin Ayya mikirnya, ya udah. Kan urusannya nanya-nanya aja."

"Emang nggak bisa lanjut jalan gitu?" tanyanya polos.

"Mana gue tahu!" kata Tirta, "Tanya sendiri kalau penasaran, tanya Ayya atau Juna nya sana biar nggak kepikiran."

Zena menggeleng dengan kuat, "Kalau nanyain kayak gitu, nanti ... aduh, nanti tahu dong Ayya kalau aku ada maksud."

Tirta tersenyum, "Tuh kan, makanya ... biarin aja. Minimal mereka punya nomor masing-masing, itu juga cukup."


*****


Juna masuk ke dalam rumah dan menatap betapa kosongnya rumah yang sudah ia tinggali sejak lama ini. Alasannya malas pulang adalah seperti ini. Sumpah. Tetapi mengikuti orangtuanya juga bukan ide yang bagus. Kekosongan dalam hidupnya tak bisa terisi oleh kedua orangtuanya, Juna masih saja tak merasa penuh dalam hatinya. Sial. Inikah yang orang-orang bilang kesepian?

Pria itu berbaring di atas sofa seraya menatap langit-langit rumahnya dalam waktu yang lama. Ia meraih ponselnya, ada beberapa pesan masuk ke dalam sana, dari wanita-wanita yang dikenalkan Joshua padanya. Juna membacanya satu per satu.


Latisha : Junaaaa, besok ketemu yuk! aku bisa nemenin kamu minum.

Fala : Hai Juna! Joshua bilang katanya lo butuh temen minum? Gue bisa nemenin. Yuk! mau di mana? Di rumah lo juga boleh.

Dinda : Ini Juna ya? Sorry w minta no lo dr Joshua, abisnya lo ok bgt gue liat2

Marissa : Joshua kasih no lo ke gue. Tapi gue mikir, kayaknya ga usah gue hubungin? Tapi waktu liat foto lo, boleh juga.


Juna menghela napasnya. Semua isinya sama, mengajak minum bersama atau menemaninya. Masalahnya, Juna tidak suka kalau minum ditemani oleh orang lain, apa lagi wanita. Ia hanya takut terjadi hal yang disesali olehnya setelah mereka minum-minum bersama. Lagi pula, Juna juga masih punya control terhadap dirinya. Ia masih bisa menahan dan mengantisipasi beberapa hal dalam hidupnya. Hey! Juna tidak seceroboh itu!

Menggulir laya ponselnya, Juna tersenyum saat ia melihat nama yang chat nya masih tertinggal di sana.

Ayya.

Pria itu membuka chat nya dan membaca satu per satu pesan mereka dulu. Ingatan tentang obrolan menyenangkan mereka juga mulai hinggap di benaknya, mengundang senyuman manis di wajah Juna.

"Kenapa dia nggak pake foto profil sih, kan jadi nggak bisa lihat fotonya," kata Juna.


****


Ayya pulang dan mendapati Ibunya tertidur di sofa ruang tamu dengan matanya yang sembab karena habis menangis. Well, semuanya memang terasa berat, bahkan bagi Ayya yang hanya mengamati, apa lagi Ibunya yang mengalami. Hanya saja, Ayya bukan orang yang akan duduk dan menemani Ibunya lalu menangis bersama seraya memeluknya. Tidak, Ayya bukan orang seperti itu.

Kadang Ayya merasa bersalah karena ia tak punya sifat sehangat itu, tetapi Ayya juga sadar ... memangnya dari mana ia bisa mendapat kehangatan seperti itu ketika kehidupan saja banyak menimpanya dengan bebatuan. Ayya tidak punya pilihan lain selain menguatkan dirinya bukan?

Wanita itu masuk ke dalam kamar, ponselnya berbunyi. Membuat Ayya meraihnya dan melihat, siapa yang mengirimnya pesan malam-malam begini.

Ayya, besok makan siang bareng mau ga?

Ayya mendengus, pesan masuk dari Rianto—orang yang meminta nomor ponsel Ayya pada Ibunya tiga bulan lalu—yang sebenarnya Ayya hindari karena dia tidak suka, namun Ayya tidak enak karena Rianto ini adik dari sahabat Ibunya, sehingga Ayya masih belum mengambil Tindakan apapun untuknya. Hanya saja, Ayya tak pernah membalas pesannya. Jadi, biarkan saja Rianto lelah hingga dia menyerah—setidaknya itu pikiran Ayya beberapa bulan yang lalu. Sialnya, Rianto tidak pernah menyerah. Setiap hari, ia menghubungi Ayya, dan itu semua membuat Ayya ingin menghilangkan ponselnya. Ia bahkan ingin mengganti nomornya, tetapi Ayya tidak bisa. Klien di kantornya akan kesulitan menghubunginya di masa depan.

Arg. Kenapa rumit sekali sih?!



TBC 



HATI HATI DI JALANNN~ 

Harusnya bilang see you, jangan bilang hati2, pisah kan mereka WKWKWKWKWK 

Kesenangan memang sesaat yah, ketemu juna seminggu doang, abisnya ditimpa masalah dagdigdug hm sabar. kenapa sabar itu berat? karena hadiahnya surga WKWKWKWKK 

Aku baru update karena baru sempet, mumpung masih rada slow di kantor minggu ini yah. 

Ini tuh aku sebenernya udah bangun kan ya, tapi udah ngantuk lagi gara2 cuaca bandung pagi ini beneran dingin enaknya selimutan WKWKWKWKWKWK

Gapapa gapapa akan tiba waktunya selimutan, nanti malam contohnya muahaha 

Oke segitu dulu. 

Dah. 

Aku sayang kaliannnn~ 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro