Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bagian 3 - First Meet

Ayya. Kamu nanyain org pajak kan? Ada ini temen aku kerja di kantor pajak. Namanya juna. Kamu hubungin aja, aku udh bilang ke dia kalau kamu mau nanya2.


Ayya menatap ponselnya dengan binar di matanya. Oh Tuhan! Akhirnya! Bisa juga ia mendapat pencerahan dari masalahnya sekarang.

Tersenyum, Ayya mencoba untuk menghubungi pria Bernama Juna yang kontaknya diberikan oleh salah satu temannya.


Selamat Pagi Mas Juna, saya Ayya, temannya Kak Zena. Sudah diinfo sama Kak Zena kan ya kalau saya mau nanya-nanya? Kira-kira Mas Juna ada waktu kapan ya?


Sebenarnya, Ayya bukan tipe orang yang senang basa-basi, sehingga ia selalu menyampaikan semuanya dalam satu kali pesan, supaya tidak membuang-buang waktu juga.

Ponselnya bergetar, balasan dari pria bernama Juna datang.


Juna : Halo mbak. Iya, saya sudah dengar. Saya sore ini ada waktu, boleh kalau mau ketemu.

Ayya : Boleh kalau gitu Mas

Juna : Mau ketemu di mana mbak?

Ayya : Kantor masnya di mana ya?

Juna : Saya di KPP Bojonagara Mbak. Sebelum Setrasari.

Ayya : Rumah masnya daerah mana?

Juna : Di Kota Baru mbak

Ayya : Kalau gitu ketemu di Starbuck Maranatha aja mas.

Juna : Boleh


"Hmm, kalau malem belum tidur, pasti bisa janjian pagi sih ini," sesal Ayya.

Iya, Zena membalas pesan Ayya semalam, lima belas menit setelah Ayya mengirimnya pesan, tetapi dasar matanya tak bisa diajak kerja sama, Ayya malah Sudah terpejam di jam yang sama.

Tapi tidak apa-apa, yang penting Ayya sudah memegang kartu yang bisa ia keluarkan nanti.

Ponselnya bergetar. Ayya buru-buru meraihnya dan membaca pesan masuk dari Bosnya.

Saya gak ngantor hari ini.

Oh, Tuhan. Keberuntungan sudah berpihak pada Ayya sepertinya. Ya bagus! Ayya jadi bisa bertemu temannya Zena dulu baru menjelaskan pada bosnya besok.


*****


Ayya melirik jam tangannya dan matanya terbelalak. Sial. Ia hanya punya waktu sepuluh menit lagi, sementara begitu turun dari fly over pasupati, jalanan benar-benar macet. Bandung di sore hari memang sudah gila! Ditambah lagi, Ayya tidak membawa motor karena motornya sedang di-service. Kalau bawa motor kan ia bisa menjalankannya sesukanya, sementara kalau naik ojek begini ... Ayya juga tidak bisa memprotes kalau ojek yang memboncengnya diam di barisan tengah sementara baris sebelah kanan masih bisa dilewati oleh satu motor. Sabar Ayya. Sabar.

Lima belas menit kemudian Ayya sampai di tempat tujuan. Ia turun dari motor dengan cepat dan berjalan masuk ke dalam café dengan napasnya yang belum beraturan.

Membenahi rambutnya, Ayya memesan minuman seraya mengirim pesan pada Juna, menanyakan di mana posisinya berada. Pria itu membalasnya, katanya ada di pojokan setelah meja kasir, memang tak terlihat kalau Ayya tak berjalan ke arah sana.

"Atas nama Kak Ayya!"

Ayya tersenyum dan mengambil pesanannya. Ia berjalan menuju tempat di mana Juna menunggunya dan ... itu dia! Ayya menemukan pria bernama Juna yang janjian dengannya sore ini.

"Mas Juna?" tanyanya.

Pria itu bangkit dari kursinya dan Ayya hampir menganga melihat tinggi badannya. Pria itu benar-benar tinggi, mungkin sekitar seratus delapan puluh centi? Atau bahkan lebih?

"Halo, Mbak Ayya ya?"

Juna mengulurkan tangannya lebih dulu, membuat Ayya menyambutnya dan memperkenalkan dirinya.

"Maaf ya Mas, saya telat. Ternyata macet banget daerah sini."

Juna tersenyum, "Nggak apa-apa Mbak, saya juga baru turun kok," jawabnya.

Pria itu duduk kembali, Ayya juga mengikuti. Ia duduk di hadapan Juna dan menyimpan semua barangnya.

"Memangnya dari mana Mbak barusan perginya?"

"Cibiru Mas."

"Apa?!" tanya Juna. Terkejut. Jujur, karena ... jauh sekali perjalanan dari Cibiru menuju Pasteur.

"Ujung ke ujung banget. Kenapa kita nggak ketemu di tengah-tengah aja Mbak?" tanya Juna.

"Nggak apa-apa Mas. Ini juga tengah-tengah."

Juna menatap Ayya tak mengerti, tengah-tengah dari mananya ya? Ketika lokasi Ayya dan Juna saja dari ujung ke ujung.

"Memangnya rumah Mbak di mana?"

"Cibaduyut Mas."

Pria itu terperangah menatap Ayya. Ia benar-benar tak bisa berkata-kata.

Juna sungguh bertanya-tanya. Kenapa Ayya tidak mengajaknya bertemu di tengah-tengah lokasi mereka saja?! Sumpah!


*****


"Jadi bos saya tuh kena tax amnesty Mas. Dan dapet surat yang menyatakan kalau dia harus bayar, tapi Bos saya nggak mau bayar. Ini gimana ya Mas?"

"Harus dibayar Mbak, nggak bisa nggak. Jalan keluarnya cuman itu aja."

"Tuh kan!" kata Ayya. Ia menatap Juna seraya mengerucutkan bibirnya, "Kemarin saya seharian debat, udah dibilang harus bayar tapi dia nggak mau. Keukeuh nyari-nyari alesan untuk nggak bayar. Apa coba alesannya? Saya tuh kemarin udah konsultasi ke kring pajak juga, tapi tetep aja dimarahin. Pusing banget."

Mendengar curhat colongan Ayya membuat Juna tersenyum, "Ini nggak bisa diakalin Mbak. Soalnya ini kan salah Bosnya Mbak juga, kenapa hartanya nggak dilaporin. Coba kalau dilaporin, pasti aman nggak akan kena."

"Tapi tahun-tahun sebelumnya juga kan nggak dilaporin, nggak ketahuan tuh."

"Karena nggak ada program tax amnesty ini. Sekarang kan ada programnya, sengaja untuk mengungkapkan harta dari perusahaan atau pribadi yang nggak dilaporkan."

"Aneh banget padahal harta juga harta kita, apa urusannya sama negara."

Juna tertawa, "Saya no komen ya mbak, soalnya kerja di sana."

Ayya mengerucutkan bibirnya, "Untung saya nggak punya harta Mas. Satu-satunya yang berharga dalam hidup saya cuman diri saya sendiri," celetuknya.

Juna menatapnya lama kemudian tertawa.

"Tidak ternilai ya Mbak kalau yang itu."

Ayya menggeleng, "Tetep takut juga sih. Dulu pernah bawa alat harganya satu milyar, dua alat. Bener-bener degdegan ini soalnya lebih mahal dari diri sendiri."

"Katanya harta satu-satunya cuman diri sendiri," ucap Juna.

"Tapi ya kayaknya kalau dijual juga nggak sampe bisa ganti dua alat itu."

"Maksudnya yang dijualnya apa?"

"Diri sendiri," jawab Ayya, ia menatap Juna dan berkata, "Nggak mungkin jual diri sampe dua milyar kan?"

"Tapi diri kita ini kan tak ternilai harganya," timpal Juna.

"Memang tak ternilai, tapi kalau posisi kita nggak punya apa-apa terus harus ganti uang dua milyar, jadi tiba-tiba ternilai dengan tidak ada nilainya."

Juna mengerutkan keningnya, sementara Ayya menepuk lengannya, "Udah lah intinya adalah takut bawa alat semahal itu," kata Ayya.

Juna mengangguk, "Deg-degannya memang pasti berasa."

Keduanya asyik berbincang, mereka benar-benar tenggelam dalam topik yang kini sudah meluas, bukan hanya seputar pajak yang menjadi alasan pertemuan mereka sebelumnya.


****


"Makasih banyak ya Mas Juna. Ini saya boleh nggak ya kalau ada pertanyaan lagi, nanya langsung ke Mas Juna? Soalnya kalau nanya ke kring pajak bikin emosi karena seharian harus berjuang lawan orang-orang yang nelpon."

Juna menganggukkan kepalanya, "Dengan senang hati. Boleh kok, tanya aja."

"Wow! Oke kalau gitu. Nomor aku save ya!" kata Ayya, tiba-tiba berubah akrab menjadi aku-kamu.

"Udah disave kok," kata Juna. Menyerahkan ponselnya pada Ayya untuk menunjukkan kontak Ayya yang sudah disimpan di ponselnya.

"Mbak Ayya ..."

Ayya membaca namanya yang tersimpan di HP Juna, membuat Juna tersenyum, "Apa nama aku juga 'Mas Juna' disave di Hpnya?" tanya Juna.

Ayya tertawa, namun kemudian tawanya terhenti, "Maafin, tapi belum sempet aku save."

Ekspresi wajah Juna berubah seketika, membuat Ayya mengerjap dan ia mulai berpikir. Hey, apakah harusnya ia berkata kalau kontaknya sudah disimpan? Tapi ya, Ayya hanya berkata sejujurnya. Ia adalah tipe orang yang malas menyimpan kontak, bukan apa-apa, kadang sudah disimpan ... malah tidak berguna kedepannya, jadi Ayya selalu menunggu beberapa waktu. Kalau komunikasinya terus berlanjut, sudah pasti Ayya akan menyimpan kontaknya. Kalau tidak? Ayya hanya perlu mencari jejak chat mereka. Semudah itu.

"Hm, kalau gitu makasih ya!" kata Ayya. Buru-buru mengalihkan perhatian mereka dengan berpamitan pada Juna.

"Sama-sama," kata Juna pada akhirnya. Ia berjalan menuju parkiran sementara Ayya masih diam di tempatnya. Juna menghentikan langkahnya, pria itu berbalik dan kembali pada Ayya, "Nggak bawa kendaraan?" tanyanya.

Ayya menggeleng, "Ini lagi pesen gojek. Duluan aja."

"Aku anter aja," katanya.

Seketika Ayya menggoyangkan tangannya dengan cepat, "Nggak usah! Nggak apa-apa! Pulang aja. Ini udah ada kok gojeknya!" tunjuk Ayya pada ponselnya. Sebuah pemberitahuan masuk ke sana, "Eh! Udah sampe ternyata!" katanya lagi.

Dengan cepat, Ayya melambaikan tangan dan pergi begitu saja menuju gojek yang menjemputnya. Sementara Juna masih diam di tempat, melihat punggung Ayya yang perlahan menghilang dari pandangannya.

"Berarti tadi dari CIbiru pun naik gojek? Dan sekarang ke Cibaduyut juga naik gojek? Wow! Gila juga. Berat banget diongkos," gumam Juna.

Ia memutuskan untuk pulang. Pria itu berjalan menuju mobilnya dan masuk ke dalam, tetapi bukannya mulai menyalakan mesin, Juna malah berpikir dengan keras.

"Harusnya gue paksa aja buat nganterin dia. Tarik tangannya atau apa kek. Ke Cibaduyut kan jauh banget. Sampe jam berapa coba?"



TBC



Buat yang bukan orang bandung, aku kasih tau. 

Jarak Cibiru ke Maranatha itu 19km an wkwkwkwk beneran jauh dari ujung ke ujung dan jalurnya jalur macet, agak enak setelah lewat gedung sate karena naik fly over, tapi begitu turun fly over pun macetnya luar biasa. Dan jarak Maranatha ke Cibaduyut 14km an dan jalur macet juga sama wkwkwk ada gilanya memang pertemuan mereka ini. 

Btw sebenernya ini tuh aku bikinnya asalnya panjang bgt, tapi aku pecah aja bagi dua biar ga kepanjangan bacanya heuheu 

Oke segitu dulu, selamat hari RABU : Rasanya Aku Butuh Uang wkakaka 

Dah~ 

Aku sayang kalian :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro