Bagian 2 - Sedikit Pencerahan dalam Kegelapan
"Kata temen saya—"
"Kata temen, kata temen. Kita lagi nggak ngomongin temen! Ini kita lagi ngomongin pajak!"
Ayya tersentak mendengar ucapan atasannya yang sejak pagi masih membahas hal yang sama dengannya; masalah pajak di perusahaan tempat Ayya bekerja.
Gawat. Ia memang sudah menduga sesuatu akan terjadi, tetapi bukan tentang dia dan bosnya juga! Kenapa malah ribet sejak pagi sih?
"Iya Pak, saya nanya ke temen saya yang orang pajak kalau memang—"
"Saya juga punya temen orang pajak, tapi jawabannya beda sama jawaban kamu!"
Menghela napas. Ayya memejamkan matanya dan mencoba untuk mengatur emosinya.
"Ya udah, saya konsultasi dulu ke kring pajak lewat telpon, nanti bapak yang ngobrol sama mereka ya?"
"Kok saya yang ngobrol sih? Ya kamu lah!"
'Kan yang nggak percaya dari tadi bapak! Bukan saya!'
Kata-kata itu hanya sampai di tenggorokannya, tak sanggup Ayya ungkapkan karena ia tahu apa yang akan dikatakan oleh bosnya.
Ayya memutuskan untuk keluar dari ruangan bosnya dan kembali ke mejanya. Ia masih mempunyai masalah yang sama; denda yang tiba-tiba muncul pada bosnya dari kantor pajak sementara bosnya bersikukuh tak ingin membayarnya, padahal solusinya hanya satu; bayar. Sudah. Itu saja. Tapi bosnya malah memilih jalan sulit dengan cara berdebat dengan Ayya sejak pagi, dan satu lagi ... Ia meminta Ayya mencari jalan keluar lain yang mana Ayya sendiri juga tidak tahu apa jalan keluarnya.
"Gimana ya," gumam Ayya,
Ia memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berjalan menuju telpon, "Masa bodoh. Kita telpon dulu kring pajaknya."
"Nggak ada yang tahu kalau nggak nyoba," gumam Ayya lagi.
Ia memencet beberapa nomor dan menunggu telponnya tersambung.
Saat ini, kring pajak sedang melayani pelanggan lain. Silakan menunggu.
Memejamkan matanya, Ayya memutuskan telponnya sejenak lalu menghubungi nomor yang sama sekali lagi.
Saat ini, kring pajak sedang melayani pelanggan lain. Silakan menunggu.
"Nggak apa-apa, ayo kita war telpon," kata Ayya.
Lagi, setelah memutuskan sambungannya, Ayya menghubungi nomornya lagi.
Saat ini, kring pajak sedang melayani pelanggan lain. Silakan menunggu.
"Aaargg! EMOSI!"
****
"Emang Juna tuh dari dulu suka mabok-mabokan gitu ya?"
Zena membuka suaranya saat Tirta baru saja masuk ke dalam rumah mereka saat pulang kerja.
"Ya Allah, menyambut suami pulang dengan gunjingan?" tanyanya.
"Ih. Aku kan belum pernah diceritain sama kamu lengkapnya gimana. Soalnya, Juna nggak kelihatan kayak anak-anak nakal gitu deh. Lihat sendiri kan dia ke baby kita gimana, segitu sayangnya."
Tirta menghela napasnya, "Bukan nakal sih, emang hobi aja dia mah minum."
"Apa bedanya sama mabok-mabokan?" tanya Zena.
Menatap istrinya, Tirta menggelengkan kepala, tak menyangka dengan isi kepala Zena.
"Lihat sendiri itu Juna semalem nggak mabok. Emang bau alkohol, tapi anaknya masih sadar. Nggak kayak orang-orang mabok dalam pikiran kamu," ucap Tirta.
"Tetep aja intinya mabok."
"Serah lu," jawab Tirta.
Pria itu berjalan menuju dapur untuk mengambil air minum. Ah, bahkan seperti ini saja dia lakukan sendiri, istrinya sama sekali tak mau melayani. Benar-benar.
"Tapi serius deh Yah, aku masih bingung."
"Apa lagi Bunda?" tanya Tirta.
"Ini Juna dari kapan sih suka party begitu?" tanyanya.
Tirta memiringkan kepalanya untuk berpikir, "Kapan ya. Kayaknya sejak pertama masuk kerja. Kalau nggak salah sih dia pernah diajakin Bosnya minum dulu, kewalahan banget tuh anak, cuman mungkin karena target kerjaan banyak dan dia pusing, terus ketemu lah enaknya minum, akhirnya lari ke sana. Ya gimana, nggak bisa larang-larang juga aku. Toh nggak bisa bantu. Anaknya bisa bertahan aja udah alhamdulillah."
"Mbok ya anaknya diajak ke jalan yang bener, bukannya malah dibiarin gitu aja. Kalau Juna masuk neraka, nanti kamu pasti keseret yah, soalnya Juna bakal bilang 'Bang Tirta nggak ngajak aku ke jalan yang baik!' gitu. Gimana? Kamu bisa emang merelakan tiket masuk surga demi ke neraka bareng Juna?"
Tirta menatap istrinya tak menyangka, "Kenapa jauh banget mikirnya sampe ke neraka-neraka segala? Bund, inget ... surga itu dipenuhi oleh orang yang bertaubat tahu."
"Ya makanya, ayo kita penuhi surga!" kata Zena.
Tirta tertawa, "Nggak bisa lah pake cara begitu, biar dia ngerasain sendiri aja dulu Bund kalau kata aku."
"Hmm, Juna memang tipe yang apa-apa harus kerasa sendiri gitu ya, tapi menurut kamu dia bisa lepas nggak ya dari minuman?"
Tirta berdecak, "Semalem sih curhat katanya minum udah nggak ampuh lagi, soalnya toleransi dia makin tinggi, jadi mesti minum banyak banget kalau pengen mabok. Repot juga itu, kasian lambungnya."
"Terus gimana jadinya?"
"Ya, aku saranin dia cari pengalihan lain."
"Seperti?"
"Princess nya Om! Lagi apaaa!"
Suara Juna terdengar tiba-tiba, membuat Zena menatap Tirta penuh tanya sedang Tirta hanya tersenyum, pria itu memeluk istrinya dengan erat dan berkata, "Seperti, bermain dengan ponakan agar sepupunya bisa bermain dengan istri."
****
"Aku beneran pengen resign," keluh Ayya.
"Iyain aja," ucap Kaureen. Maisy setuju saat mendengarnya. Masalahnya, setiap bulan, atau bahkan minggu, Ayya sudah mengatakan hal yang sama, tetapi akan berakhir dengan hasil yang sama pula; tetap bertahan dan bekerja seperti biasa. Oh, jiwa karyawan sialan!
"Masa keukeuh banget. Udah aku lihatin Undang-undangnya, udah aku bilangin kalau aku nanya ke temen aku yang orang pajak, tetep nggak paham juga!"
"Orang pajak di kantor pajak?" tanya Maisy.
Ayya menggeleng, "Orang pajak di kantornya. Maksudnya, dia bagian pajak."
"Ya mental sih kalau gitu Ayya. Harus orang pajaknya banget. Orang yang kerja di kantor pajak," katanya.
Ayya mengerucutkan bibirnya. Siapa ya, ia tidak punya juga teman yang bekerja di kantor pajak.
"Kalian nggak ada temen yang kerja di KPP?"
Maisy dan Kaureen menggeleng secara bersamaan.
"Temen kuliah lo nggak ada?" tanya Kaureen.
Ayya mendengus, "Kuliahnya aja di antah berantah, hebat banget kalau nembus kerja di kantor pajak."
"Ya siapa tahu. Atau tanya aja temen kampus kamu Ya, barangkali ada—"
"YA AMPUN! KAK ZENA!"
****
Kaaak. Kayaknya kakak pernah cerita punya temen yang kerja di kantor pajak ya? Please bgt kak boleh dikenalin ke aku gak? Aku mau nanya2 sumpah bos aku ngeselin bgt. Aku udh konsul ke kring pajak juga susah terus, sekalinya bisa eh bos aku ga nerima. Butuh org yang paham bgt biar semua pendapat aku bisa diterima. Please. Sebenernya bisa ke kantor pajak langsung sih tapi bos aku gamau katanya tar ke detect kalau bahas2 dia. Jadi beneran butuh org yg paham pajaknya aja. Apakah ada?
Zena berjalan menuju kamar dan menatap Tirta lalu berkata, "Inget nggak kalau aku mau ngenalin Ayya ke temen kamu yang kerja di Dishub itu?" tanyanya.
Tirta mengangguk, "Aku tadi udah ngomong ke dia kalau—"
"BATALIN!"
"Hah?"
"Kita kenalin Ayya ke juna aja ayaaang! Ya ampun. Ini mah takdir!" kata Zena dengan heboh.
"Apa sih? Kenapa?" tanya Tirta tak mengerti.
"Barusan Ayya WA aku, katanya dia butuh konsultasi sama orang pajak, dan dia nanya bukannya aku kenal sama orang pajak. Jadi Ayya minta dikenalin supaya dia bisa konsultasi. Look! Ini sih beneran kesempatan bagus!" katanya.
Tirta tak pernah paham dengan kecepatan berpikir Zena atas segala peluang yang ada dalam hidupnya. Pria itu tersenyum, "Oke. Terus Junanya mau?"
"Ya harus mau!" kata Zena.
"Ini kan alami, Juna bantuin temen aku, udah. Gitu doang. Kesananya mah biar aja mereka cocok apa nggak. Kalau gini kan nggak akan ada drama-drama aku musuhan sama Ayya kalau Ayya nggak cocok sama orang yang aku kenalin."
Wow. Sungguh diluar dugaan sekali cara berpikir Zena.
"Ya udah. Tapi kamu tadi menggunjing sepupuku tukang mabok, Bunda. Jangan lupa," ucapnya.
Zena memukul bahunya pelan, "Nggak ada yang tahu masa depan!"
Setelah mengucapkannya, Zena berlalu dari hadapannya sementara Tirta terperangah, "Perasaan gue juga ngomong hal yang sama waktu dia menggunjingkan Juna," gerutunya.
Tirta menggelengkan kepala. Ia mengikuti Zena ke ruang tamu dan lihatlah apa yang terjadi, Zena sedang berbicara dengan Juna, membujuknya untuk menemui Ayya dengan dalih konsultasi. Ya memang benar sih, konsultasi. Tapi ada niat lain dari Zena bukan?
"Kasihan Jun soalnya dia terpojok banget," ucap Zena.
"Tapi aku kan juru sita mbak, bukan—"
"Halah! Sama aja! Yang penting kerja di kantor pajak! Kamu juga pasti menguasai semua ilmunya. Ya minimal kalau kamu nggak bisa, kamu bisa bawa temen kamu lah buat menjawab pertanyaan temen aku. Gimana?"
Memang benar sih, Juna juga pasti bisa menjawabnya, toh ia mempelajari banyak hal.
"Oke, boleh. Kasih aja nomor aku."
"YESS! Oke. Makasih banget Juna!"
Juna menatap Zena dengan heran. Padahal yang dibantu temannya, tetapi yang senang malah Zena. Ada-ada saja.
TBC
Siapakah yang setiap tahun atau bahkan setiap bulan bilang pengen resign tapi akhirnya kerja lagi kerja lagi wkwkwkwk
Aku 6 tahun kayak gitu, tiap bulan ada aja nangis pengen resign, baru bisa resign di tahun ke-6, di kantor baru pun yah masih ngos2an ngejarnya, sampe nangis bilang mau kerja sampe probation beres aja tapi pada akhirnya tetep dijalani.
Beneran definisi akan kuhadapi semuanya walau sambil nangis. Ya gimana, mau nangis mau berdarah-darah juga hidup harus tetap berjalan ya kan :(
Semangat ya buat kita semua, dunia ini emang tempatnya capek, semua orang juga capek, yang gak capek nanti kalau udah di surga HAHAHAHAHAHA
oke segitu dulu aja.
Selamat hari selasa, semoga kita semua bahagia dan sehat sentosa!
Dah~
Aku sayang kalyannn :3
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro