Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

terasa seperti bukan ulah sihir

Pertanyaan itu menggantung di antara kami selama beberapa menit. Masih saling menatap, memasang ekspresi serius masing-masing, suasana sunyi yang seolah terfokus pada kami berdua, kebulatan tekad pada bola mata hitam Sorin seakan telah menjawab tanyaanku yang tak perlu lagi disuarakan melalui kata-kata.

Kutelan ludah, merasa gelisah sekaligus deg-degan.

"Wajar saja orang sepertimu merasa tidak percaya diri." Sorin memutus pandangan. Dia menggerak-gerakkan posisi duduk dengan sudah menatap lurus ke depan.

Rasa tegangku seketika turun dari atas langit ke permukaan tanah. Masih menatap dirinya yang bingung harus kusikapi dengan tindakan apa.

"Maaf. Aku tidak terbiasa ada yang...."

"Naksir?" tebak Sorin. "Iya, aku naksir Zagi. Jadi semuanya sudah jelas, kan?"

W-wah, dia mengatakannya dengan gamblang dan sangat berani. Aku-aku harus mengapresiasinya.

Kuberi dia acungan jempol. "Yeah. Man-mantap. Terimakasih sudah su-suka aku."

Ternyata begini rasanya ditembak?

Pengen masuk jurang!

Namun hari itu belum berakhir meski rasanya aku ingin cepat-cepat meninggalkan gadis itu sendirian tanpa kehadiran diriku. Aku perlu... menerima keadaan.

Sorin lanjut bertingkah.

Dia menghentikan waktu.

Secara harfiah, memang menghentikan waktu. Orang-orang di sekitar kami tiba-tiba berubah menjadi patung dan tak terdengar suara apa pun selain deru napas kami masing-masing.

"Aku hanya bisa melakukannya selama sepuluh menit setiap harinya." Dalam posisi habis menjentikkan jari, Sorin melihat padaku. "Yuk, mau ngapain?"

Gadis ini gila!

Benar-benar gila.

Tapi gadis gila itu menyukaiku.

Astaga, kenapa aku selemah ini terhadap mereka yang ketahuan menaruh perhatian padaku?

"Ngapain gimana maksudnya?"

"Waktu kita nggak banyak."

"Woy, ini udah kayak kiamat!"

Benar, situasi itu memang mengerikan. Bayangkan saja kamu berada di tengah manusia-manusia tak bergerak dan cuma dirimu (dan pasanganmu) saja yang bisa berkeliaran ke mana pun. Mirip seperti film zombie walau aku tak pernah menontonnya.

Aku diam saja, tak menuruti apa pun keinginannya saat itu. Memang apa yang bisa kuucapkan? Sesering-seringnya aku berimajinasi, tak pernah sekali pun aku membayangkan diriku menjadi aktor film fiksi ilmiah.

Kurasakan Sorin menatapku di sana. "Oke deh. Kayaknya kamu masih syok."

Ingin sekali kubungkam mulutnya dengan apa pun yang bisa membuatnya berhenti mengatakan apa saja. Ini terlalu berada di luar nalar.

Kemudian, pada detik pertama waktu kembali berjalan, aku menangkap sosok teman sekelasku di jalanan luar. Dia melihatku sedang bersama Sorin.

Gawat!

"Rayen. Jangan bilang siapa-siapa, ya."

Beruntung Rabu paginya di kelas yang sepi, Rayen sudah datang sehingga bisa aku hampiri untuk membisiki sesuatu. Dia kelihatan bukan orang yang tertarik soal hal gituan, sih. Tapi tetap saja perlu diantisipasi.

Terbukti, dua alisnya membentuk garis lurus. "Paling yang peduli cuma Devon dan Aldrin doang."

"Justru itu." Aku mengatakannya dengan cukup keras untuk bisa dibilang bisikan. "Mereka orangnya bandel."

"Nggak suka diledekin, ya?"

"Nggaklah!" reaksiku berlebihan.

"Jadi Faris sudah punya cewek?"

Dibilang begitu entah kenapa tiba-tiba membuatku jadi malu. Cewek apa nih maksudnya? Padahal Sorin cuma menyatakan....

Aku meluruskan badan, menghentikan obrolan. Tapi gumaman datarnya masih terdengar di belakang sana.

"Cie yang kemarin galauin, tahu-tahu udah taken aja. Mantap, Ris."

"Iya, mantap, Ray."

Sepanjang jam pelajaran pertama pun aku memikirkan hal apa yang bisa aku dan Sorin lakukan saat waktu berhenti selama sepuluh menit. Tapi kemudian kusadari aku hanya membuang-buang waktu saja dan memutuskan akan mencari dirinya ketika istirahat nanti.

"Nggak akan ke kantin?" Aldrin bertanya curiga di detik pertama aku berdiri dari kursi. Dia seolah tahu aku punya urusan dengan sesuatu yang bisa dijadikannya bahan ejekan.

Harusnya kami tidak sebangku.

"Siapa yang bilang nggak bakal ke kantin?" Terpaksa kuturuti kemauannya karena alasan apa pun yang kusebutkan nanti agaknya akan membuatku resah.

"Ya udah, ayo."

Sialan.

Tidak bisa berkeliling mencari cewek—

Imajinasiku makin liar.

Aku, Aldrin, Devon, dan Rayen duduk di meja kantin untuk empat orang, sibuk menyantap makanan masing-masing kecuali diriku. Sedari tadi aku terus mencuri pandang ke sana kemari berharap menemukan seseorang. Hasilnya makanku jadi yang paling lambat.

"Ciri-cirinya gimana, Far?" Aku tidak tahu siapa yang bertanya.

Kujawab langsung tanpa curiga sama sekali. "Rambut coklat agak bergelombang seketiak. Lumayan sipit, putih, punya lesung pipit di sebelah kiri, mirip orang Korea."

"Wah, udah merhatiin segitunya," sahut entah siapa. "Udah ketemuan berapa kali emang?"

"Empat."

Ada yang beranjak keluar meja, entah siapa. Aku mengamati nasi goreng seafood-ku, baru menyadari kenapa membeli menu semahal ini. Padahal aku tidak terlalu lapar.

Pada saat itu, kutemukan seorang murid perempuan sedang menatap ke arahku. Tatapan yang lurus tanpa kedipan seolah dia sudah melakukannya selama beberapa saat.

Aku tersenyum, menatapnya balik dengan pandangan seorang murid laki-laki pada perempuan yang ditaksirnya. Sorin ikut tersenyum, kembali menyendoki makanan yang mungkin telah diabaikannya.

"Cantik nggak, Von?"

"Cantiklah. Meski masih cantikan Hala."

Aku mendengar Aldrin tertawa.

"Lagi ngomongin siapa?" aku bertanya setelah melunturkan senyum.

"Gebetan barunya Aldrin."

"Woy, aku nggak ngegebet siapa-siapa kali."

Oh, aman.

Sewaktu kukembalikan fokus ke tempat Sorin duduk, gadis itu sudah tidak ada. Aku memutar-mutat kepala ke sepenjuru kantin yang padat oleh ABG-ABG berseragam putih biru. Tidak ada di mana pun.

"Arah jam sepuluh."

Bola mataku spontan mengikuti intruksinya. Gadis yang kucari-cari sedang terjebak arus hilir mudik siswa-siswa yang memesan makanan ke stand dan meja yang ditempatinya. Sejak kapan murid sekolahku berjumlah sebanyak ini?

Kuputuskan untuk meninggalkan nasi goreng mahalku demi menyusulnya; tindakan yang impulsif entah didasari perasaan apa.

Sorin masih berdiam di situ karena agaknya ada yang habis menumpahkan sedikit kuah bakso ke seragam murid lain. Aku menunggu sampai jalan di antara meja-meja kantin menjadi lengang hingga aku bisa menghampirinya.

Begitu jarak kami mendekat, aku memajukan kepala untuk membisiki sesuatu ke telinganya.

"I love you."

Terasa seperti bukan ulah sihir.

Kupandangi sekejap rona merah di pipinya, tersenyum, kemudian maju dan berbelok hanya untuk kembali ke mejaku. Aku tidak tahu apa yang baru saja kuperbuat. Tapi aku merasa luar biasa gembira.

Kurasa tidak ada salahnya Sorin menyihirku dengan kalimat tersebut setiap pertemuan kami terjadi. Aku yang selalu malu-malu (dan malah tidak mungkin) mengungkapkan hal semacam itu jadi tidak perlu mengumpulkan keberanian untuk mengucapkannya ke orang tersayang.

Kupikir itu tak akan apa-apa.

Kupikir hanya Sorin dan aku saja yang dapat mendengarnya.

Namun nyatanya, I love you, I love you, ke depannya tersuarakan pada situasi-situasi yang membuat segalanya bertambah kacau!

Aku lupa Sorin itu orangnya jail.

fact.
faris mudah melambung tinggi saat dipuji

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro