Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

nggak waras dan/atau kesepian

Gerak-gerik Sorin sudah terlihat janggal dari sejak aku menanyakan di mana rumahnya. Padahal cuma bertanya, bukan mampir. Seolah di rumahnya ada sesuatu yang aku tak boleh tahu saja.

"Aku boleh mampir?"

Yah. Memang itu sih tujuanku bertanya. Mengubah destinasi menjadi menuju rumahnya meski kami masih berada di bis arah rumah Aldrin.

Sorin memperhatikan ke kiri dan kanan, tangannya mengusap-usap tengkuk. Kutemukan sedikit keringat di balik helaian poninya yang entah sudah eksis sedari tadi atau baru nampak beberapa saat lalu.

Aku menunggu jawabannya.

"Ya sudah." Kentara sekali sedang menyembunyikan kegelisahan. "Tapi seharusnya nggak usah naik bis. Cukup jalan kaki sepuluh menit aja dari lapangan basket tempat malam itu Zagi nyuruh aku ke sana."

"Oh...." Masih kuamati perubahan-perubahan ekspresi di wajahnya. Lalu aku meluruskan pandang ke jendela. "Nanti kalau bisnya berhenti, kita ikut turun."

Karena kami masih berada dalam wujud invisible boy and girl, tak seorang pun penumpang bis menyadari eksistensi dua pelajar SMP yang berdiri berhadapan di tengah-tengah lorong bis. Diam-diam aku menikmati raut tak acuh mereka.

Selepas aku dan Sorin berjalan bersisian di trotoar, gadis itu masih menunduk dan tak mau bicara seolah telah tertangkap basah. Itu menimbulkan perasaan buruk ke hatiku, tak mau sampai firasatku terbukti benar.

Nggak mungkin Sorin memajang ratusan fotoku di setiap inchi dinding kamarnya.

Faris terlalu percaya diri.

Kemudian, alih-alih berhenti di suatu komplek perumahan atau pemukiman penduduk di pinggiran kota, Sorin melangkah mendahuluiku memasuki lobi apartemen.

Aku terdiam sesaat. Feeling burukku semakin bertambah persen kemungkinannya.

Jika dia tinggal di apartemen sendirian, semakin masuk akal dia memajang—

"Kamu tinggal bareng saudara kan, Sorin?" Pertanyaan tak siapku pun ambigu. Maksudnya saudara apa? Adik, kakak, sepupu, paman bibi, keponakan, atau siapa?

"Berita bagus atau buruk jika Zagi tahu aku tinggal sendirian?" Tanpa kuduga di tengah giliranku yang menjadi resah, Sorin menjawab tenang dan kalem. Roman di wajahnya pun cenderung tak terbaca.

Gadis cantik itu telah mencapai lift. Aku segera menyusul sebelum pintunya menutup.

Pertanyaan itu mengambang di antara keheningan kami. Sorin menekan angka sembilan alias lantai tertinggi apartemen tersebut. Bisakah ada kabar baik sedikit saja untuk menghiburku?

"Tinggal sendiri?" Suaraku keluar berbarengan dengan bergeraknya lift menuju lantai-lantai atas.

Sorin tersenyum singkat. "Iya, sendiri. Jadi berita bagus atau buruk."

"Buruk."

Nol koma satu sekon, Sorin melongok cepat padaku. Rautnya tampak terluka.

"Bahaya cewek tinggal sendirian. Apalagi masih kecil."

Rautnya semakin terluka. "Aku sudah 15 tahun."

Dari sini benar-benar terlihatlah perbedaan usia kami yang ternyata memang beda satu tahun, dia lebih tua. Tahun ini aku sudah berulang tahun ke empat belas.

Setidaknya kenyataan itu membuat udara di sekitar kami melapang.

Di lantai lima, seorang pemuda yang mengenakan hoodie abu tua dan bersepatu olahraga masuk. Sebuah headphone mahal bertengger di lehernya. Kelihatannya hendak joging.  Sore-sore begini?

Dan baru saat itulah aku tersadar.

"Sihirnya udah kamu ilangin?"

Pemuda asing tersebut menoleh curiga, aku langsung mengunci mulut.

"Eh nanti di apartemenku mau ngapain? Mumpung lagi berdua."

Sengaja banget sih suaranya digedein.

Pemuda itu geleng-geleng kepala. Pasti menganggap kami hendak melakukan aktivitas macam-macam. Padahal aku ingin ngegep cewekku stalker atau bukan!

Maksudku, jika dia beneran mengoleksi foto wajahku sampai tidak muat dimasukkan ke laci, dia seratus persen harus kuhindari.

Harus!

Kehadirannya sebagai manusia dunia lain saja sudah sangat aneh dan ajaib.

Beberapa saat yang menegangkan berlalu (perjalanan empat lantai ke lantai sembilan terasa seperti selamanya), akhirnya kami sampai di unit apartemen Sorin. Letaknya persis di tengah unit-unit lain. Syukur tidak di pojok.

Namun Sorin tidak melakukan pergerakan apa-apa. Dia diam dan mau tak mau membuatku juga diam memperhatikan dirinya yang kembali bertingkah janggal.

Dia membawa kuncinya, kan? Tidak perlu berkeliaran ke setiap sudut gedung apartemen untuk mencari benda yang hilang itu, kan?

"Apa pun yang Zagi lihat nanti, dengar dulu penjelasanku, ya? Aku melakukannya bukan tanpa alasan."

"Melakukan apa?"

Unit apartemen Sorin terbilang lebih kecil dibanding unit apartemen keluargaku. Di sana cuma ada dapur, kamar mandi, dan ruang sofa yang menyatu dengan tempat tidur.

Ada juga entah berapa fotoku yang semuanya menempel seerat paku di dinding-dinding putih sekitaran ruang sofa dan tempat tidur. Dimulai usiaku 9 tahun sampai pakaian yang seingatku kupakai hari kemarin. Semuanya berada di angle yang bagus dan sangat enak dipandang selama berjam-jam. Sambil makan, nonton teve, belajar, berkhayal di tempat tidur.

Meski hanya lembar-lembar foto, kamar tersebut sangat menyiratkan pemiliknya seorang manusia yang terobsesi dengan manusia lainnya. Sayang saja mereka berbeda dunia.

Ralat.

Tidak sayang.

"Aku... aku... aku belum sempat mencopotnya."

"Emang ada niatan mencopot?"

Sorin menengok dengan kegamangan di wajahnya. Lalu dia kembali menyembunyikan muka. "A-aku selalu kangen Zagi. Aku selalu kepengen berada di dekat Zagi. Alasan satu-satunya aku pergi ke dunia ini karena Zagi. Aku di sini sendirian dan berharap cuma ditemani Zagi aja."

"Sorin."

Begitu nama itu terucap kecewa, dan kami akhirnya saling pandang, aku menyaksikan air mata itu turun. Mengalir di kedua pipi yang biasanya merona merah karenaku.

"Zagi...."

Dia hanya memanggil namaku versinya saja, lirih.

"Maaf."

Sorin pun berjongkok. Menenggelamkan tangisan dariku yang tak mungkin tak mendengarnya.

Suara tangisnya hanya berupa senggukan.

Tapi kenapa aku merasa bersalah?

Aku mendekatinya. Ikut jongkok di depannya sambil tanganku mengusap-usap rambut panjangnya.

Kubiarkan Sorin berurusan dengan tangisnya dulu.

Baru setelah kupikir dia siap diajak bicara dan mendengar, aku memulai dengan mengembuskan napas.

"Gimana, rasanya tinggal bareng aku?" Kuusahakan untuk melembutkan suara agar tak melukai hatinya. 

Sorin perlahan membalas tatapan lekatku.

Tapi aku tak mengajukan pertanyaan lain.

Dia mengalihkan bola mata ke titik lain. "Aku merasa ditemani. Dan... nggak kesepian."

"Walaupun itu foto?"

Kepalanya mengangguk.

"Emang yang asli nggak cukup?"

Bahunya bergetar sedetik. Dan masih tak dilihatnya lagi diriku yang mengharapkan tatapnya.

"Sorin. Aku udah kenal kamu. Udah sering ngobrol dan main bareng. Aku nerima perasaanmu sekaligus berusaha ngasih hal serupa. Itu masih nggak cukup?"

Kuduga dia akan terus membisu sepanjang aku melontarkan kalimat apa pun.

"Sorin. Gimana kalau mulai sekarang, aku saja yang mencintaimu?"

Berhasil.

Kudapatkan apa yang kumau.

Perhatiannya.

"Kalau kamu butuh itu, aku bakal kasih."

"Nggak."

Dahiku mengernyit.

"Aku lebih suka mencintai daripada dicintai."

"Yakin?"

Aku hanya tersenyum padanya dan kembali kudapatkan warna merah itu di pipinya.

Gadis itu berbohong.

fact.
di luar dugaannya sendiri, faris ternyata cukup pandai menenangkan gadis yang sedang menangis

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro