Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

itu kayaknya disengaja

"Kamu yang ngomong, Rayen."

Masih di hari yang penuh kesialan itu, begitu wali kelas pergi, aku dan Rayen disuruh melanjutkan membuat struktur organisasi kelas. Sekretaris, bendahara, seksi kebersihan, kesenian, keagamaan, olahraga, dan keamanan.

Kami berdua berdiri di dekat bangku guru, membelakangi murid-murid yang menatap kami dalam suasana hening. Kelas ini sangat pendiam.

Kerutan kening Rayen mengibaratkan aku yang harus melakukannya. Dia lebih jarang bersuara daripada aku, jadi baiknya memang aku yang mesti merelakan diri berbicara ke mereka semua.

Rayen pun tahu-tahu saja mengambil spidol hitam di atas bangku guru, berjalan ke depan white board, lalu melirikku.

Aku paham apa yang harus kulakukan, dan aku benci berada di kondisi ini.

Aldrin dan Devon cengengesan.

"Oke." Hanya satu kata itu saja yang keluar saat aku membalikkan tubuh menghadap para anggota kelas. Mereka semua benar-benar fokus memandangku!

Ya ampun, gugup sekali.

"Ada yang mau jadi sekretaris?" Itu suara yang sangat pelan untuk dikatakan di depan tiga puluh orang.

Anehnya ada saja yang mendengarnya.

"Aku, aku."

Seorang gadis mungil di bangku paling belakang mengangkat tangannya bersemangat seakan sedang menunggu saat-saat ini terjadi. Kuduga di kelasnya yang sebelumnya dia juga menjabat sebagai sekretaris.

"Namanya siapa?" Suaraku bertambah keras dengan sendirinya.

Dia pun menyebutkan namanya. Rayen mencatat nama tersebut di papan tulis, menulis huruf per huruf dengan sangat lambat. Kami semua menunggunya selesai.

Apa caranya menggoreskan alat tulis memang selambat itu?

"Megani. Kamu yang jadi wakil ketua kelas aja gimana?" tawarku pada si sekretaris tadi.

"Nggak, sori."

Astaga, judesnya.

Padahal tadi dia terlihat begitu ceria, lho.

Dengan terpaksa dan tak ada harapan mewariskan jabatan yang belum satu jam aku emban itu, aku melanjutkan ke posisi selanjutnya.

Di bagian seksi olahraga, aku menyuruh Rayen menuliskan nama Devon di papan tulis, yang langsung diprotes oleh si empunya diri.

"Aku jarang olahraga, woy!"

Masa? Padahal wajahnya sangat terlihat seperti seseorang yang rajin bangun pagi untuk jogging.

Hanya Aldrin yang terbebas dari jabatan apa pun. Dia tampak puas saat aku kembali ke bangku kami. Cih.

Lihat saja nanti. Akan kugunakan kewenanganku untuk mengusilinya.

Istirahatnya, ada dua orang gadis yang menghampiri bangku Devon. Satunya terlihat seperti sudah sangat akrab, satunya lagi malu-malu; tangannya terus menarik-narik seragam temannya.

"Enak banget ya 8K di atas. 8I di pojokan." Halami (berdasar nametag seragamnya) melihat-lihat ke sekitaran kelas yang saat itu diterangi cahaya matahari dari jendela-jendela. "Luas juga. Nggak kayak kelas aku yang sempit dan sumpek."

Setuju. Aku sendiri merasa terhormat masuk ke kelas terakhir di angkatanku ini. Huruf K adalah huruf terakhir.

Devon membalas sambil lalu. "Bapak aku habis nyogok kepala sekolah."

"Emang tugasnya kepala sekolah yang ngebagiin kelas-kelas siswa?"

"Bukannya kesiswaan?" Aldrin memasuki obrolan.

Halami meliriknya sekilas, lalu tersenyum. Senyum manis seorang gadis pada laki-laki ganteng. "Siapa nih?"

"Kenalan aja," jawab Devon.

"Halami. Tapi panggil Hala aja." Tangannya yang dia ulurkan meminta Aldrin menjabatnya.

"Devon nggak bakal cemburu aku pegang tangannya?"

"Woy!"

Rayen menahan tawa. "Mereka sepupuan."

Oh. Tapi gelagat mereka seperti menunjukkan perasaan lebih antar satu sama lain. Atau cuma perasaanku saja. Tidak penting sekali mengamati dua orang yang baru kutemui itu.

Lagi pula mereka tampak berada di luar zonaku. Orang-orang gaul.

"Yang itu namanya siapa?"

Aku menoleh iseng, dan benar mendapati Halami memandang ke arahku. Bibirnya masih tersenyum seperti tadi.

"Faris. Dia rada pemalu."

"Nggak." Aku memprotes sahutan Devon yang sebetulnya tidak perlu diprotes karena nyatanya aku memang agak pemalu. Aku hanya tidak mau mengakui.

"Oh." Tangan Halami terjulur ke depanku. "Udah tahu kan manggilnya Hala? Sepupunya Devon tapi dia pernah nembak aku sekali."

Devon mengumpat. Wajah merahnya timbul ke permukaan, sangat samar.

"Faris In—" Kuhentikan ucapanku. "Faris. Panggil aja Faris atau Paris. Asal jangan Varis."

Halami tertawa. "Lucu banget sih kamu."

Ya Tuhan, aku dipuji....

"Jangan puji Faris lagi, Hal. Dia biasanya suka ngelunjak." Aldrin berkomentar.

Halami tertawa lagi menanggapinya.

Di dekat sepupunya ini, Devon seolah kehilangan ekspresi wajahnya. Tertawaan yang sering keluar darinya berpindah ke gadis 8I itu.

"Geng kamu sekarang isinya cowok-cowok ganteng, ya." Halami duduk di kursi kosong sebelah bangku Devon. "Awas nanti dilihatin cewek-cewek."

"Bodo amat," Devon menurunkan dagu ke atas bangku. "Mereka bukan kamu."

Hanya perlu satu kalimat itu saja untuk membuat pradugaku beberapa saat lalu terbukti benar. Siapa sangka ternyata laki-laki ceria yang mendadak diam saat ada sepupunya ini pandai menyampaikan kode rasa sukanya?

Aku kehilangan kata-kata.

Halami salah tingkah. Dia bahkan baru menyadari teman pemalunya telah pergi meninggalkannya sendirian di situ.

Gadis 8I itu lalu berpamitan mencari temannya tersebut.

Sungguh sebuah kisah cinta yang menggemaskan.

Mendadak aku teringat kakak perempuan SMA yang menanyaiku soal jatuh cinta ketika di bis.

Kucoba mengulik ingatanku di kelas empat SD. Mengapa harus spesifik kelas empat SD? Apa yang terjadi padaku di tahun tersebut?

Dan Zagi...?

Aku tersenyum diam-diam.

Saat berkenalan dengan Halami tadi, hampir saja aku menyebut nama lengkapku. Sejujurnya sih, aku lebih menyukai nama panjangku itu. Terdengar lebih keren saja daripada Faris.

Zagi, Zagi, Zagi.

Tuh kan, keren.

Apa saat SMA nanti, aku memperkenalkan diri dengan panggilan itu saja?

Ide bagus.

Aku pergi ke toilet untuk mencuci muka. Saat kupandangi diriku di depan cermin, aku teringat perkataan Halami tentang geng Devon isinya cowok-cowok yang mempunyai wajah yang lebih. Tapi aku tidak merasa begitu.

Dibanding Aldrin, Devon, dan Rayen, aku terlihat sangat biasa saja. Tidak mempunyai kelebihan, tidak mencolok, normal seperti pemeran-pemeran figuran, dan tentu saja tidak terkenal di kalangan perempuan.

Tapi bukannya aku berharap seperti itu juga. Hanya saja ini sulit dijelaskan.

Ck.

Aku keluar dari toilet laki-laki. Mengosongkan pikiran tak ada guna yang sejak tadi bersemayam di kepala.

Aku berjalan menuju sudut sekolah yang sepi, membutuhkan ruang untuk sendirian.

Saat itulah terdengar suara larian dari arah belakang. Dan ketika aku hendak berbalik untuk melihatnya, si yang berlari tersebut keburu menabrakku.

Hasilnya tentu saja kami berdua jatuh menimpa tanah yang kontan akan membuat seragamku kotor.

Dia jatuh menimpaku.

Aku mengerang.

Dia duluan yang bangun sehingga membuatku bisa melihat wajahnya.

Ternyata seorang perempuan.

Wajah seperti orang Korea itu seperti pernah aku lihat.

Lima detik bertatapan, satu kalimat maut berbahasa inggris tiba-tiba keluar dari mulutku dengan sendirinya.

"I love you."

Hah?

Apa-apaan!

fact.
faris emang nggak tertarik masuk ke dunia percintaan. tapi tiap ngeliat orang-orang bucin di depannya, dia suka gampang panas

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro