invisible boy and girl
Aku masih penasaran mengenai sihir-sihir apa saja yang bisa Sorin lakukan di duniaku ini (menyebutnya masih terasa aneh).
Jika sebelumnya dia telah mengutukku, menghentikan waktu, dan mendengar suaraku dari kejauhan, apa kali ini dia bisa menghilang?
"Bisa," katanya santai sembari menggigiti es krim stik yang kami beli masing-masing di Circle K. "Bahkan bisa sama Zagi-nya juga."
"Maksudnya?" Reaksiku cepat.
Sorin menurunkan tangannya yang memegang es krim. Kemudian melihatku. "Iya. Zagi-nya juga bisa ikut menghilang."
"Serius?" Aku mendapati dadaku meletup-letup gembira mendengar ucapannya. Turut mengabaikan es krim cone yang bagian krimnya baru termakan setengah. "Aku bisa jadi invisible boy?"
Sorin langsung tertawa sambil menutupi mulutnya yang kusadari sedikit belepotan dengan noda cokelat. "Bisa. Asal yang jadi invisible girl-nya aku."
Tiba-tiba aku tak berselera lagi menghabiskan es krimku. Padahal itu merek favoritku.
Menjadi manusia invisible bersama Sorin terdengar jauh lebih menyenangkan dibanding apa pun di dunia ini saat itu.
"Mau nggak?" Kusodorkan es krim kepunyaanku padanya.
Dan Sorin tanpa berkata-kata langsung menjilati krim vanila di atas corong itu, serta-merta membuat diriku jadi salah tingkah karenanya. "Buat kamu aja semuanya," sambil kumajukan es krimnya lebih dekat.
Gadisku itu menatap sebentar pada makanan manis kesukaanku tersebut; tidak pernah sebelumnya aku rela memberikan es krimku walau hanya sedikit sekali.
"Kalau gitu yang aku juga nih, buat Zagi." Tanpa mengambil es krimku dulu, Sorin menyerahkan sisa es krimnya yang terlalu sedikit untuk dikasih semuanya ke orang yang apalagi sudah tidak menginginkan es krim meski di cuaca yang gerah begini pun.
"Nggak usah. Aku udah kenyang."
Sekarang di tangan Sorin sudah tersedia dua es krim harga standar yang siap dilahapnya sambil lanjut membicarakan sihir invisible denganku. Mendadak aku curiga dia bisa menghabiskan lima kantong es krim lainnya. Walau tubuhnya cenderung kecil dan pendek makanya aku mengiranya dia adik kelas, dia tampak merupakan pemakan segala.
Tetapi aku lalu beranjak kembali masuk ke dalam minimarket, berniat membeli sesuatu yang dibutuhkan Sorin saat itu.
Setelah selesai, dan melihat gadis itu pun baru selesai menghabiskan dua es krimnya, kujatuhkan seplastik kecil tisu yang kubeli tadi ke meja, menyuruhnya mengelap noda es krim di sekitar bibirnya.
"Kenapa nggak Zagi aja yang hapusin?"
Entah mengapa aku sudah tahu soal Sorin yang terkadang berkata blakblakan ini. "Nggak mungkinlah! Aku bukan laki-laki kurang ajar."
"Ngehapus noda es krim di—"
"Nggak usah disebut. Ayo hapus aja."
Berhadapan dengan gadis polos ini memang agak menguras tenaga.
Sehabis Sorin mengungkit lagi tentang kami yang akan menjadi invisible boy dan invisible girl, aku menyarankan untuk diam-diam pergi ke rumah Aldrin. Aku ingin tahu soal rahasia termemalukannya!
Sihir itu pun Sorin layangkan.
Dalam waktu sepuluh detik, aku melihat tubuhku dan Sorin telah berubah menjadi transparan seperti hantu. Seolah biasa menggunakannya, Sorin hanya tersenyum sebelah saja menghadap keterpanaanku menyaksikan tubuh sendiri bertransformasi menjadi invisible boy.
Kemudian, aku tiba-tiba kepikiran suatu hal, melirik Sorin curiga. "Sebelumnya kamu pernah pake sihir ini buat apa?"
"Buat apa? Hm. Buat mandangin Zagi tidur?"
Seharusnya aku sudah bisa menebaknya.
Sorin adalah tipe gadis stalker yang rela melakukan apa saja demi kepuasan pribadinya terhadap laki-laki yang sedang disukainya.
Dan dia tidak akan merasa bersalah karenanya.
Aku menggaruk-garuki rambut yang mendadak gatal.
"Zagi lucu banget kalau lagi tidur."
Hebat sekali diriku ini. Sekalinya memperoleh perhatian dari seorang gadis, aku langsung mendapatkan gadis seperti Sorin yang memberi perhatiannya padaku dengan cara yang terlampau ekstrem.
"Haha," aku tertawa hambar, lalu berdiri dari duduk. "Ayo, ke rumah Aldrin."
Padahal aku tengah menahan rasa malu mati-matian.
Kurasa aku tidak akan menengok padanya dulu selama perjalanan.
Perjalanan ke rumah Aldrin mengharuskan kami naik satu bis dan berjalan lima menit dari halte pemberhentian. Tetapi keadaannya menjadi berbeda dengan ke-invisible-an kami ini.
"Nggak perlu bayar ongkos bis." Sorin mengulang pernyataan yang telah kuketahui. "Dan kita bisa pegangan tangan tanpa diciduk."
Aku melotot ke arahnya berbarengan dengan datangnya bis menjemput karyawan-karyawan pabrik di halte tersebut.
Kubiarkan orang-orang dewasa itu masuk duluan, dan pintu bis tersebut menutup tepat setelah orang terakhir berseragam biru langit naik.
Aku lupa diriku invisible.
"Yah. Ketinggalan tuh." Sorin bersuara di sebelahku. "Lain kali serobot aja."
"Diem."
"Loh, Zagi marah?"
Kicauan burung di tiang listrik halte menyamarkan nada tak bersalahnya.
"Kenapa marah? Nggak suka ya diabaikan orang-orang karena invisible?"
"Lebih nggak suka diabaikan Sorin, sih."
Siapa sangka. Perkataan spontanku tersebut mampu membungkam mulut berbahaya Sorin selama kami berdiri berdua di bis menuju halte pemberhentian rumah Aldrin.
Bangku-bangkunya penuh. Dan meski kata Sorin tubuh kami bisa menembus tubuh manusia lain saat bersentuhan, rasanya menjijikkan saja duduk di tempat yang sama dengan orang asing yang tidak tahu dirimu sedang duduk bersamanya. Bersamanya. Persis di situ.
Sorin pun terus-terusan menunduk meski sesekali dia curi-curi pandang padaku yang berdiri di depannya.
Kuperhatikan dia dari posisi itu. "Hey."
Dia menyahutnya dengan melihatku sedetik.
"Ternyata kamu beneran penyihir, ya?"
"Sudah aku bilang bukan penyihir." Sorin meralat kesal. "Nggak semua manusia di sana yang bisa sihir disebut penyihir. Sihir itu udah lazim di duniaku kayak orang-orang sini punya ponsel. Dan orang kayak aku punya kespesialan lain."
"Apa tuh?"
"Karena aku putri kerajaan yang punya guru sihir pribadi, aku diajari sihir-sihir langka yang nggak semua orang tahu." Dia menjelaskan sembari masih tak mau melihatku. "Ya kayak sihir kutukan, penghenti waktu, pengubah penampilan, emang kebilangnya sihir nggak guna. Tapi buat orang yang suka main kayak aku, itu udah kayak gim-gim yang bisa diunduh di playstore."
Segera saja aku tertawa mendengar analoginya yang terkesan absurd.
"Kenapa, sih?" Sorin menunjukkan raut merengutnya.
Aku telah keliru.
Kutarik pinggangnya mendekat padaku, terang-terangan tersenyum menyaksikan wajahnya yang memerah gelagapan.
"Mumpung nggak ada yang lihat, aku bisa peluk Sorin, kan?"
Detak jantungnya terdengar sampai sini.
Kudekatkan mulutku ke samping telinganya. "Sudah tahu kan sihir ini pun bahaya? Dan sudah tahu kan betapa bikin malunya ditatap terus sama gebetan sendiri?"
"Ter-terus-terus?"
"Jangan diam-diam masuk kamarku lagi. Atau aku nggak mau ketemu Sorin lagi."
Begitu aku menjauhkan kepala darinya, Sorin menarik kerah bajuku sampai kami saling pandang dalam jarak dekat. "Tapi Zagi suka, kan? Suka aku perlakuin dan aku perhatiin sampai segitunya?"
"Iya, suka." Aku menjawab jujur. "Tapi aku takut sampai tergila-gila sama kamu. Jadi sewajarnya aja ya, Sorin?"
Lalu aku kepikiran satu hal lagi.
"Rumahmu di mana?"
fact.
meski suka di-treat berlebihan gitu sama sorin, faris tetap berharap sorin mengurangi 'perhatiannya' demi keamanan bersama
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro