f: gara-gara ketemu dia
faris inzagi
"Dek, kamu pernah jatuh cinta?"
Samar-samar aku seperti mendengar suara seseorang bicara padaku.
Kumatikan Like We Used To dari ponsel, menoleh ke sebelah. Seorang perempuan cantik berseragam SMA yang wajahnya langsung membuatku tersipu, tersenyum simpul ke arahku.
Aku ikut tersenyum, tetapi canggung. "Mak-maksudnya, Kak?"
Bicara dengan orang asing, ke laki-laki SMP yang sedang mengasingkan diri dengan earphone di bangku bis dekat jendela basah, pertanyaan random, dalam satu detik pertemuan mata, dia jelas orang aneh.
Tapi cantik.
Senyumannya yang semakin lebar entah kenapa memunculkan pikiran buruk ke kepalaku. "Waktu kelas 4 SD misalnya, pernah suka ke cewek?"
Hah.
Tatapannya terus menghunjam kebingunganku. "N-nggak, Kak."
Aku menjawab asal, tak berniat mengorek ingatan lebih jauh demi orang aneh yang tiba-tiba duduk di sebelah bangkuku. Bis belum berjalan, obrolan sepihak ini akan semakin lama terjadi.
Kakak perempuan tersebut cemberut. "Inget-inget lagi coba. Atau pernah ditembak cewek?"
"Nggak." Lagi-lagi aku malas berpikir, merasa lebih baik tidak menuruti keinginannya. Atau sesuatu yang buruk akan terjadi.
Dia diam sebentar, mengamati wajahku yang menunjukkan kegelisahan.
Menghindarinya, aku memalingkan kepala cepat-cepat, menyetel kembali lagu yang sempat kumatikan. Kuharap dia manusia beradab yang tahu kapan harus mengajak orang lain mengobrol dan tidak.
Pastinya kakak itu gila!
Kuduga sih dia sedang patah hati dan melampiaskannya padaku. Tapi maaf, aku tidak akan melayani kesedihannya!
"Kamu nggak berubah ya, Zagi."
Dan itulah pagi pertamaku di awal semester satu kelas delapan. Pertemuan dengan kakak perempuan cantik berseragam SMA yang tiba-tiba menyebut nama pendek dari nama panjangku.
Ah, tidak. Tidak ada seorang pun yang pernah memanggilku Zagi.
Atau ada...?
Aku pun menceritakannya ke Aldrin saat berjalan di lorong menuju lapangan upacara. Kami sekelas lagi di 8K.
"Aku ketemu cewek gila di bis."
"Gila gimana?" tanyanya.
"Tiba-tiba ngajak ngobrol. 'Pernah jatuh cinta nggak', katanya."
Dia tertawa meledek. "Naksir tuh pasti."
"Dia udah SMA. Mana mungkin suka sama anak kecil."
"Kelas 8 udah nggak kecil lagi. Udah remaja."
Benarkah?
"Atau selera cewek itu cowok yang lebih muda."
Aku menampilkan tampang ngeri.
Meski kuakui kakak SMA itu cantik sampai bisa membuatku menyukainya pada pandangan pertama, tingkah anehnya menyebabkan dirinya seketika mempunyai nilai nol di mataku.
Lebih tidak mungkin lagi jika dia suka padaku. Cuma membicarakan perihal jatuh cinta. Apa pula itu. Jelas-jelas sedang patah hati.
Aldrin cuma asal ngomong.
Di barisan upacara bagian belakang, cahaya matahari tidak masuk ke sini. Udaranya menjadi sejuk dan enak untuk melanjutkan obrolan.
"Dia juga tiba-tiba tahu namaku, Drin. Tapi manggilnya Zagi."
Aldrin menoleh singkat ke sini dengan malas. Topi upacaranya menaungi kulit wajahnya yang putih dan terawat seperti perempuan. "Ya udahlah nggak perlu dipikirin. Kenapa kamu jadi cerewet gini?"
"Mana mungkin nggak kepikiranlah! Dia terlalu aneh dan seolah udah kenal aku." Tanpa bisa kukendalikan, suaraku bervolume cukup keras.
Teman-teman sekelas yang berbaris di depan seketika memandang ke arah kami. Kebanyakan rautnya menyuruh diam.
Aldrin berdecak di depanku, merasa terganggu akan kelakuan temannya ini.
Tapi ada satu orang yang tertawa dua baris di belakangku. Lengan bagian atasku dicoleknya.
"Kenapa? Ada cewek aneh yang tiba-tiba sok kenal sok dekat sama kamu?"
Kupusatkan pandangan kepadanya. Dia laki-laki jangkung bertampang cerah dan bibir lebarnya seakan menyaratkan dirinya terlalu sering tersenyum dan tertawa.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Jadi cuma mengangguk singkat saja tanpa senyum apa-apa.
"Layanin aja. Anggap aja hiburan."
Keningku mengerut. "Layanin?"
Dia tertawa lagi, dan baru kusadari di antara kami berdiri laki-laki jangkung lainnya berkulit cokelat dan agak sangar. Dirinya tampak terganggu dengan kelakuan orang di belakangnya yang memajukan kepalanya melewati bahunya.
Berikutnya kuketahui kedua laki-laki tersebut bernama Devon dan Rayen.
Kami tahu-tahu saja pergi ke kantin bersama setelah upacara.
Aku memakan lumpia basah, menjumput taoge-taoge dengan sumpit sembari melihati kedua teman baruku tersebut. Apa sudah bisa dikatakan teman jika cuma pernah sekali mengobrol dan pergi ke kantin bareng?
"Kalian dari kelas tujuh mana?" Devon bertanya sambil tersenyum.
"7F," aku yang menjawab karena Aldrin nampaknya masih menganggap Devon dan Rayen orang asing.
"Sama dong. Aku sama Rayen juga dari 7J."
Sama apanya maksudnya?
"Soal cewek aneh yang kamu omongin tadi, masih kepikiran?" Walau duduk berempat, sepertinya cuma Devon dan diriku saja yang terlibat dalam obrolan.
Tiba-tiba aku menjadi malu karena berbicara mengenai cewek. Memasuki jenjang kelas baru, aku seolah mempunyai kepribadian baru juga.
Aku bergeleng-geleng, memikirkan betapa memalukannya sikapku tadi ketika upacara sampai mengundang tatapan tajam segala.
"Lupain aja," kataku, menetralkan suara lalu melanjutkan makan.
Devon kelihatan masih penasaran. "Kayaknya aku ngerasa dia bakal muncul lagi di hidup kamu, Far."
Aku sedikit terkejut mendengar perkataannya. Dan tentu saja sama sekali tidak mengaminkan.
Sekali lagi kukatakan dan kutekankan, walau sangat kuakui kakak di bis tadi cantik seperti orang Korea, aku tidak berminat bertemu lagi dengannya. Aku merasa jikalau kami bertemu pun, dia akan semakin menunjukkan kelakuan anehnya.
Aku bergidik. Sudah cukup dia membuat hari pertama kelas delapanku terasa janggal.
Di kelas, pemilihan ketua kelas dan wakil pun dilaksanakan. Seperti yang kuduga, tak ada satu pun yang mengangkat tangan untuk mengajukan diri. Ini membuat diriku tiba-tiba gelisah, takut ditentukan secara acak berdasar pilihan guru dari daftar absen.
Dan hal itu beneran terjadi. Wali kelas kami yang merupakan seorang bapak muda berusia 30-an awal dan berkacamata, menyusuri bola matanya ke atas dan ke bawah mengikuti buku absen yang dibukanya.
Faris Inzagi. Namaku berada di urutan belasan, bagian sebelum pertengahan. Semoga nama itu tidak disebut.
"Kamu."
Kuyakin semua jantung murid di ruangan ini berdetak lebih cepat.
"Jadi ketua kelas, ya."
Guru tersebut menatap ke arah... ke mana?
Ke mana?
Beliau berjalan ke bangkuku dan Aldrin. Lebih tepatnya ke sisiku. Sebentar lagi jantungku akan meledak.
"Jadi ketua kelas, ya?"
"Hah?"
Itu pertama kalinya aku mendengar Rayen bicara. Bangkunya dan Devon memang berada persis di belakang kami.
Huh.
"Hampir aja."
"Kenapa? Nggak mau jadi ketua kelas, ya?" Guru itu tahu-tahu saja sudah menatapku.
Aku telah membuat kesalahan fatal; menggumamkan kejujuran yang sebaiknya tak seorang pun dengar.
"N-Nggak, Pak." Bicaraku gagap.
"Kalau gitu jadi wakilnya aja, ya. Kamu kelihatan kayak orang rajin."
Tidak. Kuberitahu aku sama sekali tidak rajin!
"Rayen dan Faris. Mulai sekarang andalkan mereka untuk memimpin kelas, ya."
Kudengar suara tertawaan Devon lagi untuk ke sekian kalinya di hari yang masih pagi itu. Bahuku pun diusap-usap Aldrin, sok menyemangati.
Kemunculan kakak perempuan aneh di bis yang bertanya mengenai apa aku pernah naksir cewek atau belum seakan menjadi penanda awal masa-masa burukku di SMP.
fact.
faris emang bukan anak rajin. tapi setelah dibilang 'kayak orang rajin' oleh wali kelasnya dan menjabat wakil ketua kelas, dia beneran jadi rajin
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro